Jika Islam adalah sebuah pulau, maka mayoritas penduduk yang ada di dalamnya, menetap dalam satu wilayah yang sama, tanpa pernah menjelajahi pulau tersebut. Ada yang menetap di dalam wilayah terbuka bak lapangan, ada juga yang menetap di dalam wilayah tertutup dengan pagar pembatas yang menjulang. Ada yang menetap di dalam wilayah yang padat penduduknya, ada juga yang menetap di dalam wilayah yang terpencil jauh dari keramaian.
Karakter penduduk tetap inipun berbeda-beda. Ada yang hidup rukun dan berdampingan dengan tetangganya di wilayah lain, ada yang justru bermusuhan. Ada yang membuka diri terhadap para tamu dari wilayah lain, ada juga yang merasa asing dan justru baru mengetahui bahwa wilayah lain tuh ada.
Penduduk tetap pulau inipun berkembang biak dalam wilayah yang sama. Masing-masing berlomba untuk memperluas wilayah pengaruhnya. Mereka juga berlomba untuk memperbanyak jumlah penduduknya. Jarang terjadi asimilasi pernikahan antar tetangga, bahkan beberapa wilayah membuat tembok pembatas yang sangat ketat atas masalah ini. Tak heran jika di beberapa wilayah, pernikahan antar tetangga menjadi sesuatu yang diharamkan.
Dulu, di pulau ini pernah ada yang namanya kesatuan. Mereka berada dalam satu kepemimpinan, sehingga walaupun berbeda, mereka tetap memiliki tujuan yang sama. Sekarang, hal ini menjadi sejarah masa lampau yang mulai dilupakan penduduknya. Bahkan banyak diantara mereka yang mulai mempertanyakan keabsahan sejarah yang ada, mengaitkannya dengan ketidaksesuaian jaman, dan justru mempromosikan sejarah penduduk pulau lain yang dianggapnya lebih relevan.
Dulu, di pulau ini masih banyak para petualang. Menjelajah wilayah demi wilayah untuk mencari hikmah yang terserak, menuliskannya dalam kitab-kitab tebal tak terbayang. Kitab-kitab yang justru diklaim oleh penduduk tetap saat ini sebagai dasar pembagian wilayah mereka. Kitab-kitab yang sebenarnya menawarkan persatuan, tapi diinterpretasikan sebagai perbedaan.
Maka tak heran jika pulau inipun semakin menyempit. Wilayah pinggiran telah tenggelam ataupun diklaim sebagai bagian dari pulau lain. Bahkan banyak penduduk pulau lain yang menyeberang kesini hanya untuk mengajak penduduk pulau ini pergi. Penduduk pulau lain yang mengajak untuk melintas batas pemikiran dan melintas batas iman.
Karakter penduduk tetap inipun berbeda-beda. Ada yang hidup rukun dan berdampingan dengan tetangganya di wilayah lain, ada yang justru bermusuhan. Ada yang membuka diri terhadap para tamu dari wilayah lain, ada juga yang merasa asing dan justru baru mengetahui bahwa wilayah lain tuh ada.
Penduduk tetap pulau inipun berkembang biak dalam wilayah yang sama. Masing-masing berlomba untuk memperluas wilayah pengaruhnya. Mereka juga berlomba untuk memperbanyak jumlah penduduknya. Jarang terjadi asimilasi pernikahan antar tetangga, bahkan beberapa wilayah membuat tembok pembatas yang sangat ketat atas masalah ini. Tak heran jika di beberapa wilayah, pernikahan antar tetangga menjadi sesuatu yang diharamkan.
Dulu, di pulau ini pernah ada yang namanya kesatuan. Mereka berada dalam satu kepemimpinan, sehingga walaupun berbeda, mereka tetap memiliki tujuan yang sama. Sekarang, hal ini menjadi sejarah masa lampau yang mulai dilupakan penduduknya. Bahkan banyak diantara mereka yang mulai mempertanyakan keabsahan sejarah yang ada, mengaitkannya dengan ketidaksesuaian jaman, dan justru mempromosikan sejarah penduduk pulau lain yang dianggapnya lebih relevan.
Dulu, di pulau ini masih banyak para petualang. Menjelajah wilayah demi wilayah untuk mencari hikmah yang terserak, menuliskannya dalam kitab-kitab tebal tak terbayang. Kitab-kitab yang justru diklaim oleh penduduk tetap saat ini sebagai dasar pembagian wilayah mereka. Kitab-kitab yang sebenarnya menawarkan persatuan, tapi diinterpretasikan sebagai perbedaan.
Maka tak heran jika pulau inipun semakin menyempit. Wilayah pinggiran telah tenggelam ataupun diklaim sebagai bagian dari pulau lain. Bahkan banyak penduduk pulau lain yang menyeberang kesini hanya untuk mengajak penduduk pulau ini pergi. Penduduk pulau lain yang mengajak untuk melintas batas pemikiran dan melintas batas iman.
Tangerang 28 Januari 2008
20:55 WIB
20:55 WIB
tfs
BalasHapusEhm...
BalasHapusTunjukkan padaku, Iman.. bagaimana semestinya penduduk pulau itu..
BalasHapusSeperti judul postingan ini, melintas batas pemikiran dalam satu wilayah keimanan...
BalasHapusAku masih belum paham, Man.
BalasHapus:-)
BalasHapusBismillah..
insyaAllah penduduk pulau itu bisa, Iman.. ^_^
Hm...
BalasHapus*ngangguk-ngangguk*
amiin...
BalasHapusAwas kamu yaa!! *datang-datang cuma untuk mengancam* =D
BalasHapusgimana kalo aku mencoba menyimpulkan?
BalasHapusmaksudnya adalah tidak terlalu tertutup dan terkungkung dalam definisi "benar" suatu kelompok.. tapi dengan dasar keimanan dan pedoman yang sama, kita berusaha menerima perbedaan dan menjadikan perbedaan2 tiap kelompok tersebut sebagai sebuah sarana mempererat persatuan.. bukannya malah memperluas jarak, memperuncing perpecahan..
*eaa.. Diny menceracau mode : ON*
simpelnya, kaya yg dicontohin mb Ind dalam topik "mengembalikan percabangan kepada esensi/dasarnya" pada kasus gerakan2 dan posisi yg agak berbeda saat sholat itu mungkin, El..
@diny n dian:
BalasHapusTernyata diny lebih pintar dalam hal ini. Selamat ya. (Halah..)