Kamis, 22 Mei 2008

Hidayah Patung Selamat Datang

“Subhanallah..Seumur hidup baru kali ini gw ngeliat orang masuk Islam. Pas orang itu syahadat gw tu kepengen nangis. Ada orang yang merengkuh hidayah di depan mata gw Man.” 

Itulah bunyi sms dari seorang saudariku ketika dia menyaksikan seseorang yang bersyahadat dan menyatakan diri sebagai seorang muslim. Saudariku terharu menyaksikan pemandangan indah yang jarang dilihatnya ini.

Kurasa memang sudah sepantasnya dia terharu, karena hidayah adalah sesuatu yang besar dan mengguncangkan hati, mengubah paradigma, berujung pada perbaikan perilaku. Hidayah juga merupakan bentuk mutlak dari Kehendak Allah, karena tidak ada seorangpun yang mampu memberikan hidayah, bahkan untuk seorang Muhammad sekalipun. Hingga Alan temanku, mengemukakan pendapatnya tentang hal ini, yang cukup membuatku terkejut. 

“Menurut gue nggak ada yang istimewa ketika menyaksikan orang bersyahadat masuk Islam Man.”, seperti biasa Alan membuka diskusi ini dengan sesuatu yang mengejutkan.

“Nggak ada yang istimewa bagaimana Lan? Menurut gue justru momen spesial banget niy, menyaksikan Kehendak Allah secara langsung dan nyata.” 

“Ya emang Kehendak Allah. Tapi khan segala sesuatu di dunia ini juga Kehendak Allah Man. Terus emang kalo orang itu udah masuk Islam akan menjamin dia bahagia selama-lamanya kayak di film-film. Enggak khan?”

Aku yang sudah tahu gelagat Alan jika ingin mengemukakan sesuatu, diam dan menunggu. Karena aku yakin pertanyaan tadi cuma retoris belaka. 

“Gini Man. Jika diibaratkan Islam itu sebagai kota Jakarta, maka orang yang baru mendapat hidayah dan masuk Islam itu seperti orang yang baru masuk kota Jakarta dan disambut oleh patung selamat datang. Menurut lo apa istimewanya coba, ngeliat imigran Jakarta?”

“…” 

“Yang istimewa buat gue justru ketika mereka telah turut andil dalam membangun Jakarta ini. Mereka tidak menambah jumlah populasi pencopet, perampok, penipu, dan penjahat lainnya di ibukota ini.”

“Begitu juga dalam Islam, Man. Banyak banget orang yang ngaku muslim, tapi kelakuannya jauh banget dengan jalan yang digariskan Allah. Mereka udah bersyahadat, tapi masih menuhankan uang dan kekuasaan. Mereka udah sholat, tapi tetap melakukan perbuatan keji dan kemungkaran. Mereka juga puasa, tapi tetep gak bisa nahan diri terhadap godaan dunia. Mereka-mereka itu orang yang udah dapet hidayah dari dulu Man. Bahkan kebanyakan Islam turunan. Terus menurut lo apa istimewanya orang yang baru masuk Islam?” 

“Potensi…”, aku menjawab ragu.

“Mereka juga berpotensi untuk menjadi penjahat muslim Man, menjadi seorang munafik. Inget ucapan seorang ulama gak yang berkata bahwa cahaya Islam saat ini ditutupi oleh para pemeluknya sendiri? Lagipula keimanan orang-orang yang baru mendapat hidayah juga belum kuat dan justru potensi untuk kehilangan hidayahnya lebih besar. Kembali merengkuh kekafiran. Terus menurut lo apa istimewanya orang yang baru masuk Islam?” 

Aku mengangkat bahu. Kupikir kali ini bukan pertanyaan retoris dari Alan sang orator.

“Nggak ada khan! Nggak ada yang istimewa dari orang yang baru memasuki pintu gerbang perjuangan. Nggak ada yang istimewa dari imigran yang disambut oleh patung selamat datang. Yang istimewa justru ngeliat orang-orang yang telah lama berjuang dan menghasilkan sesuatu untuk Islam ini. Merekalah orang-orang yang patut kita istimewakan. Perjuangan merekalah yang seharusnya membuat kita terharu Man!” 

Alan menarik nafas panjang. Semangat dan pemikirannya benar-benar membuatku tak bisa berkata apa-apa. Aku menanti kelanjutan pencerahannya.

“Tapi ada sesuatu yang istimewa yang pasti akan membuat lo terharu Man. Bahkan saudari lo itu pasti bakal nangis beneran.” 

“Apaan Lan?”, aku penasaran.

“Yaitu menyaksikan orang yang ber-‘syahadat’ ketika mereka menyempurnakan setengah agamanya. Gue yakin lo dan saudari lo pasti terharu. Apalagi kalau kalian mengalaminya sendiri” 

“Haha…dasar si Alan”

“…Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpinpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.” (QS. 18:17) 

“Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."”(QS. 49:14)

Tangerang, 21 Mei 2008
15:16 WIB
Inspired by ukhti yang sedang mudah terharu dan Temanku KhayAlan

Share:

Jerawat Azab

Pernah aku meyakini bahwa ke-Maha Adil-an Allah hanya berlaku di hari akhir nanti, tidak di muka bumi ini. Aku melihat begitu banyaknya kesewenang-wenangan. Aku melihat begitu banyak kezholiman. Aku melihat begitu banyak kejahatan. Tapi para pelakunya dapat hidup bebas, berjalan dengan sombong di muka bumi ini tanpa satupun hukum manusia yang bisa menjeratnya.

Tidak seperti umat manusia jaman dahulu yang langsung Diazab jika melakukan kedurhakaan, para pelaku kemaksiatan saat ini diberi penangguhan oleh Allah. Kejahatan mereka akan dicatat, diakumulasi, untuk kemudian diberi balasan di akhirat nanti. Itulah sebabnya aku meyakini bahwa Ke-Maha Adil-an hanya berlaku di hari akhir nanti. 

Sampai suatu hari datanglah Alan mengeluhkan jerawat di jidatnya, “Sialan Man, kayaknya gue kena azab gara-gara kebanyakan maksiat nih..”

“Kenapa emangnya Lan?” 

“Lo liat gak jidat gue?”

“Iya, makin lebar. Emang kenapa? Hehe…” 

“Kodok…Bukan itu. Nih ada beberapa jerawat di jidat gue.”

“Terus apa hubungannya ama azab dan maksiat?” 

“Ya, kayaknya ini azab dari Allah karena gue berbuat maksiat deh”

“Emang lo berbuat maksiat apa Lan?” 

“Ya lo gak perlu tahu dong.”

“Terus maksudnya azab?” 

“Ya azab. Siksaan Allah berupa dicabutnya kenikmatan dalam diri makhlukNya.”

Siingg… Hampir meledak tawaku. Sebuah hal yang tidak masuk akal untuk seorang Alan yang begitu sholeh tapi cuek akan penampilannya, bahwa jerawat di jidatnya dianggapnya sebuah azab, terlepas dari maksiat yang dilakukannya. Dan nampaknya Alan membaca keheranan dan tawa tertahanku. 

“Jangan ketawa lo Man. Gini deh, menurut lo kenikmatan apa yang lo miliki, yang jika Allah cabut maka lo akan sangat menyesal?”

“Kenikmatan iman” 

“Yee…kalo itu dicabut oleh Allah lo pasti gak akan menyesal lagi. Dan bukan azab, tapi jauh lebih buruk dari itu. Coba yang lain.”

“Kenikmatan belajar islam, ukhuwah, keluarga, kesehatan, ilmu, waktu luang, mendidik…” 

“Oke-oke. Kalau lo sebutin semua nikmat yang Allah berikan, kayaknya gak akan selesai-selesai. Maksud gue disini adalah kenikmatan beribadah.”

“…” 

“Lo pernah gak sih merasakan betapa nikmatnya sholat malam Man?”

“Yap. Tapi kayaknya akhir-akhir ini berkurang deh.” 

“Nah sama kayak gue. Tapi hal ini diperparah dengan jerawat yang ada di jidat gue. Sehingga kalau gue sujud kerasa sakit banget. Alih-alih khusyu dan nikmat, yang ada justru sakit dan ngegganggu konsentrasi sholat gue.”

Yap, percakapanku dengan Alan mengubah secara total paradigmaku tentang azab dan kenikmatan. Begitu juga kisah yang dituliskan Imam Ibnu Al-Jauziy dalam bukunya yang berjudul Shaidul Khathir.  Dikisahkan bahwa seorang pendeta Bani Israil berkata, “Wahai Tuhanku, betapa seringnya aku berbuat maksiat, namun mengapa tak kunjung datang azab-Mu menimpa diri ini?” Dikatakan kepadanya, “Betapa banyak azab-Ku menimpa dirimu, namun engkau tak tahu bahwa itulah azab-Ku. Tidakkah engkau merasa, telah Aku halangi dirimu untuk merasakan kenikmatan bermunajat kepada-Ku?”

Maksiat yang disusul dengan maksiat adalah siksaan atas maksiat itu sendiri. Kezholiman, kesewenang-wenangan, dan kejahatan yang dilakukan, bukan hanya menjauhkan para pelakunya dari kenikmatan bermunajat kepada Allah, melainkan juga akan membuat pelakunya melakukan bentuk kedurhakaan yang sama ataupun berbeda dengan intensitas yang lebih besar. Sebaliknya kebaikan yang berbuah kebaikan merupakan balasan atas kebaikan itu sendiri.

 “Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka, bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan.” (QS. 3:178)



“Katakanlah: "Mungkin telah hampir datang kepadamu sebagian dari (azab) yang kamu minta (supaya) disegerakan itu” (QS. 27:72)

Tangerang, 21 Mei 2008
13:54 WIB
Inspired by Imam Ibnu Al Jauziy and Teman KhayAlanku

Share:

Kamis, 15 Mei 2008

Berobat Jalan

“Man tungguin gue ya, waktunya gue ngobat dulu niy…”, Alan temanku memintaku menunggunya.
“Emang lo sakit apa Lan? Setahu gue lo sehat banget.”, kataku.
“Komplikasi Man.”
“Komplikasi apaan?”
“Banyak deh. Ntar aja gue ceritanya.”, Alan mengakhiri pembicaraan begitu saja.

Kuperhatikan Alan dengan seksama. Dia mengambil duduk di salah satu pojokan masjid tempat kami baru saja menunaikan sholat dzuhur. Dia mengeluarkan sebotol air minum dan meminumnya. Kemudian diluar dugaanku, bukannya meminum obat, dia malah mengeluarkan Al Quran dan membacanya dengan khusyuk.

Aku menduga bahwa dia akan meminum obat setelah dia menyelesaikan targetan bacaan Al qurannya. Tapi setelah kutunggu hingga ia selesai membaca Al Quran, ia tidak juga meminum obat seperti yang ia bilang sebelumnya. Malah mengajakku langsung pergi dari masjid ini.

“Katanya minum obat Lan?”, Kataku memulai pembicaraan.
“Iya udah kok tadi.”, Jawab Alan singkat.
“Kapan? Dari tadi gue perhatiin lo gak minum obat apapun. Atau jangan-jangan air di botol tadi obat yang lo maksud ya?”
“Oh ini air biasa kok.”
“Terus?”
“Terus kenapa?”
“Kapan lo minum obatnya?”
“Tadi khan udah. Nih obatnya.”, Alan menunjukkan Al Quran yang tadi ia baca.

Seperti membaca ekspresi keherananku, Alan menjelaskan apa yang tadi dia lakukan, “Man, gue tuh punya penyakit yang kompleks banget. Komplikasi yang susah untuk disembuhkan satu persatu. Mungkin akibat dari masa lalu gue yang suram, ditambah dengan stimulus lingkungan yang sekarang kita tempati. Penyakit-penyakit ini kalau tidak segera ditangani bisa semakin berbahaya buat diri gue saat ini.”

Lagi-lagi ia masih membaca ekspresi tidak puas dari mukaku, kemudian melanjutkan penjelasannya, “Man lo tau buku tentang penelitian orang Jepang berkaitan dengan air yang mengikuti kata-kata gak?”

Aku menganggukkan kepala.

“Di buku itu dijelaskan bahwa kristal air akan menjadi indah dan terlihat bagus jika disekitar air itu ditempelkan atau diperdengarkan kata-kata indah juga. Sebaliknya, jika kata-kata jelek yang diberikan, maka air juga akan menjadi jelek.”

“Nah menurut lo air apa yang sangat mempengaruhi kehidupan seorang manusia?”, Alan bertanya.
“Mmm…Air di lautan?”, kataku sedikit ngasal.
“Salah. Yang paling mempengaruhi manusia adalah air di dalam tubuhnya.”, jawab Alan.

Lagi-lagi Alan dapat membaca ekspresi keherananku, “Begini Man. Manusia itu 2/3 tubuhnya terdiri dari air. Nah tentunya air di tubuh manusia itu gak jauh berbeda dengan air yang diteliti orang Jepang itu bukan? Air di tubuh manusia juga sangat tergantung dengan stimulus yang didapatkan dari lingkungan. Jika stimulusnya berupa kata-kata jelek, kasar, dan hal negatif lainnya, maka besar kemungkinan air di tubuh manusia tersebut menjadi jelek, kasar, dan negatif. Begitu juga sebaliknya.”

“Nah air tersebut pastinya akan mempengaruhi manusia yang dihuninya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Jika air dalam manusia itu bermuatan hal-hal negatif, tentunya akan mempengaruhi manusia tersebut dengan hal-hal negatif. Begitu juga sebaliknya.”

“Nah sekarang gue mau nanya lagi, menurut lo kata-kata apa yang paling bagus yang juga paling bisa mempengaruhi secara positif zat air?”, Alan bertanya lagi.

Aku menggelengkan kepala karena menurutku itu hanya pertanyaan retoris.

“Jawabannya jelas. Kata-kata yang diucapkan langsung oleh Sang Pencipta Semesta.”, kata Alan dengan yakin.

Aku terdiam sebentar, berpikir, dan akhirnya menyetujui ide briliannya tersebut.

“Nah sekarang coba lo bayangin, jika kata-kata yang paling bagus dan juga paling bisa memperngaruhi secara positif zat air itu diucapkan atau diperdengarkan di kumpulan zat air yang paling bisa mempengaruhi kita, yaitu 2/3 zat air di tubuh kita ini, tentunya akan luar biasa efeknya bagi kita. Suka atau tidak suka, tubuh kita akan bereaksi positif terhadap kata-kata Sang Pencipta Semesta. Dan jika kita memiliki keyakinan terhadapNya, tentu saja ini bisa menjadi semacam obat mujarab yang luar biasa.”, berapi-api Alan mengatakannya.

Seperti ada ribuan lampu yang menyala di kepalaku. Menyuntikkan ide baru bahwa sebenarnya saat ini yang paling butuh untuk berobat adalah aku.

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (QS. 10:57)

Tangerang, 15 Mei 2008
09:54 WIB
inspired by temanku Khayalan

Share:

Rabu, 07 Mei 2008

Kepekaan Nurani

Pernahkah anda datang ke suatu tempat yang berbau tidak sedap? Tempat Pembuangan Akhir, perumahan di pinggir kali yang berpolusi, jalan yang penuh dengan asap. Pada awalnya mungkin bau-bauan itu sangat mengganggu kita, tapi cobalah bertahan untuk beberapa lama dan abaikan, maka lama kelamaan bau-bauan itupun tidak akan mengganggu kita lagi seperti sebelumnya.

Lalu pernahkan anda datang ke suatu tempat yang sangat bising? Pinggiran rel kereta pada jam padat, pinggiran jalan raya, lokasi di pinggir pabrik. Pada awalnya mungkin suara bising itu sangat mengganggu kita, tapi cobalah bertahan untuk beberapa lama dan abaikan suara bising tersebut, maka lama-kelamaan suara bising itupun tidak akan mengganggu kita lagi seperti sebelumnya.

Atau pernahkah anda ke tempat yang dingin? Tempat panas? Tempat apapun yang mengganggu panca indera kita. Pada awalnya mungkin bau, bising, dingin, panas, dsb itu sangat mengganggu kita, tapi lama-kelamaan semua gangguan panca indera tersebut tidak lagi mengganggu seperti sebelumnya. Hal tersebut disebabkan karena sebagai manusia kita dilengkapi oleh suatu mekanisme pertahanan diri yang bernama adaptasi.

Tanpa adaptasi, mungkin kita akan musnah di tengah perubahan iklim yang semakin terasa panas saat ini. Tanpa adaptasi kita mungkin akan terus menerus hidup di bawah tekanan (stress) menghadapi polusi, bising, bau, dan segala hal yang mengganggu panca indera kita. Tanpa adaptasi, kita tidak akan bisa hidup nyaman.

Adaptasi yang kita lakukan ternyata tidak hanya dilakukan oleh tubuh kita. Adaptasi juga dilakukan oleh pikiran dan perasaan kita. Di tataran kognitif (pikiran), adaptasi kerapkali kita lakukan jika kita dihadapkan pada informasi yang saling bertentangan. Jika informasi baru yang kita dapatkan tidak sesuai dengan informasi lama yang tersimpan dalam memori kita, maka otak kita akan melakukan adaptasi atau penyesuaian informasi. Adaptasi ini bisa berupa menghapus memori lama, menolak memori (berupa informasi) baru karena tidak sesuai dengan memori (informasi) lama, ataupun melakukan penyesuaian terhadap kedua informasi (memori lama dan memori baru) tersebut, sehingga pertentangan yang ada dapat dihilangkan.

Dalam tataran afektif (perasaan), manusia beradaptasi dengan segala macam perasaan yang setiap saat dapat berubah. Bahkan perubahan di tataran afektif ini jauh lebih tak menentu dibandingkan perubahan di tataran fisik maupun kognitif. Tak heran jika diperlukan mekanisme adaptasi yang jauh lebih canggih dibandingkan adaptasi di tataran lain.

Sebagai contoh, mungkin ada diantara kita yang pernah mengalami kesedihan dan kegembiraan sekaligus dalam suatu waktu. Kedua perasaan ini dapat kita rasakan tanpa harus mengalami kebingungan ataupun informasi rasa yang tercampur. Di satu sisi kita merasa sedih, tetapi di sisi lain kita juga tetap merasakan kegembiraan.

Tetapi ternyata adaptasi juga memiliki sisi lain yang harus kita waspadai. Adaptasi akan mengurangi tingkat kepekaan kita terhadap stilmulus yang kita adaptasi. Dalam tataran fisik, jika kita terus menerus dihadapkan pada stimulus bau-bauan tak sedap, maka lama-kelamaan kepekaan kita terhadap bau-bauan akan berkurang. Jika kita terus-menerus dihadapkan pada stimulus bising maka bukan tidak mungkin jika lama-kelamaan kita mengalami gangguan pendengaran. Berkurangnya tingkat kepekaan di tataran kognitif dan afektif juga hampir sama, dengan akibat yang jauh lebih berbahaya.

Yap, sangat berbahaya karena pada tataran kognitif dan afektiflah seorang manusia menjalani kehidupannya sebagai manusia, makhluk yang lebih baik dari binatang dan tumbuhan yang hanya hidup pada tataran fisik. Sehingga di tataran kognitif dan afektif inilah seorang manusia menentukan kualitas dirinya, apakah lebih baik dari binatang dan tumbuhan, ataukah jauh lebih sesat dari binatang ternak.

Manusia dilahirkan dalam keadaan suci, fitrahnya adalah kebaikan. Tetapi seorang manusia yang mendapat asupan berupa pikiran dan perasaan negatif, lama kelamaan akan beradaptasi dengan hal-hal negatif tersebut. Tak heran jika kemudian manusia yang dilahirkan suci yang berada di lingkungan jahat akan menjadi jahat pula.

Tetapi bahkan seseorang yang mendapat pendidikan kebaikan yang rutin dalam hidupnya, sibuk dalam mengajak kepada kebaikan dan melarang kepada kejahatan, dapat terjebak dalam perangkap adaptasi ini. Pikiran dan perasaannya yang bersih, jika setiap hari dibombardir oleh informasi negatif yang ia dapatkan dari lingkungan, televisi, koran, dan media lainnya, lama kelamaan akan terkotori.

Mungkin pada awalnya ia menganggap informasi-informasi negatif tersebut adalah sebuah kenyataan, sebuah realita kehidupan. Kemudian ia menganggap hal tersebut sebagai sebuah kewajaran dalam konteks tertentu. Lalu ia akan memperluas konteks ruang dan waktu, sehingga hal negatif yang walaupun pada satu sisi masih dihindarinya, tetapi pada sisi lain ia menganggapnya wajar terjadi pada orang lain. Setelah itu jika ia juga terjebak dalam konteks ruang dan waktu yang memungkinkannya untuk melakukan hal negatif tersebut, maka iapun melakukannya dengan 1001 macam alasan dan pembenaran, entah alasan darurat, alasan jaman yang menuntut perubahan, alasan modernisasi, dan sebagainya.

Setelah itu dapat ditebak. Orang yang melakukan hal-hal yang bertentangan dengan prinsipnya, akan melakukan perubahan pada prinsip awal yang ia pegang, baik ia sadari maupun tidak. Hal ini disebabkan karena kepekaannya terhadap hal-hal kecil yang bertentangan dengan prinsipnya, menjadi berkurang. Jika ini terjadi terus menerus bukan tidak mungkin jika lama kelamaan ia akan mengalami gangguan pada “alat indera” prinsipnya.

 

“Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar).” (QS. 2:18)

 

“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (QS. 22:46)

 

Tangerang, 6 Mei 2008

07:41 WIB

Share: