Jumat, 16 November 2007

antara "sami’na wa atho’na" dan bersikap kritis

Tadinya gue mempertanyakan, sampai sejauh mana sih kita harus  "sami’na wa atho’na" pada satu sisi, dan bersikap kritis pada sisi lain. Agar di satu sisi kita tidak terjebak dalam fanatisme buta yang berujung taklid, dan pada sisi lain kita tidak terjebak dalam perang wacana yang tidak akan ada habisnya.

Pertanyaan ini muncul terkait dengan realitas yang baru-baru ini gue hadapi. Banyak orang yang memprotes keputusan petinggi UI, tapi mereka takut untuk mempertanyakan, apalagi sampai membangkang. Pertanyaan ini juga muncul terkait dengan pergulatan gue dengan skripsi, yang mengharuskan gue banyak berdiskusi dengan pembimbing skripsi. Dan pada suatu saat, muncullah tema ini ke permukaan. Beliau banyak menyoroti "fanatisme" yang terjadi, dan kurangnya sikap kritis dalam menyikapi segala sesuatu, sehingga terkesan pendapat petinggi menjadi pendapat jamaah ini.

Di satu sisi beliau benar. Gue mulai melihat "fanatisme" buta yang melingkupi jamaah ini. Tapi di sisi lain gue paham banget bahwa bagaimanapun, sebuah keputusan yang diambil dalam mekanisme syuro yang baik, harus ditaati dan dilaksanakan sepenuh hati. Dan muncullah pertanyaan ini.

Untungnya gue teringat pesan dari seseorang yang kini berada nan jauh disana, juga teringat akan Pesan Illahi yang berkaitan dengan hal ini. Yap, pesan itu begitu jelas, bahwa apapun yang terjadi kita akan terus bekerja di jalan dakwah ini, dengan atau tanpa kendaraan politik yang bisa kita tunggangi, dengan atau tanpa qiyadah yang menaungi. Dan pesan Illahi yang berbunyi: "Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan"" (QS. 9:105).

Lalu hubungannya dengan wacana tadi? Sangat jelas. Daripada kita berwacana, mempertanyakan sikap kritis dan ketaatan, mempertanyakan hasil keputusan, mempertanyakan jalan lain yang mungkin bisa dilakukan, mempertanyakan ini-itu dan sebagainya, lebih baik kita bekerja terlebih dahulu. Bekerjalah dalam jalan ini menurut yang kita bisa. Jika kita diberi amanah, maka tunaikanlah sesuai dengan batas kemampuan kita. Jika kita tidak diberi amanah, jangan diam saja dan mempertanyakan kenapa, karena masih banyak pekerjaan dalam membangun peradaban ini yang belum tersentuh oleh jamaah.

Lalu dimana sikap kritis kita? Tetap harus kita pegang. Tapi nanti setelah kita bekerja. Setelah kita mempersembahkan batu bata bagi peradaban ini. Setelah kita bisa menunjukkan dengan sesuatu yang nyata – pada orang-orang, atau petinggi-petinggi yang kita kritisi – bahwa cara mereka tidak seefektif cara yang kita punya. Nah disitulah kita bisa mengkritik mereka sekaligus menunjukkan buktinya.

Tangerang, 10 November 2007

02:13 WIB

"Untuk saudara/i ku yang masih mempertanyakan kenapa"

Share:

Jumat, 09 November 2007

Menyingkirkan yang Bukan Gajah

1 bulan ke depan adalah masa yang gue tunggu-tunggu. Masa penantian, harapan, dan momen yang akan mengubah hidup gue. Bukan…ini bukan tentang pernikahan, tapi tentang skripsi dan kelulusan. Deadlinenya tinggal 1 bulan – tepatnya sih 5 minggu 1 hari – sementara masih banyak yang harus gue kerjakan.

1 bulan ke depan akan penuh dengan kerja keras dan konsentrasi. Gue udah memprioritaskan apa yang penting dan harus segera dilakukan, dan apa yang sementara waktu harus disingkirkan. Tapi tetap saja hal itu sulit sekali untuk dilakukan. Tapi mau bagaimana lagi. Sesulit apapun juga tetap harus gue kerjakan, karena Allah tidak akan mengubah keadaan ini sampai gue sendiri berusaha untuk mengubahnya.

Suatu hari ada yang ngirim sms ke gue. Isinya begini: "…be focus ya,.like this analogy: ‘Seorang pematung, yang banget sempurna memahat patung gajah, ditanya: "Bagaimana caranya memahat patung gajah hingga seakan-akan hidup?" "Sederhana; cari batu, ambil pahat + palu, dan singkirkan semua yang bukan gajah!""

Sekilas terlihat begitu men-simplifikasi kehidupan. Tapi untuk saat ini, simplifikasi itulah yang gue butuhkan. Singkirkan semua keruwetan dalam cara berpikir gue, singkirkan semua hal yang tidak berkaitan dengan skripsi, singkirkan semua yang bukan gajah…!

 

Tangerang, 4 November 2007

21:38 WIB

Skripsi…skripsi…skripsi…Allahu Akbar!

Share:

Bintang...

Bintang ku telah berpendar sore tadi…

Terbang bersama asa dan mimpi…

Menuju gugusan dia kembali…

Menanti dan terus menanti…

 

(Tangerang 30 Oktober 2007, 23:07 WIB)

Share: