Kamis, 30 April 2009

Ayo Latih Stamina Kita!


Dua hari yang lalu, saya dan saudara sepersusuan saya pergi ke Cibodas. Kami pergi ke sana dalam rangka mendaftar untuk melakukan pendakian ke Gunung Gede.  Kami janjian di jalan baru, kemudian naik bis menuju puncak.

Singkat cerita, kami akhirnya tiba di pos Taman Nasional Gede Pangrango. Sayangnya kuota untuk pendakian pada tanggal yang kami rencanakan hanya tersedia untuk 15 orang. Padahal kami mengantongi fotokopi KTP 35 orang yang ingin ikut. Maka, kamipun membagi rombongan tersebut menjadi 2, pada tanggal yang direncanakan, dan seminggu setelahnya. Setelah beres mengurus pendaftaran, kami memutuskan untuk jalan-jalan ke Curug Cibeureum yang ada di jalur pendakian Gunung Gede.

Untuk menuju Curug Cibeureum, pertama-tama kami harus berjalan menuju pos pendakian yang jaraknya kurang lebih 1 km dari pos utama TNGP. Pada 300 meter pertama, kami menempuh jalan aspal yang masih mulus. Kami melewati berbagai macam warung yang ada di pasar Cibodas ini. Ada warung yang menjual boneka, ada warung yang menjual pakaian dan oleh-oleh khas Gunung Gede, ada juga yang menjual tanaman hias dan aneka kaktus berwarna-warni. Tapi karena kami bukan wanita, kami sama sekali tidak tertarik untuk belanja.. (hehe, peace untuk ibu2)

Setelah menempuh pasar dan jalan aspal, kami pun menempuh jalan yang ternyata sudah di pavin block. Padahal jalan ini dulunya masih jalan tanah. Pemandangan sepanjang jalan ini sangat indah. Di samping kiri jalan, kita akan melihat sebuah rumah peristirahatan yang dikelilingi lapangan rumput hijau yang sangat luas. Sedangkan di samping kanan jalan, kita akan melihat pohon cemara. Persis seperti lagu naik gunung khan? hehe...

Setelah jalan pavin block berakhir, perjalanan sebenarnyapun dimulai. Kali ini jalan yang harus kami tempuh adalah jalan bebatuan besar yang disusun menjadi tangga alami. Tangganya cukup curam, membuat saya ngos-ngosan menempuhnya. Padahal dulu tangga ini dapat saya lalui dengan mudah loh.

Setelah tangga batu ini kami tempuh, kami pun akhirnya sampai ke pos pendakian Gunung Gede-Pangrango di Cibodas. Disini kami membayar biaya masuk untuk ke Curug Cibeureum sebesar 3 ribu rupiah satu orang. Setelah membayar, kamipun langsung menempuh perjalanan ke Curug Cibeureum.

Jarak dari pos pendakian ke Curug Cibeureum adalah 2,8 km, menurut papan keterangan yang ada disana, jarak itu dapat ditempuh kurang lebih 1 jam perjalanan. Tapi, ketika saya masih muda dan sehat dulu (kesannya sekarang udah tua dan sakit2an gitu, hehe..), jarak ini dapat saya tempuh kurang dari 30 menit loh. Sekarang?

Seperti biasa, sebelum memulai perjalanan, saudara saya mencatat waktu kami berjalan, untuk kemudian membandingkan dan menganalisanya nanti. Hal ini penting, terutama untuk menyusun estimasi perjalanan yang akurat. Setelah pencatatan selesai, kamipun mulai berjalan.

Perjalan dari 0 - 1,4 km pertama, tidak banyak yang bisa diceritakan. Jalur pendakian Cibodas ini memang didominasi oleh bebatuan besar yang disusun rapi. Mungkin karena jalur ini banyak dilalui oleh wisatawan, maka kemudahan akses untuk merekapun sangat diperhatikan.

Di km 1,4 ada sebuah danau kecil yang diberi nama Telaga Biru. Entah kenapa dinamakan telaga biru, karena sepengamatan saya, tidak ada warna biru di telaga ini. Telaga ini juga tidak terlalu istimewa. Tapi entah kenapa banyak orang yang senang sekali kemping di sekitar telaga ini.

Di km 1.8 (kalau gak salah), perjalanan di atas jembatan kayupun dimulai. Jembatan ini merupakan jembatan buatan yang dibuat oleh pengelola TNGP untuk memudahkan wisatawan. Wajar, mengingat ketika pertama kali saya naik Gunung Gede (lebih dari sepuluh tahun lalu), sebelum ada jembatan ini, saya harus melewati rawa-rawa yang sangat sulit dilewati.

Tapi, kini kondisi jembatan (atau mungkin lebih tepatnya jalan kali ya) kayu yang ada sudah cukup memprihatinkan. maka kami pun terpaksa menempuhnya dengan berhati-hati. Karena selain licin dan berlumut, jembatan ini juga bolong di beberapa bagian.

Setelah menempuh jarak 2,8 km, dalam waktu 50 menit, kamipun akhirnya tiba di Curug Cibeureum. Setelah makan roti bakar yang dipersiapkan istri saudara saya, foto-foto, dan istirahat, kamipun kembali menempuh jalan pulang. Perjalanan pulang yang basah, karena tiba-tiba hujan deras mengiringi kepulangan kami.

Yang menjadi catatan penting dalam perjalanan kali ini adalah bahwa ternyata stamina kami berdua sudah cukup jauh menurun. Kecepatan kami menempuh jalan ini dalam waktu 50 menitpun karena ego kami berdua yang saling meledek, dan menganggap lemah orang yang minta istirahat pertama kali. Padahal di km 1,4, kami benar-benar sudah kelelahan, tapi tetap keukeuh melanjutkan perjalanan.

Menurunnya stamina kami ini adalah sesuatu yang sangat wajar mengingat kami berdua jarang sekali berolahraga. Padahal, tubuh membutuhkan rutinitas fisik untuk mempertahankan staminanya. Dan begitu rutinitas fisik ini tidak dilaksanakan, maka staminapun menurun perlahan tapi pasti, sehingga ketika kami dihadapkan pada aktivitas yang membutuhkan stamina tinggi, kamipun mudah sekali lelah, bahkan mungkin menyerah.

Saya jadi teringat pada suatu saat dalam hidup saya. Saat dimana saya membutuhkan stamina tinggi, tetapi karena aktivitas rutinnya tidak dilaksanakan, sayapun kepayahan. Bahkan hampir menyerah. Saat itu bukan tentang fisik, tapi tentang ruhiyah. Aktivitas rutinnya pun bukan olahraga, tapi ibadah. Dan saat dibutuhkan stamina ruhiyah seperti itu oleh beberapa ulama dinamakan dengan futhur.

Maka benarlah kata guru saya, bahwa setiap orang pasti mengalami futhur, saat dimana mereka membutuhkan stamina ruhiyah yang tinggi. Tetapi untuk orang-orang yang terbiasa melatih ruhiyahnya, melakukan aktivitas-aktivitas rutin yang meningkatkan stamina ruhiyahnya, futhur adalah sesuatu yang mudah. Mereka dengan mudah melaluinya, tanpa kepayahan, apalagi menyerah.

Tetapi sebaliknya, untuk orang-orang yang malas-malasan melatih stamina ruhiyahnya, beribadah karena terpaksa, bahkan terkadang lalai meninggalkannya, futhur adalah sebuah fase yang mampu mengubah hidup mereka. Jika mereka mampu melewatinya, mereka akan menyadari kesalahan, bertobat, dan menjadi lebih baik. Tetapi jika mereka menyerah kalah, mereka pun akan terpental dari jalan dakwah, bahkan tak jarang menjadi penentangnya...

Tangerang, 30 April 2009
12:58 WIB
"Yang bertekad untuk rutin berolahraga"
Share:

Rabu, 29 April 2009

RISALAH PENJELAJAH

Bepergian, travelling, backpacking, penjelajahan atau apapun namanya adalah sesuatu yang dianjurkan dalam Islam. Dalam surat Al-Mulk ayat 15 Allah SWT Berfirman: "Dialah Yang menjadikan bumi untuk kamu yang mudah dijelajahi, maka jelajahilah di segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rizki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu (kembali setelah) dibangkitkan."
 
Ayat tersebut menganjurkan kita untuk menjelajahi segala penjuru bumi. Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa maksud dari ayat ini adalah: "Lakukanlah perjalanan kemana saja yang kalian kehendaki dari seluruh belahannya serta bertebaranlah kalian di segala penjurunya untuk menjalankan berbagai macam usaha dan perdagangan. Dan ketahuilah bahwa usaha kalian tidak akan membawa manfaat bagi kalian kecuali jika Allah memudahkankan kalian." Dan usaha disini maksudnya perdagangan dan usaha lainnya dalam rangka membaca dan memahami ayat-ayat (tanda-tanda) kekuasaan Allah sehingga kita termasuk orang-orang yang dijuluki Ulil Albab (QS.3:190).
 
Dalam hal ini Nabi saw. bersabda: "Bepergianlah engkau agar engkau sehat dan berperanglah engkau agar engkau berkecukupan." (HR. Ahmad). Kedua dalil tersebut cukup untuk menjadi alasan kenapa kita dianjurkan untuk bepergian dan menjelajahi semesta ini.
 
Penjelajahan yang Disukai oleh Allah (dikutip dari Fiqih Sunnah Sayyid Sabiq)
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw. telah bersabda, "Tidak seorangpun yang keluar dari rumahnya, kecuali di pintunya ada 2 panji-panji; salah satu diantaranya berada di tangan malaikat, sedangkan lainnya berada di tangan setan. Jika ia keluar itu untuk suatu urusan yang disukai Allah SWT., ia akan diiringkan malaikat dengan panji-panjinya. Demikianlah ia akan selalu berada di bawah panji-panji malaikat hingga ia kembali ke rumahnya. Sebaliknya, jika ia keluar untuk suatu hal yang dimurkai Allah, maka orang itupun akan diiringi setan dengan panji-panjinya. Dan demikianlah ia akan selalu berada di bawah panji-panji setan hingga ia pulang kembali ke rumahnya." (HR. Ahmad dan Thabrani)
 
Sunnah Penjelajahan (disarikan dari berbagai sumber)
1. Minimal dilakukan oleh tiga orang
Diriwayatkan oleh Ahmad dari Ibnu Ummar r.a., "Rasulullah saw. melarang keadaan menyendiri. Artinya bila seseorang itu menginap atau bepergian dalam keadaan seorang diri.""Seorang pengendara itu adalah satu setan, dua orang pengendara dua setan, dan tiga orang pengendara barulah disebut rombongan orang yang bepergian."
 
2. Dilakukan pada hari Kamis
Diriwayatkan oleh Bukhari, "Rasulullah saw. jika mengadakan perjalanan, jarang sekali berangkat bukan pada hari kamis."
 
3. Berpamitan
Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah saw. bersabda, "Jika seseorang di antara kamu bermaksud hendak bepergian, hendaklah ia pamitan kepada saudara-saudaranya, karena Allah menjadikan doa mereka itu bermanfaat."
 
4. Berdoa dan mendoakan
Disunahkan untuk banyak berdoa ketika kita bepergian, karena Nabi saw. bersabda, "Ada tiga macam doa yang pasti diterima tanpa diragukan lagi, yaitu doa bapak, doa musafir, dan doa orang yang teraniaya." Sedangkan dalam riwayat Abu Dawud dan Tirmidzi, Nabi saw. bersabda, "Doa yang paling cepat dikabulkan adalah doa seseorang bagi lainnya, sedangkan mereka dalam keadaan berjauhan."
 
Bersambung…
Share:

Senin, 27 April 2009

Kamu Dimana?

Hey, aku disini...
Menjaga api dalam sekam agar tak kunjung padam,
tak juga membara, menghancurkan segala,
yang meredup dan menyala,
yang merindu dan mencinta.

Hey, aku disini...
Tak kenal lelah menjaga istiqomah,
menjaga api cinta,
dengan iman sebagai bahan bakarnya.

Hey, aku disini...
Bertanya-tanya,
api ini mlik siapa?
Apakah kamu cintaku?
Apakah dia yang kupuja?
Atau mereka, bidadari surga?

Hey, aku disini...
Berdiang dalam bara cinta Sang Maha,
lalu, kamu dimana?

Depok, 27 April 2009
02:15 WIB
Share:

Senin, 20 April 2009

Kembali ke Jalur yang Benar

Ada satu pengalaman menarik ketika saya bersama tiga orang teman saya menjelajah Gunung Tambora. Gunung  yang terletak di pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat ini merupakan gunung yang masih jarang dikunjungi orang. Bahkan ketika kami pergi ke sana, kami merupakan orang pertama dan satu-satunya yang menjelajahi tempat tersebut di pergantian milenium. Karena itulah boleh dikatakan bahwa gunung ini merupakan gunung perawan, dengan jalur pendakian yang hampir hilang di sepanjang jalan. Dan teman-teman pasti sudah menduga bahwa pengalaman menarik disini pasti berkaitan dengan nyasar. :)

Ceritanya bermula ketika Yudi (bukan nama sebenarnya) teman saya sedang bertugas menjadi scout, orang terdepan yang menjadi pencari jalur. Yudi yang grasak-grusuk ini, berjalan dengan cepat dan penuh keyakinan, menerobos setiap ranting dan dahan yang melintang. Kemudian tanpa sadar membawa kami ke jalur yang salah. Hal ini baru diketahui ketika kami menemukan sebuah lapangan terbuka di tengah hutan. Lapangan ini penuh dengan pohon-pohon tebangan yang ditumpuk, yang membuat kami terheran bahwa ternyata penebang hutan sudah sejauh ini memasuki kawasan terlarang.

Setelah kami mencari-cari jalur untuk meneruskan pendakian, ternyata kami tidak menemukan satupun jalur. Yang ada adalah jalur tempat kami tadi datang. Rupanya kami nyasar, disesatkan oleh jalur para penebang liar. Kamipun mengambil kompas, peta, dan altimeter. Dengan ketiga alat tersebut, kamipun berhasil memperkirakan lokasi kami di peta. Ternyata jarak yang kami tempuh sudah cukup jauh, dan untuk kembali ke jalur yang semula, mungkin diperlukan waktu dan tenaga yang tidak sedikit.

Yudi (bukan nama sebenarnya)  : "Jauh juga ya kita nyasar."

Raden (bukan nama sebenarnya juga)  : "Iya nih. Apa kita terabas aja ya? Toh kita dah bawa golok dan alat-alat survival khan?"

Yudi: "Setuju."

Togar (nama samaran)  : "Gue gak setuju. Kita belum tahu medannya kayak apa. Lagian kalau nekat nerabas, waktu dan tenaga kita pasti terkuras."

Iman (nama sesuai akte kelahiran)  : "Bener tuh. Kita masih punya Rinjani dan Agung untuk kita jelajahi pas pulang nanti, sayang banget kalau kehabisan tenaga dan waktu disini. Lagian nerabas ini khan bukan tujuan kita semula.

Akhirnya setelah beradu argumentasi, kami sepakat untuk kembali ke jalur semula, persimpangan tempat kita nyasar tadi. Dibutuhkan lebih dari 1 jam untuk kami menemukan persimpangan dan jalur yang benar. Melelahkan tapi lega.

Pengalaman ini menjadi pelajaran ketika suatu saat saya kehilangan orientasi dalam hidup. Usaha yang telah saya lakukan ternyata berada di jalur yang salah, sehingga jika ingin kembali ke jalur yang benar, saya harus mengorbankan waktu dan tenaga yang selama ini sudah terlanjur saya curahkan. Dan tidak ada yang lebih melelahkan ketika kita harus kembali memulai dari awal.

Maka, memilki peta, kompas (dan mungkin altimeter) dalam hidup, adalah sebuah keniscayaan. Sehingga kita tahu jika kita salah jalur.

Maka memilki keinginan untuk senantiasa memperbaiki diri dan memperbaiki niat yang ada, lalu berusaha kembali ke jalur yang benar, adalah sebuah hal yang niscaya. Karena di satu sisi, Allah akan langsung Memberikan ganjaran atas perbuatan dan niat  lurus kita, tetapi di sisi lain, Allah akan senantiasa Memberikan kesempatan perbaikan atas perbuatan dan niat yang masih menyimpang.

"Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih."" (QS. 14:7)

Tangerang, 20 April 2009
13:32 WIB
Share:

Kamis, 16 April 2009

Antara Gus Dur, Musa, dan Pemimpin Dakwah Kita

Apa yang menarik dari seorang Gus Dur? Saya kira, selain sikap nylenehnya, hampir tidak ada yang menarik pada dirinya. Yang menarik bagi saya adalah para pengikut dan pemujanya yang begitu fanatik, yang menganggap Gus Dur pemimpin mereka dan siap mati untuknya.

Sikap fanatisme ini terus dipertahankan walaupun beberapa kali Gus Dur sering mengecewakan. Gus Dur sering sekali menjilat ludahnya sendiri, membual tentang banyak hal, dan bahkan mempertontonkan aurat ketika dulu menjadi presiden. Apakah pendukung fanatiknya menutup mata akan hal ini? Ataukah mereka menganggap Gus Dur telah melampaui tahapan hakkat, tahap menyatu dengan Allah, sehingga Gus Dur sah-sah saja dalam melanggar syariat? Sungguh sebuah "khusnudzon" yang berlebihan, kalau tidak bisa dikatakan pengkultusan.

Berbeda dengan para pendukung Gus Dur, Musa as. justru menggunakan instingnya sebagai manusia tanpa mengenyampingkan sikap khusnudzonnya. Ketika Musa as. berguru pada seorang yang telah diberikan ilmu oleh Allah, Musa as. menunjukan hal ini. Kita telah mengetahui bahwa dalam pendidikannya bersama Khidhr as. Musa diberikan syarat oleh pemimpin spiritualnya tersebut untuk tidak bertanya, apapun yang dilakukan gurunya itu. Musa as. pun menyanggupi.

Ketika mereka menaiki sebuah perahu seorang nelayan yang sangat miskin, Khidhr as. merusaknya. Maka insting kemanusiaan Musa as. pun tergetar. Walaupun Khidhr adalah guru dan pemimpin spiritualnya, Musa as. tak dapat membiarkan kezhaliman ini terjadi. Musa as. pun bertanya kepada Khidhr as. tentang perbuatannya tersebut. Begitu juga dengan 2 perbuatan Khidhr as. selanjutnya, yaitu ketika Khidhr as. membunuh seorang anak muda, dan menegakkan dinding rumah. Musa as. bertanya, alih-alih mendiamkan atau menentang. Maka Musa as. pun mengajarkan kepada kita tentang keseimbangan antara insting kemanusiaan (dengan tidak mendiamkan kezhaliman yang ada), dan sikap khusnuzhon (dengan tidak langsung berbalik menjadi penentang).

Lalu bagaimana dengan gerakan-gerakan dakwah hari ini? Gerakan-gerakan mulia yang mengajak manusia untuk mengesakan Allah, mengajak mereka untuk berhukum hanya kepadaNya, dan bahkan bercita-cita mulia untuk menegakkan Khilafah Islamiyyah. Para pemimpin (Qiyadah) gerakan-gerakan ini tentunya membutuhkan dukungan penuh dari jundi-jundinya. Mereka menuntut ketaatan. Tapi di sisi lain, jundi-jundi dakwah ini tentu membutuhkan penjelasan tentang setiap gerakan yang diputuskan oleh qiyadah. Mereka menuntut pendidikan.

Sebagai manusia, tentu para pelaku gerakan dakwah ini tak lepas dari kesalahan. Terkadang para qiyadah lebih mengutamakan tuntutan mereka akan ketaatan jundinya, dengan mengabaikan hak jundinya untuk mendapatkan pendidikan. Maka yang terjadi adalah jundi-jundi yang muak dengan arogansi. Merekapun membentuk barisan sakit hati. Tapi terkadang, jundi-jundi ini justru memberikan ketaatan penuh, dengan mengabaikan hak pendidikan mereka, dan juga mengabaikan hak para qiyadah untuk mendapatkan nasihat dan pengingatan, Maka yang terjadi adalah fanatisme buta. Sebuah gerakan dakwah yang tinggal menunggu waktu untuk menjadi gerakan sesat.

Sebuah contoh telah diberikan oleh qiyadah kita bersama, Rasulullah saw. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud, dikisahkan tentang dua orang Anshar yang memergoki Rasulullah saw. malam-malam berjalan bersama seorang wanita. Tanpa bertanya, mereka langsung bergegas pergi mempercepat jalannya. Rasulullah saw. pun memanggil mereka, menyerukan mereka agar tidak terburu-buru, dan menyebutkan bahwa wanita yang bersama beliau adalah Shafiyyah binti Huyai. Setelah kedua orang Anshar itu bertasbih, Rasulullah saw. pun bersabda, "Sesungguhnya syaithan itu mengalir dalam tubuh anak Adam seperti mengalirnya darah. Maka aku khawatir jika ia melontarkan sesuatu yang tidak baik ke dalam hati kalian."

Kedua sahabat Anshar tadi tentu memiliki sikap khusnudzhon kepada Rasulullah saw., apalagi mereka tahu bahwa Rasulullah saw. adalah manusia yang maksum, terbebas dari kesalahan sekecil apapun. Tapi bagi seorang Rasulullah saw., sikap khusnudzon saja ternyata tidak cukup, karena tanpa mendapat penjelasan yang sempurna, pintu-pintu syaithan masih terbuka. Maka beliau saw. pun menunaikan haknya sebagai seorang qiyadah untuk memberi pendidikan pada jundinya, memuaskan insting kemanusiaan mereka, dan menutup pintu-pintu syaithan yang masih terbuka untuk berbagai macam prasangka. Wallahu 'alam bish showab.

Tangerang, 16 April 2009
14:10 WIB
Share:

Rabu, 15 April 2009

Bakso dan Kenikmatan Artifisial

Satu hal yang menyebabkan saya sangat menyukai bakso adalah karena bakso  menjadi hidangan wajib pembuka puasa. Hal ini menyebabkan kenikmatan bakso yang terhidang menjadi berlipat ganda. Mungkin bukan karena bakso itu sendiri, tapi karena rasa lapar yang menghinggapi diri, sehingga hidangan apapun akan menjadi lebih berarti.

Tak heran jika sensasi yang kita rasakan ketika berbuka puasa, menyebabkan rasa syukur yang tak terkira. Syukur karena hal yang kita anggap biasa, menjadi luar biasa. Sensasi makan dan kenyang yang kita rasakan, menjadi sesuatu yang langka. Syukur yang menunjukkan kita kepada sebuah pepatah lama yang berbunyi: "You'll never know what you've got till it's gone."

Terkadang sebagai manusia kita memang terjebak dalam bosan. Suatu situasi yang menyebabkan indera perasa kita menumpul. Maka kitapun seperti menafikkan apa yang kita punya, kehilangan apa yang kita rasa, dan perlahan tapi pasti mengurangi rasa syukur kepadaNya. Memang suatu hal yang manusiawi, tapi bukan berarti tak ada jalan keluar untuk mengatasi hal ini.

Maka Allah Menciptakan puasa sebagai salah satu jalan keluar untuk mengatasinya. Jalan keluar untuk mempertajam indera perasa kita akan kenikmatan makanan yang selama ini mungkin tak kita sadari. Tak hanya itu, melalui RasulNya, Allah pun Mengajarkan kepada kita untuk hidup sederhana, sebuah cara untuk kita agar tak larut dalam kenikmatan dunia. Karena kenikmatan yang berlebih, akan membuat orientasi akhirat kita tersisih.

Kedua cara ini, puasa dan hidup sederhana, akan menciptakan sebuah kenikmatan artifisial, kenikmatan buatan yang tak terdeteksi oleh panca indera, tapi nyata adanya. Kenikmatan yang tidak terletak pada pemicu kenikmatan itu sendiri, melainkan pada indera perasa dan penyikapan kita.

Kita ambil contoh bakso tadi. Bagi seorang tukang bakso atau keluarganya yang setiap hari menikmati bakso, tentu merasakan kenikmatan yang berbeda dengan seorang penggemar bakso yang sudah lama tidak merasakan bakso. Apalagi penggemar bakso ini menyantapnya ketika berbuka puasa. Disini, bakso adalah pemicu kenikmatan, yang seharusnya dirasakan sama oleh tukang bakso dan penggemar bakso tersebut, tapi karena adanya kenikmatan artifisial (puasa, sikap terhadap bakso sebagai makanan kegemaran dan lamanya tidak merasakan bakso), maka penggemar bakso tersebut akan merasakan kenikmatan bakso yang berlipat ganda.

Lalu kenapa saya memberi istilah kenikmatan artifisial? Karena tak lain dan tak bukan, kenikmatan ini bisa kita usahakan, bisa kita buat sendiri. Yah, namanya juga kenikmatan buatan bukan. Sehingga dengan kenikmatan artifisial ini, kita sama sekali tidak tergantung kepada pemicu kenikmatan untuk bisa bersyukur. Dan dengan menerapkan kenikmatan artifisial ini dalam setiap pemicu kenikmatan yang kita punya, kenikmatan kitapun akan berlipat ganda kita rasakan, dan rasa syukur kitapun akan tetap terjaga.

"Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan; "Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih."" (QS. 14: 7)

Tangerang, 15 April 2009
09:30 WIB
Share:

Selasa, 14 April 2009

Gelombang Revolusi Keadilan

Tenggelam ku dalam gelombang itu
Yang mampu membelah sang waktu
Membuka masa dan mengakhirinya
Menjadi rahmat bagi semesta

Ia bukan sungai, tapi cahaya
Berpendar dalam kegelapan
Tetesan air dari angkasa
Jatuh ke bumi bak intan

Maka hujan itu menumbuhkembangkan
Cahaya itu memicu bebuahan
Bertebaran
Merevolusi keadilan

Tenggelamku kini
Dalam gelombang kecil yang terpecah
Dan aku tidak sendiri
Meski kami berjuang terpisah

Tangerang 13 April 2009
20:04 WIB
"Yang sedang berpetualang bersama al-Mubarakfury, menapaki jejak langkah sang Nabi"
Share:

Sabtu, 11 April 2009

Jalan Panjang Sang Pejuang

Memandang wajahmu mengingatkanku pada asa, yang kini berganti rupa, menjelma menjadi sesosok misterius yang kembali sesakkan dada.

Sosok yang hadir menjadi pelipur getir, diantara lirihnya tahmid dan takbir, dan kesabaran yang menjelma takdir.

Yap, asa berganti harap, cahaya sibakkan gelap, dalam dekap senyap.

Harapan itu masih ada katanya, tapi bagiku itu doa, yang selalu temaniku di jalan panjang, jalan cinta para pejuang.

Tangerang, 11 April 2009
01:38 WIB
"Diantara buku yang blm selesai dibaca dan cahaya purnama penyejuk mata"
Share:

Selasa, 07 April 2009

Pameran Kebaikan di Tengah Kecemasan Para Korban

Hari Jumat kemarin saya mendapat pelajaran baru tentang arti kecemasan,dimana kecemasan dibagi menjadi 3,yaitu cemas terhadap masa lalu, sekarang, dan masa depan. Dan jika kecemasan itu berlebihan, maka timbullah trauma.

Pelajaran ini saya dapat ketika seorang pemateri dari Klinik Hati beraksi di hadapn para korbn Situ Gintung. Aksi trauma healing yang unik menggunakan metode pernafasan dan dzikir. Sebuah aksi yg cukup menentramkan di tengah kepadatan relawan dan pemberi bantuan.

Di situ gintung saat ini memang sedang ada pameran. Disana kita akan melihat banyak sekali stand, mulai dari lembaga penanggulangan bencana profesional, relawan kambuhan, sampai stand gadungan yang dibuat partai politik. Saya sebut stand gadungan karena disana hanya ada pos dan lambang parpol, tapi tak ada orang ataupun barang bantuan. Mungkin mereka sudah bubar jalan.

Tapi tidak seperti pameran pada umumnya, stand ini tidak dikunjungi konsumen melainkan secara proaktif mendatangi konsumen. Maka, jadilah para pengungsi yang tinggal di gedung Fakultas Kedokteran dan Kesehatan UMJ, menjadi konsumen yang sibuk. Karena ternyata kurang ada koordinasi dari stand-stand yang ada, sehingga stand-stand ini silih berganti dari pagi sampai malam mendatangi korban. Maka korban bagaikan selebritis yang punya janji padat dengan berbagai lembaga, ditambah seringnya mereka diliput media. Tak ayal, kelelahan dan fatigue pun melanda mereka.

Alan, Anak Pengusaha Kerupuk

Di tempat yang agak jauh dari pos pengungsi FKK UMJ, tepatnya di sekitar pabrik kerupuk, terdapat juga orang-orang yang menjadi korban. Mereka adalah orang-orang yang pekerjaan sehari-harinya menjajakan kerupuk. Mereka tinggal di bedeng-bedeng sederhana yang ada di sekitar pabrik kerupuk.

Tapi semenjak tanggul Situ Gintung jebol, banyak diantara mereka yang kembali ke kampung halaman masing-masing. Hanya beberapa orang yang masih tersisa di tempat itu, dan kini mereka menjajakan kerupuk dari pabrik lain, dengan keuntungan yang lebih kecil tentunya.

Menurut Alan (ini Alan beneran loh), anak pemilik pabrik, semenjak tanggul Situ Gintung jebol, pabrik kerupuk milik ayahnya berhenti beroperasi. Memang orang-orang yang tinggal disitu tidak ada satupun yang menjadi korban, tapi berton-ton bahan baku, bahan setengah jadi, dan kerupuk yang siap dipasarkan menjadi korban. Mesin pembuat kerupuk pun menjadi korban. Jumlah kerugian ditaksir mencapai 30 juta rupiah. Hal ini otomatis menjadikan banyak orang yang tinggal disitu kembali menjadi pengangguran, termasuk Alan.

Tapi sayangnya sampai saat ini belum ada perhatian dari pemerintah tentang nasib para pengusaha kerupuk tersebut. Jauhnya mereka dari tempat pengungsian, tidak adanya media yang meliput, dan tidak adanya korban jiwa, menjadikan mereka menjadi korban yang jarang sekali dikunjungi stand pameran kebaikan. Saat saya dan tiga teman saya melakukan wawancara disana, hanya stand ACT (Aksi Cepat Tanggap) saja yang pernah memberikan bantuan. Sedangkan stand lainnya terkonsentrasi di FKK UMJ, di tengah sorotan gencar media massa.

Wisatawan Pengunjung Pameran

Yang paling menyemarakkan suasana tentu saja para wisatawan bencana. Mereka datang dari berbagai kalangan. Mereka juga datang dalam jumlah yang bervariasi. Dan yang pasti, mereka datang dengan berbagai maksud dan tujuan.

Ada wisatawan yang datang berdua-berdua, anak-anak muda, foto sini foto sana. Tak ada rasa empati pada wajah mereka sama sekali. Mungkin maksud dan tujuan mereka kesini hanya untuk mencari tempat pacaran gratis, di tengah mahalnya tempat wisata dalam masa krisis.

Ada wisatawan keluarga, ayah, ibu, dan anak mereka. Di wajah mereka terlihat keprihatinan, sambil sesekali mengajari anak mereka tentang hikmah yang harusnya diambil. Sebuah sarana edukasi moral gratis di tengah mahalnya biaya pendidikan.

Ada juga wisatawan dalam jumlah cukup besar. Mereka terdiri dari berbagai kelompok. Tak jarang diantara mereka membawa bendera, memakai seragam, atau embel-embel lain yang menunjukkan identitas mereka. Mungkin maksud mereka kesini ingin menyalurkan bantuan, mungkin juga sekedar jalan-jalan. Yang pasti wisatawan kelompok inilah yang paling ramai dan paling menonjol.

Antara Spontanitas Peduli dan Strategi Berbagi

Beruntunglah kita berada diantara bangsa yang memiliki rasa peduli tinggi. Tapi kepedulian ternyata tidak cukup untuk menyelesaikan masalah. Kompleksitas bencana Situ Gintung membutuhkan sebuah strategi penanganan yang matang, tidak serabutan seperti yang terjadi sekarang ini.

Energi itu seharusnya dibagi. Pembagian bantuan juga seharusnya direncanakan dengan matang. Sehingga tidak ada lagi cerita standard dalam setiap bencana, bahwa ketika masa evakuasi semua orang berbondong-bondong turut menolong, tetapi ketika masa recovery tiba tak ada lagi tenaga dan dana yang tersisa. Dengan strategi ini diharapkan tak ada lagi kecemasan dari korban dalam menyongsong masa depan.

Tangerang, 4 April 2009

10:58 WIB
Share:

Senin, 06 April 2009

Jika Malam

Jika langit malam tak berbintang, maka cukuplah kenangan akan dirimu menghiasinya..

Jika tak ada bulan, maka keindahan dirimu cukup tuk meneranginya..

Jika matahari tak kunjung terbit menggantikan malam, maka mimpi dan harapan itu cukup tuk membuatku bersabar menunggu..

Gelap ini akan sirna..
Harapan itu masih ada..

Tangerang, 6 April 2009
19:50 WIB
Share:

Minggu, 05 April 2009

Ada Kesabaran Di Setiap Prosesnya

Ada yang menarik dalam materi khutbah jumat kemarin. Sebuah penyadaran tentang sabar yang ternyata adalah sesuatu yang mutlak ada dalam setiap proses kehidupan. Sabar yang memang sudah menjadi bagian dari grand design penciptaan semesta. Sabar yang dicontohkan langsung oleh Yang Maha Penyabar.

Mungkin sebagian dari kita sudah mengetahui bahwa salah satu sifat Allah adalah Maha Kuasa. Kemaha-Kuasaan  Allah itu digambarkan dalam ayat berikut:

"Sesungguhnya keadaan-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: "Jadilah!" maka terjadilah ia." (QS. 36:82)

Ayat di atas mungkin merupakan salah satu ayat yang paling dikenal luas oleh masyarakat kita. Potongan ayat terakhir kedua dari surat Yaasin ini, menggambarkan sebuah fenomena wajar yang dialamatkan pada Yang Maha Kuasa. Jika Yang Maha Kuasa menghendaki sesuatu, maka Ia tinggal berkata "kun", maka terjadilah sesuatu itu (fayakun).

Dengan kun-fayakunNya, Allah dapat Menciptakan sesuatu dari ketiadaan, tak terikat oleh ruang. Allah juga dapat Menciptakan sesuatu secara instan, tak terikat oleh waktu. Karena selain Maha Kuasa, Ia juga Maha Pencipta ruang dan waktu. Maka adalah sesuatu yang wajar, jika Ia Menghendaki, Ia tinggal Berkata "kun!" maka terciptalah alam semesta ini lengkap beserta isinya secara instan dan dari ketiadaan.

Tapi ternyata kenyataannya tidak demikian. Dalam surat Al A'raaf Allah Berfirman:

"Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas 'Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam." (QS. 7:54)

Alih-alih menggunakan kun-fayakun dan menciptakan alam semesta ini secara instan, Allah Memilih untuk Menciptakan alam semesta ini dalam enam masa. Kenapa demikian?

Salah satu penyebabnya adalah Allah ingin Menunjukkan kepada kita sifat Maha Sabar yang DimilikiNya dengan menanamkan sabar ini pada proses penciptaan semesta. Sehingga setiap proses yang terjadi di alam ini, setiap itu pula kesabaran selalu mengiringi. Maka jika Allah menggunakan kesabaran dalam proses penciptaan semesta, kita sebagai makhlukNya tentu harus menggunakan kesabaran dalam menjalani proses kehidupan di alam ini.

"Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS. 2:153)


Tangerang, 05 April 2009
07:05 WIB
"Yang sedang bersabar"
Share: