Kamis, 24 Januari 2008

Kisah Pujangga dan Rembulan

Pada suatu hari, Pujangga mengirim surat cinta pada Rembulan pujaan hatinya. Surat itu berbunyi:

"Rembulanku...

Engkaulah matahari duniaku…

Menerangi setiap langkah dalam hidupku,

walau hanya dalam khayalku.

 

Rembulan…

Aku ingin mewujudkan impian…

Memenuhi harapan…

Menjadikan kau pujaan,

tak hanya dalam khayalan.

 

Sudikah sang Mentari turun ke bumi?

Mewujudkan mimpi-mimpi,

sang Pujangga yang masih sendiri?"

Rembulanpun membalas surat tersebut:

"Pujangga yang baik hati…

Aku bukan matahari. Aku hanyalah Rembulan yang meminjam cahaya Sang Matahari. Bersinar tidaknya aku, sangat tergantung pada Sang Pemilik Cahaya tadi.

Pujangga yang masih berada dalam dunia mimpi…

Aku hanyalah budak Sang Tuan. Aku sangat tidak pantas kau jadikan pujaan. Sang Tuan-lah satu-satunya yang pantas kau jadikan tumpuan harapan untuk semua impian.

Pujangga yang masih sendiri…

Jika kau menginginkan Rembulan, mintalah pada Sang Pemilik Cahaya, Sang Tuan dari segala pujaan,

karena seluruh khayalan, impian, dan harapan Rembulan ini, telah kuserahkan padaNya."

Pujangga-pun akhirnya sadar bahwa mereka tidak se-visi… J

Tangerang, 24 Januari 2008

02:16 WIB

"dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya dan menjadikan matahari sebagai pelita?" (QS. 71:16)

Share:

Sabtu, 12 Januari 2008

Ternyata (beberapa) Akhwat Juga Manusia (biasa)

Menggabungkan potongan-potongan informasi, lalu menjadikannya sebuah cerita dan kesimpulan yang utuh adalah hal biasa, karena secara tidak sadar kitapun tentu sering melakukannya. Yang tidak biasa adalah ketika yang melakukannya tidak sendiri. Potongan informasi itu diperoleh dari beberapa orang, dan beberapa orang tersebut mengambil kesimpulan bersama tanpa melakukan konfirmasi/cross-check/tabayyun terhadap informasi yang sepotong-sepotong tersebut. Kita menyebut hal ini dengan gosip/ghibah. Beberapa pihak mengemasnya dalam bentuk yang bisa dijual, dan mereka namakan produk itu sebagai infotainment.

 

Namun, yang tidak biasa ini bisa menjadi luar biasa jika ternyata pihak yang melakukannya adalah akhwat-akhwat yang telah mendapat ‘pendidikan’ Islam secara rutin. Akhwat-akhwat yang tsaqofah keislamannya tidak perlu diragukan. Akhwat-akhwat yang diharapkan menjadi pilar peradaban Islam.

 

Apakah mereka lupa dengan firman Allah di surat Al Hujuraat ayat 12 yang berbunyi: “…Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan (ghibah) satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya…”?

 

Namun yang lebih luar biasa adalah jika yang dibicarakan tentang saudaranya tersebut bukan kebenaran, melainkan sebuah kebohongan. Sebagaimana Rasulullah ditanya mengenai ghibah beliau menjawab: “Kamu menyebut tentang saudaramu dengan sesuatu yang tidak disukainya” Ditanyakan, “Wahai Rasulullah, bagaimana menurutmu jika apa yang aku katakan mengenai saudaraku itu benar adanya?” Beliau menjawab, “Jika apa yang kamu katakan itu memang benar, maka kamu telah menggunjingnya (ghibah); dan jika apa yang kamu katakan itu tidak benar, maka kamu telah mendustainya.” (HR. Muslim)

 

Jika ghibah sendiri diumpamakan dengan memakan bangkai saudaranya, apalagi jika yang mereka bicarakan tentang saudaranya ini adalah sebuah kebohongan, tentu lebih menjijikan dari itu bukan? Apakah mereka lupa tentang hal ini? Apakah mereka belum tahu tentang hal ini?

 

Atau apakah mereka menganggap gue BUKAN SAUDARA mereka!!!???

 

Wallahu a’lam bi al-shawab…

 

Tangerang, 5 Januari 2008

22:27 WIB

Share:

Jumat, 04 Januari 2008

The Ultimate Determinant

Setelah berhasil menyingkirkan yang bukan gajah, dan memfokuskan diri pada skripsi, akhirnya kerja keras inipun membuahkan hasil. Tahap demi tahap berhasil dilalui dengan baik. Sangat baik malah, karena dibandingkan dengan kerja orang lain, pembuatan skripsi gue tergolong cepat.

Terkesima dengan kerja sendiri dan dengan pencapaian yang didapat, hal inipun menimbulkan optimisme. Optimisme yang berlebihan pun tidak dapat dibendung, yang ujung-ujungnya justru menimbulkan kesombongan.

Yap, kesombongan itu pun lahir, melahap semua kecemasan yang ada, menghancurkan semua pesimisme yang pernah bersemayam, hingga memfokuskan semuanya pada diri sendiri. Kesombongan narsis ini menegasikan semua hal lain yang berperan, termasuk doa-doa, bantuan orang lain, dan doa-doa orang lain, walaupun belum sampai menegasikan peran Tuhan. Kesombongan yang pada akhirnya dihancurkan oleh sebuah pesan singkat:

"…Semoga diberi kemudahan, man. n remember, Allah be d ultimate determinant."

SMS ini pun seolah dijawab oleh Sang Pengabul Doa dengan menegaskan kembali peranNya. Dua hari sebelum sidang skripsi gue tiba-tiba sakit. Bahkan berlanjut sampai sidang skripsi berlangsung. Dan dengan terpaksa gue sidang dalam kondisi yang sangat tidak fit. Sempat bingung dengan apa yang diucapkan dosen penguji karena gue benar-benar kehilangan konsentrasi. Tapi lagi-lagi Allah Menunjukkan peranNya disini. Sidang skripsi ditunda selama 8 jam, yang membuat gue bisa istirahat sebentar untuk mengembalikan kondisi. Sidang skripsipun berjalan dengan sukses dan gue dinyatakan lulus.

Tangerang 26 Desember 2007

05:29 WIB

Share:

Momen

Ada momen-momen dalam hidup kita yang tidak mampu kita hadapi sendiri. Entah itu momen yang membahagiakan, menyedihkan, menyakitkan, menggembirakan. Yang pasti kita membutuhkan orang lain untuk mengalami momen-momen tersebut, entah itu keluarga, sahabat, atau belahan jiwa. Tanpa kehadiran mereka, momen itu berlalu begitu saja, hambar, dan bahkan terasa menyakitkan.

Pada suatu saat kita akan berada dalam momen itu. Ketika kita dihadapkan pada stimulus rasa yang melebihi ekspektasi kita, ketika kita dihadapkan pada suatu keadaan yang jauh diluar perkiraan kita, atau dalam keadaan biasa tapi ada sesuatu yang berbeda dalam diri kita. Pada saat inilah kita membutuhkan mereka.

Ketika mereka ada, rasa gembira kita menjadi lebih berarti, rasa sedih kita berkurang perlahan tapi pasti, dan tak ada lagi rasa sepi. Kita dapat berbagi, sehingga stimulus rasa yang membuncah tidak membuat kita meledak dalam sepi, kita tidak sedih dalam gembira, dan tidak merasa hambar dalam bahagia. Kecemasan yang ada dalam mengantisipasi rasapun berkurang karena kita tahu bahwa selalu ada mereka yang bisa kita andalkan.

Yap, merekalah yang senantiasa ada dalam hidup gue. Mereka ada ketika gue merasa sedih. Mereka ada ketika gue merasa gembira. Mereka ada ketika gue cemas menunggu momen yang menentukan masa depan gue. Tiba-tiba mereka ada tanpa gue duga, sementara yang lain yang berjanji akan datang membatalkannya dengan berbagai alasan. Tapi gue gak merasa kehilangan, karena gue masih memiliki mereka.

Tangerang, 3 Januari 2008

15:10 WIB

Share: