Tadinya gue mempertanyakan, sampai sejauh mana sih kita harus "sami’na wa atho’na" pada satu sisi, dan bersikap kritis pada sisi lain. Agar di satu sisi kita tidak terjebak dalam fanatisme buta yang berujung taklid, dan pada sisi lain kita tidak terjebak dalam perang wacana yang tidak akan ada habisnya.
Pertanyaan ini muncul terkait dengan realitas yang baru-baru ini gue hadapi. Banyak orang yang memprotes keputusan petinggi UI, tapi mereka takut untuk mempertanyakan, apalagi sampai membangkang. Pertanyaan ini juga muncul terkait dengan pergulatan gue dengan skripsi, yang mengharuskan gue banyak berdiskusi dengan pembimbing skripsi. Dan pada suatu saat, muncullah tema ini ke permukaan. Beliau banyak menyoroti "fanatisme" yang terjadi, dan kurangnya sikap kritis dalam menyikapi segala sesuatu, sehingga terkesan pendapat petinggi menjadi pendapat jamaah ini.
Di satu sisi beliau benar. Gue mulai melihat "fanatisme" buta yang melingkupi jamaah ini. Tapi di sisi lain gue paham banget bahwa bagaimanapun, sebuah keputusan yang diambil dalam mekanisme syuro yang baik, harus ditaati dan dilaksanakan sepenuh hati. Dan muncullah pertanyaan ini.
Untungnya gue teringat pesan dari seseorang yang kini berada nan jauh disana, juga teringat akan Pesan Illahi yang berkaitan dengan hal ini. Yap, pesan itu begitu jelas, bahwa apapun yang terjadi kita akan terus bekerja di jalan dakwah ini, dengan atau tanpa kendaraan politik yang bisa kita tunggangi, dengan atau tanpa qiyadah yang menaungi. Dan pesan Illahi yang berbunyi: "Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan"" (QS. 9:105).
Lalu hubungannya dengan wacana tadi? Sangat jelas. Daripada kita berwacana, mempertanyakan sikap kritis dan ketaatan, mempertanyakan hasil keputusan, mempertanyakan jalan lain yang mungkin bisa dilakukan, mempertanyakan ini-itu dan sebagainya, lebih baik kita bekerja terlebih dahulu. Bekerjalah dalam jalan ini menurut yang kita bisa. Jika kita diberi amanah, maka tunaikanlah sesuai dengan batas kemampuan kita. Jika kita tidak diberi amanah, jangan diam saja dan mempertanyakan kenapa, karena masih banyak pekerjaan dalam membangun peradaban ini yang belum tersentuh oleh jamaah.
Lalu dimana sikap kritis kita? Tetap harus kita pegang. Tapi nanti setelah kita bekerja. Setelah kita mempersembahkan batu bata bagi peradaban ini. Setelah kita bisa menunjukkan dengan sesuatu yang nyata – pada orang-orang, atau petinggi-petinggi yang kita kritisi – bahwa cara mereka tidak seefektif cara yang kita punya. Nah disitulah kita bisa mengkritik mereka sekaligus menunjukkan buktinya.
Tangerang, 10 November 2007
02:13 WIB
"Untuk saudara/i ku yang masih mempertanyakan kenapa"