Dalam NLP (dan ilmu psikologi secara umum), ketika kita ingin mengintervensi tingkah laku seorang target, maka kita harus melewati tiga tahapan.
Tahapan pertama adalah rapport building. Dalam tahap ini, kita harus membiasakan si target dengan kehadiran kita. Entah kehadiran secara fisik dalam bentuk tatap muka. Entah kehadiran secara pemikiran dalam bentuk tulisan dan media. Maupun kehadiran secara perasaan dalam bentuk kerinduan. Pokoknya, gimana caranya agar ketika kita hadir untuk melakukan perubahan (intervensi), target tersebut tidak kabur atau antipati duluan. Paling tidak, dia memiliki perasaan netral, syukur-syukur sampai pada tahap merindukan.
Tahapan kedua adalah pacing. Pada tahap ini, kita seolah-olah menjadi cermin bagi si target. Kita mengikuti gerakan dia. Kita berpikir seperti dia. Dan kita berbagi perasaan yang kita sesuaikan dengan perasaan dia. Sehingga dia, si target yang kita incar ini, merasa seolah-olah menemukan dirinya yang lain. Dia merasa seperti sedang bercermin. Dan ketika si target larut dengan cermin di hadapannya, yaitu kita, maka dimulailah tahap ketiga.
Tahap ketiga ini bernama leading. Dalam tahap ini, perlahan-lahan kita merubah gerakan fisik kita, sehingga si target yang larut dalam cermin, justru akan menyesuaikan gerakannya dengan gerakan kita. Perlahan pula kita ungkapkan pikiran kita yang sebenarnya, sehingga si target mulai mengikuti jalan pemikiran kita. Dan ketika tak ada lagi penolakan dalam diri si target, maka seluruh perasaan yang kita miliki, akan menjadi perasaan si target. Dan... tik... (sambil menjentikkan jari), intervensi apapun akan mudah kita lakukan pada si target.
Lalu, apa hubungannya dengan bakso?
Jika kita cermati, somay dan bakso merupakan makanan favorit kebanyakan orang Indonesia. Dari sinilah gue, sebagai seorang penggemar bakso, merasa dan sadar bahwa Obama ternyata mempraktekkan tahapan intervensi di atas. Gak percaya? Baiklah, kita kupas lebih dalam tahap-tahapnya.
Dalam tahapan rapport building, Obama yang merupakan sosok anti-tesis dari Bush, mudah menarik simpati banyak media, termasuk media di Indonesia. Sosok fisiknya kerapkali muncul di layar tv orang Indonesia. Pemikirannya tentang kebijakan Amerika yang lebih ramah, kerapkali kita baca di koran. Dan perasaannya tentang Indonesia, kerinduan akan masa kecilnya disini, dieksploitasi sedemikian rupa, sehingga banyak orang Indonesia yang merindukan kehadirannya di negeri ini. Bahkan dengan 2 kali kegagalan kunjungannya ke Indonesia tidak membuat rakyat di negeri ini kecewa. Kerinduan itu justru semakin membara di sebagian rakyat kita.
Ketika akhirnya Obama jadi mengunjungi Indonesia, sebagian orang seakan melihat Obama seperti cermin. Presiden sebuah negara adidaya berbicara bahasa Indonesia, menyukai somay dan bakso, pernah bersekolah di Indonesia (bukan BSI loh... :)), dan berbagai kemiripan lain. Maka larutlah sebagian dari kita dalam euforia Obama. Dan dari sinilah agenda-agenda tersembunyi Amerika dimulai.
Tapi dari sini pulalah gue akan mengakhiri tulisan gue. Meraba agenda tersembunyi Amerika dan bentuk intervensinya terhadap rakyat Indonesia sepertinya bukan core competence gue. Yang jelas, satu hal yang cukup berkesan dari kedatangannya adalah ketika paspampres (pasukan pengaman presiden) Indonesia, harus melewati penggeledahan secret service (paspampres) Amerika. Menurut gue, ini adalah sebuah bentuk leading yang luar biasa, seakan ingin menyampaikan pesan bahwa dimanapun Obama berada, yang lain justru menjadi tamunya (kalau gak bisa dibilang kacung).
Tahapan pertama adalah rapport building. Dalam tahap ini, kita harus membiasakan si target dengan kehadiran kita. Entah kehadiran secara fisik dalam bentuk tatap muka. Entah kehadiran secara pemikiran dalam bentuk tulisan dan media. Maupun kehadiran secara perasaan dalam bentuk kerinduan. Pokoknya, gimana caranya agar ketika kita hadir untuk melakukan perubahan (intervensi), target tersebut tidak kabur atau antipati duluan. Paling tidak, dia memiliki perasaan netral, syukur-syukur sampai pada tahap merindukan.
Tahapan kedua adalah pacing. Pada tahap ini, kita seolah-olah menjadi cermin bagi si target. Kita mengikuti gerakan dia. Kita berpikir seperti dia. Dan kita berbagi perasaan yang kita sesuaikan dengan perasaan dia. Sehingga dia, si target yang kita incar ini, merasa seolah-olah menemukan dirinya yang lain. Dia merasa seperti sedang bercermin. Dan ketika si target larut dengan cermin di hadapannya, yaitu kita, maka dimulailah tahap ketiga.
Tahap ketiga ini bernama leading. Dalam tahap ini, perlahan-lahan kita merubah gerakan fisik kita, sehingga si target yang larut dalam cermin, justru akan menyesuaikan gerakannya dengan gerakan kita. Perlahan pula kita ungkapkan pikiran kita yang sebenarnya, sehingga si target mulai mengikuti jalan pemikiran kita. Dan ketika tak ada lagi penolakan dalam diri si target, maka seluruh perasaan yang kita miliki, akan menjadi perasaan si target. Dan... tik... (sambil menjentikkan jari), intervensi apapun akan mudah kita lakukan pada si target.
Lalu, apa hubungannya dengan bakso?
Jika kita cermati, somay dan bakso merupakan makanan favorit kebanyakan orang Indonesia. Dari sinilah gue, sebagai seorang penggemar bakso, merasa dan sadar bahwa Obama ternyata mempraktekkan tahapan intervensi di atas. Gak percaya? Baiklah, kita kupas lebih dalam tahap-tahapnya.
Dalam tahapan rapport building, Obama yang merupakan sosok anti-tesis dari Bush, mudah menarik simpati banyak media, termasuk media di Indonesia. Sosok fisiknya kerapkali muncul di layar tv orang Indonesia. Pemikirannya tentang kebijakan Amerika yang lebih ramah, kerapkali kita baca di koran. Dan perasaannya tentang Indonesia, kerinduan akan masa kecilnya disini, dieksploitasi sedemikian rupa, sehingga banyak orang Indonesia yang merindukan kehadirannya di negeri ini. Bahkan dengan 2 kali kegagalan kunjungannya ke Indonesia tidak membuat rakyat di negeri ini kecewa. Kerinduan itu justru semakin membara di sebagian rakyat kita.
Ketika akhirnya Obama jadi mengunjungi Indonesia, sebagian orang seakan melihat Obama seperti cermin. Presiden sebuah negara adidaya berbicara bahasa Indonesia, menyukai somay dan bakso, pernah bersekolah di Indonesia (bukan BSI loh... :)), dan berbagai kemiripan lain. Maka larutlah sebagian dari kita dalam euforia Obama. Dan dari sinilah agenda-agenda tersembunyi Amerika dimulai.
Tapi dari sini pulalah gue akan mengakhiri tulisan gue. Meraba agenda tersembunyi Amerika dan bentuk intervensinya terhadap rakyat Indonesia sepertinya bukan core competence gue. Yang jelas, satu hal yang cukup berkesan dari kedatangannya adalah ketika paspampres (pasukan pengaman presiden) Indonesia, harus melewati penggeledahan secret service (paspampres) Amerika. Menurut gue, ini adalah sebuah bentuk leading yang luar biasa, seakan ingin menyampaikan pesan bahwa dimanapun Obama berada, yang lain justru menjadi tamunya (kalau gak bisa dibilang kacung).
Depok, 12 November 2010
01:43 WIB
01:43 WIB
Khawatir ada 'bakso'nya kali Man. :D
BalasHapuseuforia semu ya....
BalasHapusYap, paspampres nyambi jadi pengusaha bakso... :D
BalasHapusSeperti euforia rakyat Indonesia yang menyambut tentara Jepang dengan slogan 3 A-nya. Berbekal slogan 3 A (Nipon cahaya Asia, Nipon .... lupa lagi), Jepang berhasil mengambil simpati sebagian rakyat, dan pada akhirnya justru menjajah negeri ini. Obama mirip-mirip lah. Penjajahan model baru...
BalasHapus