Selasa, 28 Juni 2011
Minggu, 12 Juni 2011
Jumat, 10 Juni 2011
Mintalah Fatwa dari Hatimu
"Mintalah fatwa (pendapat) dari hatimu.." (penggalan hadits Arbain Nawawi)
Ada beberapa pengalaman menarik yang saya alami terkait hadits di atas. Pertama adalah ketika berdiskusi masalah jodoh dengan seorang teman. Teman saya yang tertarik dengan seorang wanita, menjadikan hadits ini sebagai landasan baginya untuk memilih wanita tersebut sebagai jodohnya. Ia seakan melupakan - atau mungkin tidak tahu - redaksi lengkap hadits tersebut. Ia juga seakan melupakan bahwa kriteria pertama dalam memilih jodoh adalah agama.
Pengalaman kedua adalah ketika berdiskusi masalah pekerjaan di bank konvensional, riba, dan masalah yang terkait dengan hal tersebut. Teman yang menganggap masih ada pertentangan dalam masalah ini, menjadikan potongan hadits di atas sebagai dalil baginya untuk terjun dalam hal yang di dalamnya masih terdapat pertentangan tersebut. Ia seakan melupakan - atau mungkin tidak tahu - redaksi lengkap hadits tersebut. Ia juga seakan melupakan bahwa ada hadits yang memerintahkan kita menjauhi hal yang subhat, meragukan, ataupun masih menjadi pertentangan ulama.
Pengalaman ketiga adalah ketika ada seorang teman yang meminta pendapat pada saya mengenai suatu hal. Dengan entengnya, saya memberikan jawaban berupa potongan hadits tersebut. Saya seakan melupakan - atau mungkin tidak tahu - redaksi lengkap hadits tersebut. Saya juga seakan melupakan -atau tidak tahu - bahwa orang yang memberi fatwa di atas ketidaktahuannya, sama saja dengan melakukan kezholiman besar untuk dirinya dan untuk orang yang diberi fatwa. Saat itu saya juga melupakan bahwa para ulama besar yang pengetahuannya sangat jauh di atas saya, tidak ragu untuk memberi jawaban "tidak tahu" ketika diminta fatwa.
Dari Wabishah bin Ma'bad ra. dia berkata: "Saya mendatangi Rasulullah saw., lalu beliau bersabda: "Engkau datang untuk menanyakan kebaikan?", Saya menjawab: "Ya." Beliau bersabda: "Mintalah fatwa dari hatimu, kebaikan adalah apa yang jiwa dan hati tenang karenanya, dan dosa adalah apa yang terasa mengganggu jiwa dan menimbulkan keragu-raguan dalam dada, meskipun orang-orang memberi fatwa kepadamu dan mereka membenarkannya. (Hadits hasan dari Imam Ahmad dan Ad Darimi)
Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan dari hadits di atas:
1. Kedatangan Wabishah ra. kepada Rasulullah saw. adalah dalam rangka meminta fatwa. Maka, sebelum kita mengikuti Wabishah ra. dengan meminta fatwa kepada hati kita sendiri, kita juga wajib terlebih dahulu meminta fatwa kepada Rasulullah saw.. Dengan kata lain, pelajari dulu Al Qur'an dan Sunnah, sebelum kita meminta fatwa kepada hati kita.
2. Wabishah ra. adalah seorang sahabat Rasulullah saw. Maka, hanya seorang yang keimanan dalam hatinya sekelas dengan sahabat sajalah yang berhak untuk meminta fatwa dari hatinya. Selain itu, silahkan dipelajari lagi Al Qur'an dan Sunnahnya.
3. Yuk kita pelajari lagi Al Qur'an dan Sunnah.. :)
Wallahu a'lam bish showab.
Depok, 9 Juni 2011
12:52 WIB
Ada beberapa pengalaman menarik yang saya alami terkait hadits di atas. Pertama adalah ketika berdiskusi masalah jodoh dengan seorang teman. Teman saya yang tertarik dengan seorang wanita, menjadikan hadits ini sebagai landasan baginya untuk memilih wanita tersebut sebagai jodohnya. Ia seakan melupakan - atau mungkin tidak tahu - redaksi lengkap hadits tersebut. Ia juga seakan melupakan bahwa kriteria pertama dalam memilih jodoh adalah agama.
Pengalaman kedua adalah ketika berdiskusi masalah pekerjaan di bank konvensional, riba, dan masalah yang terkait dengan hal tersebut. Teman yang menganggap masih ada pertentangan dalam masalah ini, menjadikan potongan hadits di atas sebagai dalil baginya untuk terjun dalam hal yang di dalamnya masih terdapat pertentangan tersebut. Ia seakan melupakan - atau mungkin tidak tahu - redaksi lengkap hadits tersebut. Ia juga seakan melupakan bahwa ada hadits yang memerintahkan kita menjauhi hal yang subhat, meragukan, ataupun masih menjadi pertentangan ulama.
Pengalaman ketiga adalah ketika ada seorang teman yang meminta pendapat pada saya mengenai suatu hal. Dengan entengnya, saya memberikan jawaban berupa potongan hadits tersebut. Saya seakan melupakan - atau mungkin tidak tahu - redaksi lengkap hadits tersebut. Saya juga seakan melupakan -atau tidak tahu - bahwa orang yang memberi fatwa di atas ketidaktahuannya, sama saja dengan melakukan kezholiman besar untuk dirinya dan untuk orang yang diberi fatwa. Saat itu saya juga melupakan bahwa para ulama besar yang pengetahuannya sangat jauh di atas saya, tidak ragu untuk memberi jawaban "tidak tahu" ketika diminta fatwa.
Dari Wabishah bin Ma'bad ra. dia berkata: "Saya mendatangi Rasulullah saw., lalu beliau bersabda: "Engkau datang untuk menanyakan kebaikan?", Saya menjawab: "Ya." Beliau bersabda: "Mintalah fatwa dari hatimu, kebaikan adalah apa yang jiwa dan hati tenang karenanya, dan dosa adalah apa yang terasa mengganggu jiwa dan menimbulkan keragu-raguan dalam dada, meskipun orang-orang memberi fatwa kepadamu dan mereka membenarkannya. (Hadits hasan dari Imam Ahmad dan Ad Darimi)
Ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan dari hadits di atas:
1. Kedatangan Wabishah ra. kepada Rasulullah saw. adalah dalam rangka meminta fatwa. Maka, sebelum kita mengikuti Wabishah ra. dengan meminta fatwa kepada hati kita sendiri, kita juga wajib terlebih dahulu meminta fatwa kepada Rasulullah saw.. Dengan kata lain, pelajari dulu Al Qur'an dan Sunnah, sebelum kita meminta fatwa kepada hati kita.
2. Wabishah ra. adalah seorang sahabat Rasulullah saw. Maka, hanya seorang yang keimanan dalam hatinya sekelas dengan sahabat sajalah yang berhak untuk meminta fatwa dari hatinya. Selain itu, silahkan dipelajari lagi Al Qur'an dan Sunnahnya.
3. Yuk kita pelajari lagi Al Qur'an dan Sunnah.. :)
Wallahu a'lam bish showab.
Depok, 9 Juni 2011
12:52 WIB