Kamis, 25 Maret 2010

Sekularisasi Masjid Al-Aqsha

Mencermati polemik Al-Aqsha ahir-akhir ini, mengingatkan saya pada perkataan seorang Nurcholish Majid. Perkataan yang kemudian menjadi jargon terkenal di era orde baru itu berbunyi, "Islam yes! Partai Islam no!" Jargon ini kemudian dimanfaatkan pemerintah Suharto saat itu untuk memisahkan Islam dari wilayah politik. Maka, berjayalah sekularisme pada jaman orde baru. Bahkan efek sekularisme itu masih bisa kita rasakan sampai sekarang.

Islam sebagai agama yang komprehensif, pada saat itu dipenjara dalam masjid dan mushola. Maka jangan harapkan pemerintahan yang berhukum dengan Al Quran dan Sunnah. Jangan harapkan pula perekonomian sesuai syariah. Karena saat itu Islam telah dibelah-belah. Tak ada Islam dalam politik, ekonomi, dan muammalah. Mereka hanya menyisakan Islam sebagai bentuk ibadah.

Ketika saya membaca tulisan Syeikh Raid Shalah di Dakwatuna (www.dakwatuna.com/2010/apa-yang-dimaksud-masjid-al-aqsha) tentang Al-Aqsha, saya merasa dejavu. Pikiran saya dilingkupi sebuah kesadaran baru. Bahwa saya dan sebagian ummat ternyata tanpa sadar telah terjebak dalam sebuah bentuk sekularisme. Bahkan diadu domba karenanya.

Dulu saya mengira bahwa masjid Al-Aqsha adalah masjid berkubah kuning emas. Kemudian saya membaca tulisan tentang masjid Al-Aqsha 'yang sebenarnya' yang berkubah biru. Bahkan dalam tulisan-tulisan tersebut ada peringatan tentang konspirasi Yahudi yang ingin mengalihkan pandangan kaum muslimin dari masjid Al-Aqsha 'yang sebenarnya' yang berkubah biru ke Qubah As-Shakhrah (Dome of The Rock atau masjid berkubah kuning emas). Adu argumentasi pun tak terelakkan. Bahkan terkadang diwarnai hujatan. Tanpa sadar, para pemberi peringatan itupun ternyata telah masuk ke dalam pusaran konspirasi Yahudi.

Masjid Al-Aqsha sebagai sebuah komplek yang terdiri atas masjid kubah biru, masjid kubah kuning emas, mushola Al-Marwani, dan dinding pembatas di sekitarnya, seakan-akan dipecah dan disekularisasi menjadi masjid kubah biru dan masjid kubah emas saja. Bahkan ketika kita asyik berdebat dan saling menghujat, sebagian tubuh masjid Al-Aqsha telah dirubah menjadi tembok ratapan Yahudi, pos polisi Zionis, dan terakhir menjadi barak militer.

Membaca perdebatan tersebut saya jadi teringat pada kisah 3 orang buta yang berdebat tentang bentuk seekor gajah. Orang buta pertama yang sedang memegang belalai gajah berpendapat bahwa gajah itu berbentuk panjang, bulat, dan tebal. Orang buta kedua yang sedang memegang kuping gajah berpendapat bahwa gajah itu berbentuk lebar dan tipis. Sedangkan orang buta ketiga yang sedang memegang ekor gajah berpendapat bahwa gajah itu panjang dan kecil.

Mungkin seperti itulah keadaan kita. Bahkan lebih parah lagi. Kita yang dibutakan oleh konspirasi, berdebat tentang belalai dan kuping gajah. Satu pihak dari kita ngotot bahwa gajah itu adalah belalainya. Pihak lain dari kita menghujat dan mengatakan bahwa gajah itu adalah kupingnya. Sedangkan Zionis laknatullah yang telah menusuk mata kita dengan politik adu dombanya, sedang asyik menguliti tubuh gajah, dan melakukan mutilasi sistematis pada kaki-kaki gajah kita. Tampaknya mereka akan makan besar.

Tangerang, 25 Maret 2010
00:29 WIB
Share: