Sabtu, 29 Desember 2007

Di Balik Awan

Disinilah aku berdiri,
di ketinggian ini,,,3676 meter diatas permukaan laut.
Di puncak pencapaian,,,di titik harapan,
tapi bukan di akhir perjuangan.

Disinilah aku menatap langit,,,
biru...kelabu...dan menyimpan berjuta mimpi.
Dihempas angin dingin tubuhku ini.
Tapi, kehangatan cinta dan persahabatan membuatku masih dapat tegak berdiri...
menghadapi puncak perjuangan selanjutnya.

Disini aku berdiri,
di balik awan,
di puncak harapan.
Menatap bintang di kala terang.
Mahameru, 21 Agustus 2007
09:00 WIB (kurang lebih)
Share:

Rabu, 12 Desember 2007

Untuk Apa Kalian Dididik!!!

Kalian dididik bukan cuma untuk mengetahui, mengerti, dan memahami...
Kalian dididik bukan cuma untuk memecahkan persoalan hidup kalian sehari-hari...
Kalian dididik bukan untuk menjadi penikmat jalan ini...

Tidak...!!!

Kalian dididik untuk menebar pengetahuan, pengertian, dan pemahaman...
Kalian dididik untuk memecahkan persoalan hidup kalian, keluarga, bangsa, umat manusia...
Kalian dididik untuk melahirkan generasi penerus yang akan menjadi kekuatan utama dalam jalan dakwah ini...

Lalu...Kenapa kalian DIAM saja!!!

Tangerang 8 Desember 2007
22:03 WIB
Share:

Sabtu, 01 Desember 2007

Sebuah Perjalanan di Simpang Kesesatan

Sinopsis:
Cerita dibawah ini based on true stories dengan ditambah sedikit bumbu fiksi. Cerita ini dibuat ketika NII sedang gencar-gencarnya menancapkan kukunya di Fakultas Psikologi UI. Dibuat setelah wawancara mendalam dengan beberapa anak baru (waktu itu 2005) yang menjadi korban dan studi literatur tentang aliran ini. Dibuat untuk sosialisasi bahaya NII beserta modus operandi mereka. Pernah diangkat dalam sebuah seminar di Fakultas Psikologi tentang bahaya NII.

Sebuah Perkenalan
Pagi itu aku terbangun pukul 06.30 WIB. Seperti hari-hari biasanya aku langsung mengambil wudhu dan menunaikan kewajibanku, sholat Shubuh. Setelah menyantap nasi goreng dan segelas susu yang disiapkan pembantuku, akupun segera mandi. Yap, hari ini aku ada kuliah pagi, PDPT yang membosankan itu.

Pukul 07.30 WIB aku berangkat mengendarai Karimunku, setelah sebelumnya pamit kepada ibuku yang ternyata tergesa-gesa juga. Mungkin ada acara dengan teman-temannya lagi. Sedangkan ayahku sudah pergi ketika aku masih terlelap dalam mimpi. Aku pergi sambil berharap-harap cemas semoga tidak macet dan sampai ke kampus tepat waktu.

Di kampus tak banyak yang bisa aku ceritakan. Semuanya berjalan membosankan. Pukul 16.30 WIB akhirnya aku bisa menghirup udara bebas di luar kelas. Senangnya. Tapi aku sekarang mau ngapain ya? Oh iya aku belum shalat Ashar. Dan bergeraklah kakiku menuju mushala kecil yang sepintas terlihat mirip kandang burung itu.

“Hey Bi, mau kemana?”, ternyata Fajar yang menyapaku.
“Mau shalat Ashar dulu Jar”, jawabku sambil tetap berjalan menuju mushala.
“Eh abis shalat ada acara gak?”
“Nggak”
“Gua minta tolong anterin betulin HP gue dong. Lo hari ini bawa mobil khan?”
“Betulinnya dimana?”
“Di ITC Depok”
“Ok. Abis shalat ya. Sekalian jalan-jalan ngilangin kepenatan nih”
“Ya udah gih shalat dulu sana, gue tungguin di slasar ya”
“Sip”, akupun bergegas mengambil wudhu dan shalat.

Sambil shalat aku membayangkan perjalananku nanti ke ITC Depok. Wah kebetulan nih aku belum pernah kesana. Ada apa aja ya kira-kira disana? Rame gak ya? Bagus gak ya penataan tempatnya? Dan berbagai bayangan-bayangan lain sampai tak terasa aku sudah shalat pada rakaat terakhir. Eh bener gak ya ini udah empat rakaat? Ya udahlah, lupa itu khan manusiawi.

“Oke Jar, yuk kita berangkat”, kataku kepada Fajar yang sedang duduk sendirian di selasar gedung d.
“Yuk. Eh tapi HP gue ketinggalan di kostan nih. Ke kostan gue dulu yuk!”
“Yuk, dimana?”
“Di barel”
“Naik mobil gak”
“Gak usah deh, muternya jauh. Jalan aja yuk! Deket kok.”
“Ok”

Dan kamipun berjalan ke kost-an Fajar. Kami mengambil rute jembatan kecil yang menghubungkan fakultas kami dengan fakultas hukum. Melewati jalan tanah yang agak becek karena terguyur hujan tadi siang. Melewati parkiran mobil untuk mahasiswa fakultas hukum, yang terkadang juga dimanfaatkan oleh mahasiswa fakultas kami. Dan melewati fakultas hukum yang dibandingkan dengan fakultas kami, terlihat lebih besar dan lebih apik. Tapi apalah arti bangunan fisik pikirku, yang penting jiwa kami sehat dan bahagia, meskipun kuragukan hal itu sampai saat ini.

Di jalan yang kami lalui, rel kereta yang kami seberangi, dan banyaknya tempat fotokopian yang lewati, tak ada hal menarik yang bisa diceritakan. Begitu juga dengan jalan selanjutnya yang kami tempuh untuk mencapai kost-annya Fajar, semuanya tak ada yang tak biasa.
“Ayo masuk dulu Bi, gue pengen ke kamar mandi dulu”, Fajar mempersilahkanku masuk ke kamarnya yang baru kali ini aku kunjungi.

“Ok”, akupun memasuki kamarnya sementara Fajar pergi ke kamar mandi.
Kamar yang aku masuki ini sebagaimana tipikal kamar cowok cukup berantakan. Beberapa gelas kotor tampak di meja belajarnya. Juga beberapa CD film yang tidak terbungkus tergeletak disana. Sementara layar monitornya tampak berdebu, jarang dibersihkan.
Kasur yang ada di pojok ruangan juga tampak berantakan. Beberapa baju bekas pakai tampak disana. Aku jadi ragu untuk tiduran disana. Tapi berhubung aku ngantuk, kusingkirkan semua baju itu dan akupun berbaring sebentar disana. Menunggu Fajar, pikirku saat itu.

“Bi, bangun Bi”, suara Fajar membangunkanku.
“Eh apaan Jar? Oh iya yuk berangkat ke ITC” jawabku yang anehnya merasa sangat segar walaupun tidur sebentar. Sebentar? Benarkah?
“Ini udah jam setengah sembilan Bi. Udah malem. Lagian ada temen gue dari luar kota yang baru dateng. Oh iya, kenalin Bi ini Doni temen gue. Don ini Arbi temen gue di kampus” ujar Fajar memperkenalkan temannya.

Setelah berbasa-basi dan bercerita tentang hal-hal seputar diri kami, akupun berpamitan pada Fajar dan Doni, “Bi, Don gue cabut dulu ya. Udah malem nih”

“Ngapain buru-buru Bi. Lo biasa pulang malem khan? Udah disini aja dulu. Kita ngobrol dulu, mumpung ada temen gue dari jauh. Pengetahuan agamanya bagus lho. Lo bisa nanya apa aja ke dia masalah agama” ujar Fajar berusaha meyakinkanku.

Dan setelah Fajar meyakinkanku dengan berbagai cara, akhirnya aku tak kuasa menolak ajakannya untuk duduk bersama dan berdiskusi.

Dari diskusi itu aku mengetahui banyak hal. Menarik juga pikirku. Dari situ aku banyak mengetahui sejarah Negara Indonesia ini. Tentang bagaimana umat Islam di Indonesia ini dikhianati melalui Piagam Jakarta (Jakarta Charter). Tentang bagaimana Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang hanya bersidang satu kali saja berhasil menghapuskan tujuh kata kunci yang merupakan kesepakatan 9 orang terkemuka Indonesia dari berbagai golongan pada tanggal 22 Juni 1945. Kata-kata yang berbunyi “…dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”

“Jadi wajar saja jika negara ini kacau balau. Proses pendiriannya saja penuh dengan pengkhianatan dan intrik-intrik…”, begitu kata Doni berapi-api ketika bercerita mengenai sejarah Piagam Jakarta.

Masuk akal juga pikirku. Pantas saja negara ini penuh dengan kebobrokan. Mulai dari orde lama, orde baru, sampai jaman reformasi ini semuanya selalu memiliki kejelekannya sendiri. Lalu apa ya solusinya? Aku yang biasanya cuek ini mendadak menjadi peduli.

“Terus apa yang bisa kita lakukan sih biar negara ini menjadi benar dan lebih baik ya?” tanyaku pada mereka dan juga diriku sendiri.
“Negara Islam Indonesia” jawab Doni spontan dan tegas.
“Negara Islam Indonesia? Maksudnya?” tanyaku penuh rasa ingin tahu.
“Wah udah malem nih Bi. Kayaknya diskusinya kita lanjutin besok aja deh. Nanti lo pulangnya kemaleman lagi. Lagian Doni keliatannya udah capek. Khan baru dateng dari Bandung” potong Fajar.

Dan akhirnya aku pulang dengan memendam rasa penasaranku. Tapi Doni bilang besok dia bersedia diskusi lagi. Malah Fajar menyarankan padaku untuk menginap di tempatnya besok. Entahlah. Kita lihat saja besok.

Sebuah Pendalaman
Hari ini aku terbangun pukul 09.00 WIB. Kupikir sudah terlalu siang untuk shalat subuh, jadi aku tidak shalat. Toh tidur menghapuskan kewajiban untuk beribadah. Benarkan?
Di kampus setelah menyelesaikan kuliah, Fajar kembali mengajakku ke kostannya. Katanya masih banyak yang ingin Doni diskusikan dengan kami berdua. Sebenarnya aku malas, karena aku ingin cepat-cepat pulang, tapi mengingat diskusi yang kami lakukan kemarin sangat menarik, maka demi keingintahuanku akupun mengikuti Fajar ke kost-annya.

“Ok Don, coba jelasin konsep Negara Islam Indonesia yang lo maksud kemarin!”, ucapku begitu sampai di kost-annya Fajar.

“Eit.. Sabar dulu Bi. Duduk dulu lah, nyantai dulu. Jangan tiba-tiba begini. Ayo kita ambil posisi nyaman dulu untuk diskusi, baru kita mulai kajian kita kemarin”, ucap Doni menimpali rasa penasaranku.

Akhirnya setelah kami semua mengambil posisi nyaman untuk berdiskusi, kamipun melanjutkan diskusi kami kemarin tentang bagaimana mengatasi ketidakberesan di negeri kami tercinta.

“Ok, begini. Kalian tahu Ibnu Khaldun gak?”, tanya Doni memulai diskusi dengan pertanyaan.
“Yang gue tau dia tuh seorang pemikir Islam. Bener khan?”, jawabku.
“Ya, gue juga hanya sebatas tau itu”, jawab Fajar menimpali.

“Bener. Beliau adalah seorang pemikir Islam yang pemikiran dan karyanya diakui oleh seluruh dunia. Nah hubungannya dengan tema kita kali ini, bahwa beliau juga seorang pemikir tentang negara, ahli sejarah, dan peletak dasar sosiologi. Dan dalam bukunya Muqaddimah, ia merumuskan teorinya tentang negara dan tipologinya.

Ibnu Khaldun menemukan suatu tipologi negara dengan tolok ukur kekuasaan (al mulk). Ia membagi negara menjadi dua kelompok yaitu 1) negara dengan ciri kekuasaan alamiah (mulk tabi'i) atau negara tradisional, dan 2) negara dengan ciri kekuasaan politik (mulk siyasi) atau negara modern.

Negara tradisional ini berpatokan pada hukum rimba, yaitu siapa kuat ialah yang menjadi penguasa, dan bebas menindas rakyat di bawah kekuasaannya. Sedangkan negara modern dibagi lagi menjadi tiga macam yaitu negara hukum Islam (siyasah diniyah), negara hukum sekuler (siyasah 'aqliyah), dan negara republiknya Plato (siyasah madaniyah).

Nah Indonesia ini masuk dalam kategori negara republiknya Plato, atau yang mungkin kalian sering dengar, negara Madani”, jelas Doni panjang lebar.
“Negara Madani? Yang kepanjangannya itu Masyarakat Berbudaya Indonesia khan? Kok bisa pas gitu istilah yang dipake ya?”, tanyaku.
“Bukan kebetulan. Itu memang sebuah sosialisasi istilah terselubung, sebagai bagian dari sebuah konspirasi dari orang-orang yang tidak menginginkan Indonesia menjadi sebuah negara berdasarkan hukum Islam. Kenapa begitu? Mungkin sebaiknya gue sambil ngejelasin tentang 3 kategori dari negara modern yang diajukan Ibnu Khaldun.

Negara pertama adalah negara madani. Ciri-ciri dari negara ini adalah pada pemegang kekuasaannya yang hanya terdistribusi pada sebagian kecil orang, sedangkan rakyat banyak hanya menjadi penonton. Atau bahkan lebih parah lagi sebagai “budak” yang diperas untuk kepentingan pemegang kekuasaan. Dasar tertinggi pada negara ini adalah hukum buatan manusia, walaupun dibuat menggunakan akal sehat.

Indonesia termasuk dalam kategori negara ini. Kalian bisa melihat sendiri bagaimana kekuasaan selama ini hanya dipegang oleh sejumlah elit politik, yang terkadang baik dan amanah, tapi lebih banyak yang busuknya. Lalu dasar tertinggi Indonesia adalah pancasila yang merupakan hasil buah pikir pejuang kemerdekaan negara ini.

Sebenarnya konsep negara madani ini merupakan konsep negara paling kuno dibandingkan 2 konsep negara yang diajukan oleh Ibnu Khaldun. Jadi wajar saja kalau sampai saat ini negara ini banyak dirundung masalah. Karena konsepnya udah ketinggalan jaman untuk mengatasi problem-problem yang terus berkembang seiring dengan modernisasi dunia. Dan sebaik apapun pemegang kekuasaannya, problem-problem itu nggak mungkin bisa selesai. Dan mengganti puncak pimpinan negara bukan solusi yang tepat dalam hal ini. Yang harus diganti adalah dasar negaranya.

Konsep negara kedua adalah negara sekuler, yang walaupun jauh lebih modern dari negara madani, tapi juga bukan solusi yang tepat bagi Indonesia. Memang, pada negara ini distribusi kekuasaan merata. Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam menjalankan negara. Tapi karena kebanyakan orang lebih cenderung mengikuti hawa nafsu daripada akal sehatnya, jadilah hawa nafsu tersebut sebagai dasar negara.

Pemisahan agama dari kehidupan negara adalah salah satu bentuk campur tangan hawa nafsu tersebut. Karena agama mengenal konsep dosa yang sebagaian besar ajarannya adalah pada pengekangan hawa nafsu. Dan akibat dari pemisahan tersebut adalah lahirnya berbagai hukum yang tidak mengenal konsep dosa. Kebebasan seksual, legalitas homoseksual, pengindahan terhadap hak-hak sesama atas nama kebebasan individual, dan berbagai hukum lainnya yang merupakan produk negara tanpa agama.”, jelas Doni panjang lebar dan berapi-api.

“Tapi negara sekuler justru lebih berakal khan? Buktinya mereka lebih maju daripada negara kita. Terus apa hubungannya dengan hawa nafsu?”, tanya Fajar memotong penjelasan Doni.
“Akal itu bagaimanapun hanyalah alat. Memang negara sekuler mempunyai akal yang lebih maju daripada negara kita, tapi pengendalinya tetaplah hawa nafsu. Mereka membuat rasionalisasi terhadap perbuatan yang dilarang agama, menjadikannya benar di mata ilmu pengetahuan. Mereka menciptakan ilmu pengetahuan dengan tujuan memuaskan hawa nafsu mereka yang tak pernah mencapai batasnya”, jawab Doni.

“Dan memperhalusnya dengan istilah ‘meningkatkan kesejahteraan manusia’”, sambungku.
Doni hanya tersenyum dan melanjutkan penjelasannya, “Tentunya negara seperti ini bukan solusi tepat bagi Indonesia bukan? Karena negara yang digerakkan hawa nafsu tidak akan pernah mencapai kepuasan dan terus menerus dirundung masalah yang juga berkembang seiring dengan perkembangan negara tersebut.”

“Sekarang gue mau nanya, menurut kalian siapa yang paling ahli dan paling tahu bagaimana mengatur suatu negara?”, tanya Doni kepada kami berdua.
“Hitler”, jawabku sekenanya.
“Emmm… Allah”, jawab Fajar dengan penuh pertimbangan.
“Yap, bener”, sahut Doni.
“Jawaban gue?”, tanyaku tidak percaya.
“Bukan. Jawaban Fajar”, jawab Doni tegas.

“Kalian tau nggak kenapa Muhammad, seorang yang buta huruf dan memiliki pengetahuan terbatas, bisa menjadi seorang negarawan yang begitu ulung? Beliau mendirikan negara Madinah Al Munawarah, mejadikan negara tersebut negara paling adil sepanjang masa. Penduduknya sejahtera. Kemajuannya begitu pesat sehingga hanya dalam beberapa tahun saja Kekalifahan Islam merambah seluruh belahan dunia.”, lanjut Doni dengan pertanyaan retoris.

“Muhammad? Seorang negarawan? Bukankah beliau seorang nabi yang bertugas menyebarkan wahyu Allah di dunia?”, tanyaku menjawabnya dengan pertanyaan juga.
“Yap, Muhammad adalah seorang negarawan paling besar sepanjang sejarah manusia. Tugasnya sebagai nabi juga meliputi tugas sebagai seorang negarawan. Gue akan ngejelasin kenapa begitu nanti. Sekarang yang perlu kalian ketahui lebih dulu adalah bahwa seorang Muhammad bisa menjadi seorang negarawan pilihan karena beliau menggunakan Al Quran sebagai dasar pembentukan negara”, jawab Doni.

“Al Quran? Dasar pembentukan negara?”, tanyaku lagi.
“Yap. Al Quran selain berfungsi sebagai dasar-dasar pembentukan akidah dan akhlak agar manusia bertakwa, juga berfungsi sebagai dasar-dasar pembentukan lingkungan yang mendukung hal tersebut. Dan lingkungan seperti yang dicontohkan Muhammad adalah sebuah negara seperti Madinah Al Munawarah. Dengan kata lain, secara mikro Al Quran merupakan dasar bagi kehidupan individu, sedangkan secara makro Al Quran merupakan dasar bagi kehidupan bernegara.

Menurut Ibnu Khaldun, tipe negara yang terbaik adalah negara yang seperti dicontohkan oleh Muhammad tersebut. Sebab tipe negara seperti ini, selain menggunakan akal sehat manusia, juga diback up oleh akal Illahiah yang terwujud dalam Al Quran. Dan bukankah banyak hal yang belum diketahui manusia sampai saat ini sedang Al Quran sudah mengisyaratkannya semenjak 14 abad silam?” lanjut Doni diakhiri pertanyaan retoris seperti biasanya.
“Ok, ok, ok. Penjelasan yang menarik dan sangat idealis sekali. Dan gue juga yakin bahwa negara seperti ini merupakan solusi yang tepat untuk mengatasi kebobrokan negara kita ini. Tapi bagaimanapun ini masih dalam tataran ideal. Sulit diwujudkan dalam kehidupan nyata. Iya khan!”, ucapku yang mulai bosan dengan impian yang ditawarkan Doni.
“Kata siapa ini tidak bisa diwujudkan. Tahapan menuju kesana sudah dimulai sejak dulu kok. Kalian kenal Kartosoewirjo nggak?”, tanya Doni.
“Nggak”, jawabku dan Fajar hampir serempak.

“Beliaulah yang mempelopori pendirian siyasah diniyah di Indonesia ini. Pada tanggal 7 Agustus 1949 ketika terjadi vacuum of power di wilayah Pasundan (atau kini lebih dikenal sebagai Jawa Barat dan Banten), Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo memproklamasikan berdirinya Negara Karunia Allah Negara Islam Indonesia (NKA NII) di desa Cisampah, kecamatan Cilugalar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya. Dan negara ini bertahan hingga 13 tahun lamanya (1949-1962) sebelum rezim yang berkuasa memberantas NKA NII dan memanipulasi sejarah sehingga seolah-olah ini adalah sebentuk gerakan separatis.”, jelas Doni.

“Tapi ini memang gerakan separatis khan?”, tanyaku memotong.
“Bukan. Bukan sama sekali. Secara hukum NKA NII yang didirikan SM Kartosoewirjo adalah negara sah. Karena di daerah Pasundan saat itu terjadi kekosongan kekuasaan. Dan sebelum diproklamirkan berdirinya Negara Pasundan, NKA NII telah diproklamirkan terlebih dahulu. Akibat campur tangan Belanda dan beberapa tokoh Indonesia yang tidak bertanggung jawablah akhirnya NKA NII tidak diakui dan malah Negara Pasundan yang merupakan negara boneka buatan Belanda, yang diakui.”, tegas Doni.

“Ok, ini sejarah khan? Terus apa hubungannya dengan solusi untuk sekarang?” tanyaku mulai tidak sabar.

“Sebenarnya gerakan yang dimulai Kartosoewirjo belum sepenuhnya mati. Dan memang selamanya gerakan yang berlandaskan kebaikan dengan Al Quran dan sunah sebagai dasarnya tidak akan pernah mati. Saat ini sebuah gerakan baru menuju NKA NII baru telah dimulai. Bola itu telah bergulir”, demikian akhir pembicaraan kami karena saat itu aku ditelpon temanku yang mengingatkan ada rapat kepanitiaan sekarang di kampus.

Sebuah Pendoktrinan
Dalam perjalanan ke kampus aku mereview apa yang sudah dikemukakan oleh Doni. Tentang konsep negara ideal menurut Ibnu Khaldun, tentang Al Quran sebagai dasar negara, tentang negara madani yang ternyata merupakan bagian dari sebuah konspirasi besar, tentang Kartosoewirjo, tentang neo NKA NII, tentang…

“Bi mau kemana?”, sebuah suara yang sangat kukenal menyapaku dari belakang.
“Eh, mmm, mau ke kampus.”, jawabku sedikit gugup sambil membalikkan badan, ternyata benar, makhluk manis yang menyapaku itu adalah Febri
“Bareng dong. Aku juga mau ke kampus nih. Jalannya jangan cepet-cepet ya!”, rajuk Febri.
Dan tentu saja tawaran langka ini tidak kutolak. Bahkan walau badai menghadang, dan jalan berliku tajam ku kan tetap setia disampingnya. Entah dengan dia, karena yang kutahu anak ini takut hujan.

Dan benar kata Einstein, waktu itu relatif. Buktinya lima menit yang kujalani bersama Febri, berlalu begitu saja tak lebih dari sedetik. Sial, seharusnya kuajak saja ia mengambil rute hukum-MUI-balairung-FKM-MIPA-Fasilkom-Psiko, walau entah kapan nyampenya.

“Bi, aku kuliah dulu ya. Makasih loh udah nemenin aku jalan.”, ucapan Febri menyadarkanku dari lamunan.

“Eh, mmm, iya, sama-sama Feb. Aku juga ada rapat nih. Daah…”, jawabku yang selalu tiba-tiba menjadi gugup jika harus berinteraksi dengan makhluk yang satu itu.

Setelah perpisahan yang menyedihkan dengan Febri, akupun menuju selasar gedung D untuk rapat kepanitiaan. Dan seperti biasa disitu sudah banyak berbagai rapat kepanitiaan dengan membahas acara yang berbeda tentunya. Satu hal yang sangat khas di Fakultasku yang selalu mempunyai banyak kegiatan kemahasiswaan walaupun dengan skala sangat kecil dan internal, bahkan setahuku tidak pernah ada acara besar, eksternal, dan melibatkan seluruh mahasiswa Psiko ini.

Setelah rapat aku ditelepon Fajar agar segera kembali ke kostannya. Akupun segera meluncur kesana. Dan mungkin juga sebaiknya kupindahkan mobilku dan parkir di depan hukum agar lebih dekat.

Di kostan Fajar aku baru ingat bahwa aku belum shalat ashar. Tetapi ketika aku hendak menunaikan shalat, Doni dan Fajar justru menyuruhku untuk segera duduk dan kembali berdiskusi. Mereka bilang nanti saja shalatnya berjamaan bersama mereka. Akupun segera duduk dan mempersiapkan otakku mendengarkan berbagai pemikiran yang ditawarkan Doni.

“Ok, sampai mana tadi? Oh iya sampai gerakan menuju NKA NII baru ya. Sebelum gue ngejelasin lebih lanjut, gue pengen nanya ama kalian. Kalian peduli nggak ama nasib bangsa?”, tanya Doni.

“Peduli”, jawab kami serempak.
“Jawaban kalian seperti jawaban berjuta-juta orang Indonesia. Peduli tapi tidak berbuat apa-apa. Apakah kalian sama seperti mereka? Manusia-manusia yang hanya bisa ngomong doang?”, tanya Doni lagi.
“Tidak”, jawabku dan Fajar tegas. Tentu saja aku menjadi panas mendengarnya, entah dengan Fajar.

“Kalau begitu kalian rela berkorban untuk bangsa ini khan? Berkorban harta, tenaga, dan bahkan mungkin nyawa? Kali ini gue nanya serius dan kalian harus memikirkan dahulu jawaban ini. Jangan hanya ngomong doang dan ikut-ikutan”, tanya Doni lagi.
Berkorban? Harta, mungkin aku dengan mudah menyanggupinya, toh tabunganku cukup banyak. Tenaga…boleh. Nyawa…tunggu dulu, harus ada alasan yang jelas untuk yang satu ini. Tapi untuk bangsa…

“Gue sanggup berkorban segalanya untuk bangsa ini”, jawab Fajar memotong pikiranku.
“Lo gimana Bi?”, tanya Doni kepadaku.
“Gue juga sanggup, bahkan jika harus berkorban nyawa, asal tujuannya jelas”, jawabku tanpa pikir panjang lagi.
“Kalau begitu gue akan ngejelasin mengenai neo NKA NII ini. Ini adalah sebuah gerakan yang amat jelas tujuannya yaitu membebaskan bangsa ini dari berbagai problem yang selama ini melandanya. Sebuah gerakan yang ingin mendirikan negara berdasarkan Al Quran, sunah, dan akal sehat orang-orang yang berakal.

Gerakan ini dipelopori oleh orang-orang yang peduli seperti kita. Orang-orang yang tidak hanya peduli dan berdiam diri, melainkan orang-orang yang peduli dan bersedia berkorban demi perbaikan negeri ini. Itulah sebabnya tadi gue nanya kepedulian kalian dan kesediaan kalian untuk berkorban. Dan untuk itulah gue menganjurkan kalian untuk bergabung dengan gerakan ini. Karena kalau sendirian kalian nggak akan bisa berbuat apa-apa. Bagaimana? Apa kalian ingin bergabung dengan neo NKA NII ini?”, tanya Doni.

“Mau, mau”, jawabku. Sedang Fajar hanya menganggukkan kepalanya.
“Baik kalau gue akan menjelaskan langkah-langkah untuk bergabung. Kalian tahu surat At Taubah ayat 20-22?”, sambil mengeluarkan Al Quran di tasnya.
“Nggak”, jawabku cepat. Shalat aja aku masih bolong-bolong.

“Ini adalah dasar pembentukkan negara Madinah Al Munawarah di jaman Rosulullah. Dan ini juga yang menjadikan dasar pembentukkan neo NKA NII ini. Bunyi ayat ini begini ‘Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka (mereka mendapatkan) derajat yang paling mulia di sisi Allah dan menrekalah orang-orang yang berbahagia.Allah meberi kabar gembira bahwa mereka mendapat rahmat dari pada Nya, mendapat keridhoan dan syurga yang di dalamnya penuh dengan kenikmatan yang kekal abadi, sesungguhnya Allah memiliki pahaal yang besar (QS 9:20-22)’. Nah dari ayat ini ada tiga hal yang merupakan fondasi mewujudkan dienul Islam ini yaitu iman, hijrah, dan jihad atau disebut Ihaja.”, Doni berhenti sebentar, mungkin agar kami berusaha mencerna ayat-ayat yang baru saja ia bacakan.

Kemudian ia melanjutkan, “Iman adalah keyakinan kepada Allah SWT, Malaikat, Kitabullah, Rosulullah, Kiamat, Takdir, dan Kebenaran Tujuan Gerakan ini. Kalian meyakini ini semua?”
“Yakin, tapi maksud dari iman kepada kebenaran tujuan gerakan ini apa?”, tanyaku.
“Seperti para sahabat Rosulullah yang meyakini apa yang diinstruksikan oleh Rosul kepada mereka. Seperti keyakinan para sahabat bahwa pendirian Madinah Al Munawarah adalah sesuatu yang bisa menyebarkan Islam secara meluas kepada dunia. Seperti keyakinan kalian bahwa peduli dan rela berkorban terhadap bangsa adalah sesuatu yang baik. Seperti itulah keyakinan kepada kebenaran tujuan gerakan ini. Mengerti?”, jawab Doni diakhiri dengan pertanyaan lagi.

Aku dan Fajar mengangguk.
Doni pun melanjutkan, “Sekarang gue ingin kalian ngulangin syahadat kalian”
“Buat apa?”, tanya Fajar.
“Iya buat apa sih?”, aku menimpali.
“Supaya gue yakin bahwa kalian benar-benar memiliki Iman dan Islam dalam diri kalian. Dan juga sebagai momentum bahwa mulai saat ini kalian benar-benar Islam dan benar-benar beriman”, jawab Doni.

“Asyhadu allaa ilaaha illAllah wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah”, lagi-lagi Fajar mendahului tanpa memberikanku kesempatan berpikir. Akupun terpaksa mengikutinya dan bersyahadat di depan Doni.

“Ok, sekarang kalian baru benar-benar beriman. Dengan begitu kalian bisa melanjutkan ke tahapan selanjutnya yaitu hijrah. Kalian siap untuk hijrah?”, tanya Doni.
“Hijrah? Maksudnya pindah tempat, pindah negara, ke Tasikmalaya?”, tanyaku bingung.
Doni menjawab sambil tersenyum, “Bukan. Hijrah disini maksudnya meninggalkan apapun yang menjadi kehidupan kalian selama ini. Dosa-dosa yang kalian perbuat, perbuatan-perbuatan tidak berguna yang biasa kalian lakukan sehari-hari, kesetiaan kalian terhadap pemerintahan Indonesia sekarang,…”

“Maksudnya memberontak?”, aku memotong
“Benar, untuk saat ini mungkin dengan cara-cara tersembunyi. Sekarang sejauh yang kalian ketahui, dasar negara kita apa sih?”, Doni bertanya.
“Pancasila”, jawab kami hapal di luar kepala. Bahkan sambil tutup mata juga kami bisa menjawabnya.

“Sedangkan Allah berfirman bahwa barang siapa yang menjadikan selain Al Quran dan sunah sebagai petunjuk mereka, maka mereka itulah orang-orang kafir. Dan pemerintah Indonesia menjadikan Pancasila sebagai petunjuk negara, dasar negara. Maka pemerintahan Indonesia adalah pemerintahan kafir”

Tanpa memberikan kami kesempatan berpikir, Donipun melanjutkan, “Nah untuk itulah kalian harus hijrah dari pemerintahan kafir ini kepada pemerintahan NKA NII baru yang berlandaskan pada Al Quran dan sunah juga akal sehat orang-orang yang berakal. Karena hanya pemerintahan yang berlandaskan Al Quran sajalah pemerintahan yang dirahmati Allah sehingga cobaan-cobaan yang selama ini ditimpakan kepada negeri kita, insya Allah bisa teratasi”

Seperti tanpa mengambil nafas Doni melanjutkan, “Untuk sekarang ada empat hal yang harus kalian lakukan dalam proses hijrah ini. Pertama kalian tidak boleh berkata-kata buruk dan tidak berguna semisal gosip dan sumpah serapah pada orang lain. Kedua kalian tidak boleh merokok. Ketiga kalian tidak boleh pacaran. Dan keempat kalian harus membayar infaq untuk membiayai perjuangan kita di jalan Allah. Bagaimana? Ada yang mau ditanyakan?”
Ketiga syarat awal aku sudah mengerti walaupun mungkin terpaksa mengorbankan proses pdkt-ku dengan Febri selama ini. Tapi syarat yang keempat aku masih bingung. Aku pun bertanya pada Doni, “Membayar infaq? Maksudnya?”

“Perlu kalian ketahui bahwa gerakan NKA NII baru ini adalah gerakan yang telah meluas di seluruh Indonesia. Gerakan ini, sampai saat ini masih merupakan gerakan tersembunyi hingga saatnya tiba bagi kita untuk memproklamirkan Negara Karunia Allah Negara Islam Indonesia. Dan untuk membentuk sebuah negara diperlukan infrastruktur dan biaya yang besar untuk revolusi nanti. Dan itulah kenapa kalian diwajibkan membayar infaq”, jawab Doni.
“Oh begitu, berapa besarnya? Kapan gue harus membayar?”, tanyaku lagi.

“Sabar, sabar. Nanti gue akan nanya dulu ke pemerintah NKA NII setempat dulu berapa yang harus kalian bayar untuk mengurus biaya kewarganegaraan NKA NII disini. Tapi untuk biaya akomodasi kalian siapkan aja uang 300 ribu. Sedangkan biaya lainnya besok pagi kita bicarakan lagi setelah gue dapat info”, jawab Doni mengakhiri pembicaraan kami.

Yap, hari memang telah gelap. Diskusi yang kami lakukan, sampai pada solusi yang ditawarkan Doni tak terasa menyita waktu sekitar 5 jam. Akupun bergegas ke tempat parkir di depan hukum. Aku harus cepat sampai rumah karena perutku terasa melilit, “LAPAR!!”, jeritnya.

Setelah memasuki karimunku yang tinggal satu-satunya di parkiran hukum itu akupun memacunya dengan cepat. Memutar di depan halte MUI. MUI…oh iya aku belum shalat Ashar, Maghrib, dan Isya. Tapi kenapa Doni dan Fajar tidak mengingatkan dan juga tidak shalat ya?

Sebuah Pembaiatan
“Mas Arbiiii. Bangunnn. Ada telpon dari teman Mas nih. Cepat!”, teriakan pembantuku dengan suara melengking itu membangunkanku.

Sial. Pagi-pagi begini dibangunkan oleh pembantuku. Dengan teriakan khasnya itu siapa yang tidak akan terbangun. Kapan ya ada suara lembut yang membangunkanku dari tidur. Suara dari orang yang kucinta.

“Halo, siapa nih?”, aku langsung menyambar gagang telepon dengan mata setengah terbuka.
“Assalamu ‘alaikum Bi. Ini Fajar. Cepetan ke kostan gue. Lo dah ditungguin dari tadi. Kita khan sekarang mau ke tempat petinggi NKA NII. Jangan bilang lo lupa Bi”, ternyata suara Fajar.

Oh iya, sekarang khan gue ada janji ama Fajar dan Doni. Sial, kenapa harus hari sabtu sih. Ini khan hari tidur nasional buat gue.

“Ok Jar. Gue mandi dulu ya. Baru bangun nih. Sori banget gue lupa. Tunggu bentar ya.”, jawabku.

“Ya udah cepetan. Gue tunggu di kostan gue ya. Assalamu ‘alaikum.”, suara Fajar terdengar agak marah.

Sial. Seharusnya khan gue yang marah dibangunin pagi-pagi di hari libur ini. Tapi bener juga. Ini khan janji. Sebuah komitmen yang kemarin baru aku ucapkan. Sebuah janji besar untuk mengorbankan harta, tenaga, dan bahkan nyawa demi perbaikan bangsa. Sementara disuruh bangun pagi saja aku enggan.

Selesai mandi dan sarapan pagi, akupun memacu Karimunku menuju Depok. Tepatnya Barel. Lebih tepatnya kostan Fajar. Seluruh keahlian navigasi di jalanan Jakarta ini kukerahkan. Jalan potong yang bebas dari kemacetan pagi kulalui. Jalan-jalan kecil alternatif kutempuh agar bisa sampe tepat waktu. Menghindari seluruh kemacetan yang diakibatkan jam kerja di Jakarta. 30 menit kemudian aku sudah memarkir Karimunku di kostan Fajar. Dan disitu aku baru sadar bahwa ini hari Sabtu. Tidak ada jam kerja. Tidak ada kemacetan. Sial.

“Oy Bi. Ayo kita langsung berangkat aja.”, sambut Doni di depan pintu kostan Fajar.
“Berangkat kemana?”, tanyaku.
“Ke pejabat NKA NII setempat buat ngurus proses hijrah kalian berdua. Ayo langsung aja, udah telat nih.”, jawab Doni.

Sementara Fajar juga telah siap. Dia keluar dan mengunci kostannya. Dan kamipun memasuki Karimunku yang telah terlanjur kuparkir. Kalau tahu begini tidak akan kuparkir dengan rapih seperti ini.

“Kemana nih?”, tanyaku.
“Kamu ikuti saja petunjuk jalan gue. Nyetirnya nyantai aja, gak usah ngebut.”, memberikan instruksi padaku.

Akupun menyetir berdasarkan petunjuk Doni. Tampaknya ia hafal diluar kepala jalan-jalan di Depok dan Jakarta ini. Bahkan daerah yang kami tuju tampaknya diluar daerah jelajahku. “Bener gak sih Doni orang Bandung?”, pikirku.
“Ya di gedung itu. Lo masuk aja dan parkir disitu. Jangan lupa kunci mobilnya dan bawa semua yang kita butuhkan nantinya. Lo bawa duit akomodasi yang 300 ribu itu khan?”, tanya Doni.
“Bawa.”, jawabku singkat.
Dan setelah kukunci mobilku, memasang kunci setir, dan memeriksa barang bawaan yang kubutuhkan, akupun mengikuti Doni dan Fajar ke lantai dua gedung tersebut. Kami memasuki sebuah ruang, seperti ruang kantor. Tampaknya ini ruangan baru karena tampak beberapa perabotan yang masih dibungkus dan tergeletak tidak pada tempatnya.
“Silahkan duduk Jar, Bi. Oh iya kenalkan ini Pak Agus. Pejabat NKA NII di daerah Depok ini. Tingkatannya sama seperti camat.”, Doni memperkenalkan kami pada seorang laki-laki berbadan gemuk, memiliki jenggot dan kumis yang lebat, dengan rambut tipis yang tampaknya mengalami kerontokan akut.

“Saya Fajar Pak”, ujar Fajar sambil menjabat tangan Pak Agus.
Akupun melakukan hal yang sama. Kemudian duduk di kursi yang sepertinya telah disiapkan. Sementara Doni tampak berbincang dengan Pak Agus. Kalau tidak salah dengar, dia membicarakan maksud kedatangan kami untuk hijrah menjadi warga NKA NII. Tampaknya mereka akrab sekali.

“Oh jadi maksud kedatangan adik-adik ini ingin hijrah. Saya senang mendengarnya. Selamat datang di NKA NII, pintu gerbang rahmat Allah. Tampaknya tidak ada hal lain yang perlu saya jelaskan disini karena Dik Doni tentu sudah menjelaskan pada kalian semua bukan? Tapi ada empat hal yang perlu saya tanyakan pada kalian sebelum kalian diterima menjadi warga NKA NII. Hal pertama, kalian siap mengorbankan harta, tenaga, dan nyawa kalian demi pergerakkan ini?”, tanya Pak Agus dengan suara basnya.
“Siap”, jawab Fajar tanpa pikir panjang.
Akupun menjawab siap.

Pak Agus melanjutkan dengan pertanyaan kedua, “Kalian pernah pacaran?”
“Belum pernah Pak.”, lagi-lagi Fajar menjawab cepat seperti ingin memprovokasiku.
“Pernah Pak”, aku yang memang pernah sekali berpacaran menjawab jujur.
“Kamu masih pacaran sekarang Bi?”, tanya Pak Agus lebih lanjut kepadaku.
“Nggak Pak”, jawabku yang memang sudah setahun ini menjomblo.
“Kalau begitu jika kamu nanti ditanya pertanyaan seperti tadi kamu harus bilang belum pernah, ok!.”, ujar Pak Agus sedikit memaksa.
“Kenapa Pak?”, tanyaku.

“Karena pacaran bukan sesuatu yang bisa dibanggakan di NKA NII ini. Dan ketika kamu hijrah nanti berarti kamu memasuki tahapan hidup baru. Dan didalam hidup baru itu berarti kamu belum pernah pacaran, mengerti?”, jawab Pak Agus cepat.

Dan tanpa memberikan kesempatan padaku untuk berpikir, Pak Agus melanjutkan dengan pertanyaan ketiga, “Kalian punya saudara TNI gak?”
“Tidak”, jawabku cepat sebelum didahului Fajar.
“Punya Pak”, jawab Fajar diluar dugaanku.

“Mulai saat ini semua orang yang menjadikan petunjuk hidupnya selain Al Quran dan hadits bukanlah saudara kalian. TNI adalah orang-orang yang menjadikan Sapta Marga dan Pancasila sebagai satu-satunya jalan. Mereka adalah orang-orang kafir, dan mereka bukan saudara kalian. Mengerti?”, ucap Pak Agus tegas dan cepat.
“Kalian sudah membayar infak belum?”, lagi-lagi tanpa memberi kami kesempatan berpikir Pak Agus sudah melanjutkan pertanyaannya.

“Belum Pak”, jawab kami serempak.
“Kalau gitu keluarkan uangnya sekarang. Untuk saat ini uang akomodasi saja. Masing-masing 300 ribu.”, ucap Pak Agus dengan sedikit nada memerintah.

Akupun mengeluarkan uang yang telah kusiapkan dari rumah. Sementara Fajar hanya membawa 100 ribu dan meminjam uang padaku. Akupun memberikannya karena kebetulan aku membawa uang lebih saat itu. Kemudian kami menyerahkan uang kami pada Pak Agus. Dan kami diberikan tanda terima lengkap dengan stempel NKA NII, jabatan Pak Agus, dan tanda tangannya. Profesional sekali pikirku.

Setelah itu aku dan Fajar dipisahkan. Aku, Doni, dan Pak Agus pergi dengan mengendarai Kijang Pak Agus menuju tempat yang tidak kuketahui karena mereka menutup mataku. Sementara Fajar katanya dibawa ke tempat lain oleh asistennya Pak Agus.
“Kenapa harus tutup mata sih Pak?”, tanyaku dengan nada protes.
“Karena kami tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama yang dilakukan NKA NII Kartosoewirjo. Bagaimanapun mulianya gerakan ini, banyak orang kafir diluar sana yang tidak menginginkan tegaknya NKA NII di negeri ini. Terkadang mereka berusaha mengirimkan penyusup dan menghancurkan gerakan yang kami buat. Hal ini pernah dialami Muhammad dan sahabatnya yang diabadikan oleh Al Quran.

Dalam surat Al Mumtahanah ayat 1 Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia telah tersesat dari jalan yang lurus.”.

Hal ini bukan karena kami tidak mempercayai kamu. Tapi ini adalah prosedur standar agar kami tidak lengah dan NKA NII ini dapat tegak pada saatnya nanti.”, jelas Pak Agus yang tampaknya menyadari nada protesku.

“Oh iya. Jika kamu ditanya oleh Pak Udin nanti, kamu jawab sesuai dengan yang saya instruksikan ok!. Dan jika kamu ditanya tentang infak bilang saja kamu sudah membayar 200 ribu. Kenapa begitu, nanti kamu akan tahu alasannya”, tanpa memberikan kesempatan bertanya, Pak Agus mengakhiri pembicaraan ini.

Akhirnya kami sampai di tempat Pak Udin. Ruangan kantornya lebih besar dibandingkan ruangan Pak Agus dan jauh lebih rapih. Di dinding kulihat tulisan NKA NII lengkap dengan lambangnya. Disampingnya kulihat foto orang yang tidak kukenal, tapi bertuliskan presiden NKA NII.

Setelah berbasa-basi sejenak, aku diperkenalkan pada Pak Udin. Tampaknya beliau adalah orang yang ramah, karena dari tadi tersenyum melulu. Perawakannya tinggi dan kurus. Hanya saja kemeja dan jas yang dipakainya menutupi hal tersebut sehingga sepintas badannya tampak ideal. Seperti yang sudah diinstruksikan Pak Agus, akupun menjawab ke empat pertanyaan yang diajukan Pak Udin.

“Apakah kamu jujur dalam menjawab ke empat pertanyaan saya tadi Bi?”, tanpa kuduga Pak Udin mengajukan pertanyaan kelima.
“Jujur Pak”, jawabku terlanjur basah.
“Bagus. Sebenarnya saya tahu bahwa kamu pernah pacaran, dan membayar uang akomodasi sebesar 300 ribu, bukan 200 ribu seperti yang kamu sebutkan tadi. Kenapa saya bilang bagus, itu artinya kamu telah siap dibaiat menjadi warga NKA NII, karena untuk mewujudkan tegaknya NKA NII baru ini terkadang memerlukan pengorbanan, termasuk kebohongan yang kamu lakukan tadi.”, ucap Pak Udin lagi-lagi sambil tersenyum.

Doktrin yang aneh pikirku. Penekanan pada kebolehan untuk berbohong ini membuatku mempertanyakan tujuan mulia yang disandangnya. Setahuku Muhammad adalah manusia paling jujur di muka bumi. Beliau tidak pernah berbohong dalam hidupnya. Dan tanpa berbohong beliau berhasil mendirikan Madinah Al Munawarah dan menaklukan Mekah. Aku jadi ragu.

“Sekarang kamu boleh pulang. Hari senin nanti kamu harus membawa uang 3 juta tunai sebagai biaya administrasi dan tanda kesediaan kamu berkorban untuk NKA NII. Setelah itu kami akan mebeberkan semua visi, misi, dan kegiatan perjuangan NKA NII ini kepada kamu, sekaligus penempatan posisi kamu dalam gerakan ini. Saya yakin kamu bukan orang yang tidak peduli pada nasib bangsa ini bukan!”, demikian Pak Udin mengakhiri pembicaraan kami.

Sebuah Keraguan
Dalam perjalanan pulang ke kostannya Fajar bersama Doni dan Fajar, aku mereview semua perjalananku dalam mengenal NKA NII baru ini. Mulai dari ajakan Fajar ke kostannya, kedatangan Doni yang merupakan teman lama Fajar, hingga penangguhan pelantikanku menjadi warga NKA NII ini. Tampaknya ada sebuah skenario besar yang menjadikan aku sebagai korban utamanya. Tapi masa sih Fajar tega berbuat itu. Bukankah dia bilang juga baru mengenal NKA NII ini.

“Don, kamu kuliah dimana di Bandungnya?”, tanyaku.
“Di Unpad”
“Ngambil jurusan apa?”
“Hubungan Internasional”
“Angkatan?”
“2004”
“Wah kebetulan banget. Gue punya temen disana Gugun dan Zaka. Kamu kenal mereka?”, tanyaku ngasal.

“Ehh, gue nggak terlalu kenal temen angkatan gue sih. Tapi gue emang pernah denger nama mereka. Soalnya HI Unpad tuh luas dan banyak banget satu angkatannya. Satu angkatan aja dibagi empat kelas. Entar deh gue tanya ama temen gue yang sering gaul di angkatan. Emangnya lo kenal dimana? Temen SMA?”, jawab Doni dengan nada suara yang sepertinya dipaksakan.

“Iya, mereka temen akrab gue di SMA. Udah lama nih nggak ketemu mereka. Kalau lo ke Unpad lagi salamin ya!”, ucapku mempraktekkan doktrin aneh NKA NII baru ini.
“Ok. Akan gue salamin. Sampai ketemu senen ya”, ucap Doni yang mengakhiri pembicaraan kami karena kami telah tiba di kostan Fajar.
“Hati-hati di jalan ya Bi. Sampai ketemu senin”, pamit Fajar.
Aku hanya tersenyum dan melambaikan tangan. Tersenyum karena ternyata Doni berbohong padaku tentang kuliahnya di Unpad. Tersenyum karena pertanyaan pancinganku sedikit membuat Doni gugup. Kenapa dia gugup pikirku.

Di rumah aku menyalakan komputer dan iseng-iseng browsing mencari tahu tentang NKA NII ini. Seperti biasa, banyak situs yang pro dan yang kontra. Entah mana yang bisa dipercaya. Tampaknya aku harus mencari orang di kampus yang bisa dipercaya dan mengetahui banyak tentang Islam. Siapa ya?

Terus uang 3 juta yang harus kubawa hari senin dapat darimana ya? Tabunganku hanya 2 juta. Atau minta ke ibuku ya? Tetapi kalau ditanya untuk apa aku nggak bisa berbohong. Bagiku membohongi ibu sama saja menjadi anak durhaka. Dan anak durhaka bagaimanapun tempatnya adalah neraka. Ah lebih baik kubohongi ayahku saja. Ia pasti gak akan nanya panjang lebar. Entah kenapa aku tersenyum sendiri.

Sebuah Petunjuk Jalan
Senin pagi aku terbangun. Entah dari mana aku mendapat ide untuk bertanya pada Gumilang. Orang yang menurutku mengetahui banyak tentang Islam dan menurut penilaianku cukup bisa dipercaya. Lagian ia adalah ketua rohis di kampusku, walaupun aku sendiri bukan anggota rohis.

Bener juga kata orang. Hidup paling enak itu adalah hidup yang pas-pasan. Buktinya aku merasa enak pas sampai kampus pas kebetulan Gumilang duduk termenung di selasar gedung D. Masih jam setengah delapan, masih cukup waktu untuk bertanya-tanya banyak hal pada dia.

“Kak Gum, ada waktu sebentar gak?”, tanyaku tanpa basa basi langsung duduk di sampingnya.

“Assalamu ‘alaikum Arbi ya? Ada, mau ngapain?”, Gumilang mengajakku bersalaman.
Kusambut salamnya, secara fisik dan ucapan. Walaupun aku masih merasa aneh dengan kebiasaan anak rohis ini. Kemudian kuceritakan mengenai masalahku. Tentang pertemuan dengan Doni di kostan Fajar, tentang diskusi yang kami lakukan mengenai nasib bangsa ini, tentang solusi Doni dengan NKA NII baru nya, sampai tentang rencanaku hari ini untuk menyerahkan uang 3 juta sebagai syarat pelantikanku menjadi warga NKA NII baru.

“Astagfirullah Arbi. Tau nggak ente kalau NKA NII yang kamu ceritakan tadi sudah menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya? Banyak hal yang menyimpang dari pergerakan yang mereka lakukan. Penyimpangan pertama, anggota NKA NII baru boleh berbohong, padahal jelas-jelas berbohong dalam Islam itu dosa. Bagaimanapun mulianya tujuan kita, tapi jika dalam proses pencapaiannya banyak terjadi penyimpangan, maka itu bukanlah hal yang mulia lagi”, jelas Gumilang panjang lebar.

“Oh gitu ya Kak. Dari sabtu kemaren gue juga dibilangin gitu, bahwa demi tujuan mulia kita boleh kok berbohong. Itu salah ya Kak? Terus apalagi?”, tanyaku penasaran.

“Yang kedua mereka tidak mewajibkan shalat. Mereka beranggapan bahwa saat ini adalah periode Mekah dimana shalat belum diwajibkan. Secara logika aja deh, ente bisa ngeliat penyimpangannya nggak Bi?”, lanjut Gumilang.

Aku berpikir sebentar. Periode Mekah? Sementara periode Madinah saja sudah 14 abad yang lalu. Kenapa kembali ke periode Mekah sementara kewajiban shalat jelas-jelas sudah diperintahkan kepada semua umat muslim. Aku mengangguk mengerti.

“Yang ketiga adalah penafsiran mereka terhadap ayat-ayat Al Quran secara sembarangan tanpa melihat konteks ayat itu diturunkan dan tanpa ngelihat keseluruhan surat tersebut. Entar deh ane bawain daftar ayat-ayat yang secara serampangan ditadsirkan oleh mereka. Yang penting ente harus tahu dulu bahwa orang yang mengutip Al Quran sekehendak hati mereka dan menafsirkannya menurut logika mereka itu orang-orang nggak bener

Yang keempat, shalat bagi mereka adalah proses mendirikan negara seperti yang selama ini mereka lakukan. Ente khan tahu bahwa pada saat Isra’ Mi’raj, Rosul menerima perintah sholat lengkap dengan tata caranya. Hal ini juga dipraktekkan Rosul sendiri kepada para sahabatnya. Bahwa ada Takbiratul Ikhram, ada ruku, ada sujud, ada tahiyat. Jadi kalau ada yang bilang bahwa shalat itu mendirikan negara itu sama sekali nggak bener. Terlalu banyak ayat Al quran dan hadits yang menegasikan hal tersebut”, ucap Gumilang dengan berapi-api.
Akupun jadi merasa tertipu oleh mereka. Pantesan waktu itu Doni tidak shalat. “Sial. Dosa deh gue”, sesalku karena mengikuti ajakan Doni waktu itu.
“Terus penyimpangan yang kelima adalah eksploitasi infaq dari anggotanya sendiri. Ente tahu Multi Level marketing?”, tanya Gumilang kepadaku.
“Tahu kak”, jawabku singkat.

“Nah begitulah sistem infaq yang mereka lakukan. Fajar mungkin adalah anggota baru yang disuruh untuk ngerekruit ente. Dan kemungkinan besar, upline si Fajar ini adalah Doni. Dan seterusnya sampai pada Pak Udin yang ente ceritain tadi. Nanti setelah ente jadi anggota mereka, ente juga akan disuruh nyari downline untuk kemudian dieksploitasi finansialnya. Entah kemana nanti uangnya digunakan.”, jelas Gumilang yang membuatku bersyukur belum menyerahkan uang 3 juta di tasku ini.

“Terus apalagi Kak?”, tanyaku.
“Terus penyimpangan mereka yang terakhir adalah pengkafiran mereka pada orang lain selain warga NKA NII baru itu. Dengan berbagai dalil yang disimpangkan, mereka berani mengkafirkan orang lain. Padahal masalah keimanan hanya Allah lah Yang Maha Tahu dan Yang Maha Menentukan apakah seseorang itu beriman atau kafir.

Jadi begitu Bi. NKA NII baru yang ente ceritakan itu tampaknya sesuai dengan keenam ciri yang ane sebutin tadi. Jadi menurut ane, ente menjauh aja deh dari Fajar dan Doni”, saran Gumilang.

“Bener Kak. Tapi gue nggak terima ditipu begitu aja Kak. Gimana kalau mereka kita hajar Kak. Memberi pelajaran dalam Islam diperbolehkan khan?”, usulku dengan penuh kemarahan.
“Memberi pelajaran nggak harus dengan kekerasan Bi. Walaupun ente alumni STM Pembangunan Jakarta dan punya banyak temen, tapi ane saranin jangan pake kekerasan deh. Gini aja, nanti ane temenin ente ke tempat Fajar dan Doni. Nanti biar ane ngasih pelajaran ke mereka melalui ajaran yang bener. Semoga penjelasan ane berhasil dan mereka mau bertobat. Gimana?”, Gumilang berusaha meredakan kemarahanku.

“Ok deh Kak. Nanti jam setengah lima sore kita berangkat bareng ke kostan Fajar ya. Tapi kalau mereka emang bandel dan nggak mau balikin duit gue, mungkin cara kekerasan bisa menyadarkan mereka. Ya udah gue ada kuliah dulu nih Kak. Assalamu ‘alaikum”, pamitku pada Gumilang.

“Waalaikum Salam Warahmatullah”, sambut Gumilang.
Akupun bersegera menuju kelas. Menyesali kebodohanku. Menyesali pengetahuan agamaku yang sangat kurang sehingga bisa tertipu oleh Fajar dan Doni. Menyesali kenapa harus ada orang-orang yang sesat yang bergabung dan menamakan diri mereka warga Negara Karunia Allah Negara Islam Indonesia baru.

Dan dalam hati akupun berdoa, “Ya Allah, Tunjukanlah kami jalan yang lurus. (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.”

Share: