Kamis, 22 Desember 2011

Selasa, 28 Juni 2011

Jumat, 10 Juni 2011

Mintalah Fatwa dari Hatimu

"Mintalah fatwa (pendapat) dari hatimu.." (penggalan hadits Arbain Nawawi)

Ada beberapa pengalaman menarik yang saya alami terkait hadits di atas. Pertama adalah ketika berdiskusi masalah jodoh dengan seorang teman. Teman saya yang tertarik dengan seorang wanita, menjadikan hadits ini sebagai landasan baginya untuk memilih wanita tersebut sebagai jodohnya. Ia seakan melupakan - atau mungkin tidak tahu - redaksi lengkap hadits tersebut. Ia juga seakan melupakan bahwa kriteria pertama dalam memilih jodoh adalah agama.

Pengalaman kedua adalah ketika berdiskusi masalah pekerjaan di bank konvensional, riba, dan masalah yang terkait dengan hal tersebut. Teman yang menganggap masih ada pertentangan dalam masalah ini, menjadikan potongan hadits di atas sebagai dalil baginya untuk terjun dalam hal yang di dalamnya masih terdapat pertentangan tersebut. Ia seakan melupakan - atau mungkin tidak tahu - redaksi lengkap hadits tersebut. Ia juga seakan melupakan bahwa ada hadits yang memerintahkan kita menjauhi hal yang subhat, meragukan, ataupun masih menjadi pertentangan ulama.

Pengalaman ketiga adalah ketika ada seorang teman yang meminta pendapat pada saya mengenai suatu hal. Dengan entengnya, saya memberikan jawaban berupa potongan hadits tersebut. Saya seakan melupakan - atau mungkin tidak tahu - redaksi lengkap hadits tersebut. Saya juga seakan melupakan -atau tidak tahu - bahwa orang yang memberi fatwa di atas ketidaktahuannya, sama saja dengan melakukan kezholiman besar untuk dirinya dan untuk orang yang diberi fatwa. Saat itu saya juga melupakan bahwa para ulama besar yang pengetahuannya sangat jauh di atas saya, tidak ragu untuk memberi jawaban "tidak tahu" ketika diminta fatwa.


Dari Wabishah bin Ma'bad ra. dia berkata: "Saya mendatangi Rasulullah saw., lalu beliau bersabda: "Engkau datang untuk menanyakan kebaikan?", Saya menjawab: "Ya." Beliau bersabda: "Mintalah fatwa dari hatimu, kebaikan adalah apa yang jiwa dan hati tenang karenanya, dan dosa adalah apa yang terasa mengganggu jiwa dan menimbulkan keragu-raguan dalam dada, meskipun orang-orang memberi fatwa kepadamu dan mereka membenarkannya. (Hadits hasan dari Imam Ahmad dan Ad Darimi)

Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan dari hadits di atas:

1. Kedatangan Wabishah ra. kepada Rasulullah saw. adalah dalam rangka meminta fatwa. Maka, sebelum kita mengikuti Wabishah ra. dengan meminta fatwa kepada hati kita sendiri, kita juga wajib terlebih dahulu meminta fatwa kepada Rasulullah saw.. Dengan kata lain, pelajari dulu Al Qur'an dan Sunnah, sebelum kita meminta fatwa kepada hati kita.

2. Wabishah ra. adalah seorang sahabat Rasulullah saw. Maka, hanya seorang yang keimanan dalam hatinya sekelas dengan sahabat sajalah yang berhak untuk meminta fatwa dari hatinya. Selain itu, silahkan dipelajari lagi Al Qur'an dan Sunnahnya.

3. Yuk kita pelajari lagi Al Qur'an dan Sunnah.. :)

Wallahu a'lam bish showab.

Depok, 9 Juni 2011
12:52 WIB
Share:

Jumat, 18 Februari 2011

Anjing Pavlov-Media

Terkadang, kita mengaitkan suatu hal dengan hal lain secara unik. Orang lain mungkin menganggapnya irasional, aneh, tapi bagi kita, keterkaitan yang terbangun begitu rasional dan biasa.

Seperti anjing percobaan Pavlov, yang mengaitkan antara bunyi bel dan makanan. Anjing malang ini, sebelum dihidangkan makanan selalu diperdengarkan suara bel. Maka, anjing ini pun belajar bahwa bunyi bel berkaitan dengan makanan. Tak heran, jika suatu saat si anjing mendengar bunyi bel, air liurnya menetes duluan, bahkan ketika tiada makanan setelahnya.

Manusia pun demikian. Ada manusia-manusia kritis yang walaupun dipaparkan pada "bel-makanan", akan selalu membuka diri terhadap kemungkinan lain. Tetapi ada juga manusia-manusia "simple-minded" yang walaupun baru dipaparkan sekali pada "bel-makanan" akan menganggap bahwa bel dan makanan merupakan sesuatu yang pasti berkaitan.

Jika kita mencermati media -terutama televisi - belakangan ini, tampaknya ada yang sedang berperan menjadi Pavlov-Pavlov baru. Yang menjadi bel adalah ormas Islam tertentu. Yang menjadi makanan adalah tindakan kekerasan, intoleransi beragama. Sedangkan yang menjadi anjingnya, kita semua, para pemirsa.

Lewat acara berita, opini publik, dan diskusi yang kerap ditayangkan, Pavlov-media ini secara konsisten menyandingkan ormas Islam tertentu (dan mungkin Islam secara umum) dengan tindakan kekerasan dan intoleransi beragama. Lihatlah bagaimana media memberitakan kejadian di Cikeusik secara tidak berimbang. Atau bagaimana media mempertunjukkan kerusuhan Temanggung tanpa mengupas sebab musababnya. Dan masih jelas dalam ingatan saya bagaimana media begitu berpihak pada gereja HKBP di Bekasi, padahal mereka lah provokator sesungguhnya.

Tak perlu menggunakan teori hipnosis, psikologi kognitif, atau teori rumit lainnya, dengan teori behaviorist pun kita bisa melihat begitu tendensiusnya media. "Ormas Islam - tindakan kekerasan" terus menerus bergema sehingga terkadang yang terdengar hanyalah "Islam - kekerasan." Persis seperti bunyi bel dan hadirnya makanan.

Maka kitapun melihat ada manusia-manusia kritis terhadap percobaan ini. Manusia-manusia yang tak puas dengan tayangan televisi, dan mencari pemberitaan berimbang di internet.

Kita juga melihat manusia-manusia "simple minded" yang karena dipaparkan berita-berita tersebut terus menerus, mulai menganggap bahwa ormas Islam tertentu memang berkaitan dengan tindakan kekerasan.

Yang menarik, kita juga melihat anjing-anjing Pavlov-media, yang tidak hanya meneteskan air liur ketika mendengar bel. Tetapi bahkan mengajak anjing-anjing lain percaya bahwa suara bel itu pasti berkaitan dengan makanan. Anjing-anjing ini selalu mengkampanyekan bahwa ormas Islam tertentu selalu melakukan kekerasan. Bahkan pada saat tertentu, anjing-anjing ini berkampanye bahwa Islam adalah agama kekerasan, karena itu kita perlu mengubah dan menafsir ulang ayat-ayat dalam Al Qur'an.

Kalian tahu siapa anjing-anjing Pavlov-media itu? Mengutip julukan yang diberikan Indra J. Piliang dalam twitternya, anjing-anjing itu adalah JIL #SalahArah.


Depok, 15 Februari 2011
02:20 WIB
Share:

Kamis, 20 Januari 2011

Konspirasi Teori Konspirasi

Ada satu adegan dalam film Sang Pencerah yang menarik bagi  saya. Adegan dimana Ahmad Dahlan sedang mempresentasikan arah kiblat yang sebenarnya dengan menggunakan ilmu dan teknologi yang saat itu belum lazim di kalangan ulama. Presentasi ini gagal total karena para ulama sepakat bahwa peta dunia dan kompas merupakan produk orang kafir, karenanya, kedua benda tersebut tidak bisa dijadikan acuan dalam peribadatan kaum muslim. Para ulama lebih memilih untuk mengikuti para pendahulu mereka yang telah turun temurun menentukan arah kiblat mereka.

Kita yang sejak SD belajar geografi tentu merasa miris melihat adegan tersebut. Melihat para ulama yang merupakan orang-orang pilihan, ternyata begitu 'bodoh.' Mereka lebih memilih mengikuti kebiasaan nenek moyang mereka daripada menggunakan ilmu dan teknologi orang-orang kafir. Secara tidak sadar, para ulama tersebut telah membangun suatu teori konspirasi. Suatu teori yang menyatakan bahwa apapun produk, ilmu, dan teknologi yang berasal dari barat adalah bagian dari konspirasi Yahudi untuk menghancurkan ummat Islam.

Teori konspirasi ini berkembang pesat di kalangan ummat. Kecurigaan terhadap berbagai produk barat semakin merajalela. Tidak hanya produk barang dan jasa, tapi juga ilmu dan teknologi. Maka, selain boikot terhadap makanan, minuman, sabun, pasta gigi, dan produk konsumsi harian lainnya, sebagian kalangan muslim juga melakukan boikot terhadap ilmu dan teknologi barat.

Hipnosis contohnya. Banyak orang yang menuduh ilmu ini sesat. Sebagian mengatakan bahwa hipnosis hanya bisa dilakukan menggunakan jin, maka otomatis pelakunya adalah musyrik.

Dalam hal ini, ketika saya dulu masih mengajar di sebuah pesantren di Banten, pimpinan pondok yang merupakan ketua majelis fatwa MUI Banten meminta pendapat saya tentang hipnosis. Menyikapi praktek penyalahgunaan hipnosis yang terjadi, MUI Banten ingin membuat fatwa tentang hal tersebut. Maka, seluruh anggota majelis fatwa ditugaskan untuk mencari informasi sebanyak mungkin tentang hipnosis, termasuk beliau.

Ternyata pemahaman beliau tentang hipnosis tak jauh berbeda dengan masyarakat awam. Bedanya, beliau adalah orang yang tidak malu bertanya, dan tidak sembarangan dalam mencap sesuatu. Setelah beberapa kali diskusi dengan saya, akhirnya beliau paham bahwa hipnosispun ternyata hanyalah sebuah alat. Sang penggunalah yang mampu menjadikan alat ini sesat atau justru bermanfaat untuk ummat.

Saya tidak menafikkan bahwa Coca-cola adalah minuman 'beracun' yang akan menghancurkan tubuh kita. Saya juga tidak menafikkan bahwa ayam goreng dan burger Mc D adalah makanan sampah yang akan menyebabkan berbagai macam penyakit dalam tubuh kita. Saya sangat setuju terhadap tuduhan yang menyatakan bahwa sinetron, idol-idolan, film Indonesia bertema seks dan horor, serta tontonan sampah lainnya, merupakan konspirasi untuk menghancurkan moral ummat. Yang saya tidak setuju adalah ketika kacamata konspirasi ini kita pakai untuk segala hal termasuk dalam ilmu dan teknologi.

Mereka membuat makar. Tapi Allah-lah sebaik-baik pembuat makar. Tak mungkin semua konspirasi itu terlindung rapih. Pasti ada ceceran hikmah yang bisa kita rebut. Ilmu dan teknologi yang mereka ciptakan untuk menghancurkan kita, pasti bisa kita manfaatkan untuk menghancurkan balik para penggagasnya. Jangan sampai teori konspirasi ini justru menjadi konspirasi baru yang membodohi kita dalam menentukkan arah kiblat.

Depok, 20 Januari 2011
09:25 WIB
Yang masih bingung tentang imunisasi
Share: