Minggu, 28 November 2010

Aku Mencintaimu karena Allah

Ada emosi yang bergejolak ketika guru ngaji saya menyampaikan suatu pengumuman penting. Bahwa ini adalah malam terakhir kebersamaan kami dalam lingkaran tarbiyah. Lingkaran yang telah hampir 5 tahun ini kami jalani. Bahwa mulai minggu depan, kami akan bersama dengan murobbi yang baru, berdzikir, mengkaji ilmu, mengevaluasi amalan, dan menjalin persaudaraan.

Emosi ini juga kurasakan 5 tahun yang lalu. Ketika itu bahkan sempat terpikir sebuah ide, bahwa aku gak mau ngaji jika tidak dengan murobbi yang sekarang. Sebuah emosi yang mengambil bentuk ekstrim berupa pengkultusan pada sang guru.

Sebuah hal yang wajar memang jika cinta karena Allah akhirnya dibumbui oleh cinta yang berlandaskan emosi semata. Bahkan seorang Umar bin Khatab ra. sempat merasakannya.

Kecintaan Umar ra. yang begitu besar terhadap Rasulullah saw., membuatnya begitu emosional ketika Rasulullah saw. wafat. Ia bahkan mengancam para sahabat yang mengatakan bahwa Rasulullah saw. wafat. Cinta emosionalnya, membuat Umar ra. mengkultuskan Rasulullah saw.

Ketika Abu Bakar ra. mendengar tentang hal ini, Abu Bakar ra. pun mendatangi Umar ra. Beliau mengingatkan Umar ra. dengan suatu ayat Allah SWT tentang kemanusiaan Rasulullah saw., bahwa Muhammad saw. juga manusia yang suatu saat akan dipanggil Kekasih Sejatinya.

Seketika tersadarlah Umar ra. Seketika itu pula, cinta karena Allah yang dirasakan Umar ra. terhadap kekasihnya, mengalahkan cinta emosionalnya. Cinta emosional membutakan Umar ra. Tapi cinta karena Allah menyadarkannya.

Mungkin itu sebabnya para pemimpin tarbiyah membuat sistem pergantian murobbi ini. Agar para murobbi dan mutarobbi membangun cinta karena Allah. Agar cinta emosional yang terbentuk dapat diminimalisir. Agar tak ada pengkultusan terhadap sang murobbi.

Bagaimanapun, aku mencintaimu karena Allah ya ustadz...

Depok, 28 November 201002:02 WIB 
Share:

Sabtu, 13 November 2010

Jumat, 12 November 2010

Obama Makan Bakso dengan teknik NLP

Dalam NLP (dan ilmu psikologi secara umum), ketika kita ingin mengintervensi tingkah laku seorang target, maka kita harus melewati tiga tahapan.
 
Tahapan pertama adalah rapport building. Dalam tahap ini, kita harus membiasakan si target dengan kehadiran kita. Entah kehadiran secara fisik dalam bentuk tatap muka. Entah kehadiran secara pemikiran dalam bentuk tulisan dan media. Maupun kehadiran secara perasaan dalam bentuk kerinduan. Pokoknya, gimana caranya agar ketika kita hadir untuk melakukan perubahan (intervensi), target tersebut tidak kabur atau antipati duluan. Paling tidak, dia memiliki perasaan netral, syukur-syukur sampai pada tahap merindukan.
 
Tahapan kedua adalah pacing. Pada tahap ini, kita seolah-olah menjadi cermin bagi si target. Kita mengikuti gerakan dia. Kita berpikir seperti dia. Dan kita berbagi perasaan yang kita sesuaikan dengan perasaan dia. Sehingga dia, si target yang kita incar ini, merasa seolah-olah menemukan dirinya yang lain. Dia merasa seperti sedang bercermin. Dan ketika si target larut dengan cermin di hadapannya, yaitu kita, maka dimulailah tahap ketiga.
 
Tahap ketiga ini bernama leading. Dalam tahap ini, perlahan-lahan kita merubah gerakan fisik kita, sehingga si target yang larut dalam cermin, justru akan menyesuaikan gerakannya dengan gerakan kita. Perlahan pula kita ungkapkan pikiran kita yang sebenarnya, sehingga si target mulai mengikuti jalan pemikiran kita. Dan ketika tak ada lagi penolakan dalam diri si target, maka seluruh perasaan yang kita miliki, akan menjadi perasaan si target. Dan... tik... (sambil menjentikkan jari), intervensi apapun akan mudah kita lakukan pada si target.
 
Lalu, apa hubungannya dengan bakso?
 
Jika kita cermati, somay dan bakso merupakan makanan favorit kebanyakan orang Indonesia. Dari sinilah gue, sebagai seorang penggemar bakso, merasa dan sadar bahwa Obama ternyata mempraktekkan tahapan intervensi di atas. Gak percaya? Baiklah, kita kupas lebih dalam tahap-tahapnya.
 
Dalam tahapan rapport building, Obama yang merupakan sosok anti-tesis dari Bush, mudah menarik simpati banyak media, termasuk media di Indonesia. Sosok fisiknya kerapkali muncul di layar tv orang Indonesia. Pemikirannya tentang kebijakan Amerika yang lebih ramah, kerapkali kita baca di koran. Dan perasaannya tentang Indonesia, kerinduan akan masa kecilnya disini, dieksploitasi sedemikian rupa, sehingga banyak orang Indonesia yang merindukan kehadirannya di negeri ini. Bahkan dengan 2 kali kegagalan kunjungannya ke Indonesia tidak membuat rakyat di negeri ini kecewa. Kerinduan itu justru semakin membara di sebagian rakyat kita.
 
Ketika akhirnya Obama jadi mengunjungi Indonesia, sebagian orang seakan melihat Obama seperti cermin. Presiden sebuah negara adidaya berbicara bahasa Indonesia, menyukai somay dan bakso, pernah bersekolah di Indonesia (bukan BSI loh... :)), dan berbagai kemiripan lain. Maka larutlah sebagian dari kita dalam euforia Obama. Dan dari sinilah agenda-agenda tersembunyi Amerika dimulai.
 
Tapi dari sini pulalah gue akan mengakhiri tulisan gue. Meraba agenda tersembunyi Amerika dan bentuk intervensinya terhadap rakyat Indonesia sepertinya bukan core competence gue. Yang jelas, satu hal yang cukup berkesan dari kedatangannya adalah ketika paspampres (pasukan pengaman presiden) Indonesia, harus melewati penggeledahan secret service (paspampres) Amerika. Menurut gue, ini adalah sebuah bentuk leading yang luar biasa, seakan ingin menyampaikan pesan bahwa dimanapun Obama berada, yang lain justru menjadi tamunya (kalau gak bisa dibilang kacung).


Depok, 12 November 2010

01:43 WIB 
Share: