Apa yang menarik dari seorang Gus Dur? Saya kira, selain sikap nylenehnya, hampir tidak ada yang menarik pada dirinya. Yang menarik bagi saya adalah para pengikut dan pemujanya yang begitu fanatik, yang menganggap Gus Dur pemimpin mereka dan siap mati untuknya.
Sikap fanatisme ini terus dipertahankan walaupun beberapa kali Gus Dur sering mengecewakan. Gus Dur sering sekali menjilat ludahnya sendiri, membual tentang banyak hal, dan bahkan mempertontonkan aurat ketika dulu menjadi presiden. Apakah pendukung fanatiknya menutup mata akan hal ini? Ataukah mereka menganggap Gus Dur telah melampaui tahapan hakkat, tahap menyatu dengan Allah, sehingga Gus Dur sah-sah saja dalam melanggar syariat? Sungguh sebuah "khusnudzon" yang berlebihan, kalau tidak bisa dikatakan pengkultusan.
Berbeda dengan para pendukung Gus Dur, Musa as. justru menggunakan instingnya sebagai manusia tanpa mengenyampingkan sikap khusnudzonnya. Ketika Musa as. berguru pada seorang yang telah diberikan ilmu oleh Allah, Musa as. menunjukan hal ini. Kita telah mengetahui bahwa dalam pendidikannya bersama Khidhr as. Musa diberikan syarat oleh pemimpin spiritualnya tersebut untuk tidak bertanya, apapun yang dilakukan gurunya itu. Musa as. pun menyanggupi.
Ketika mereka menaiki sebuah perahu seorang nelayan yang sangat miskin, Khidhr as. merusaknya. Maka insting kemanusiaan Musa as. pun tergetar. Walaupun Khidhr adalah guru dan pemimpin spiritualnya, Musa as. tak dapat membiarkan kezhaliman ini terjadi. Musa as. pun bertanya kepada Khidhr as. tentang perbuatannya tersebut. Begitu juga dengan 2 perbuatan Khidhr as. selanjutnya, yaitu ketika Khidhr as. membunuh seorang anak muda, dan menegakkan dinding rumah. Musa as. bertanya, alih-alih mendiamkan atau menentang. Maka Musa as. pun mengajarkan kepada kita tentang keseimbangan antara insting kemanusiaan (dengan tidak mendiamkan kezhaliman yang ada), dan sikap khusnuzhon (dengan tidak langsung berbalik menjadi penentang).
Lalu bagaimana dengan gerakan-gerakan dakwah hari ini? Gerakan-gerakan mulia yang mengajak manusia untuk mengesakan Allah, mengajak mereka untuk berhukum hanya kepadaNya, dan bahkan bercita-cita mulia untuk menegakkan Khilafah Islamiyyah. Para pemimpin (Qiyadah) gerakan-gerakan ini tentunya membutuhkan dukungan penuh dari jundi-jundinya. Mereka menuntut ketaatan. Tapi di sisi lain, jundi-jundi dakwah ini tentu membutuhkan penjelasan tentang setiap gerakan yang diputuskan oleh qiyadah. Mereka menuntut pendidikan.
Sebagai manusia, tentu para pelaku gerakan dakwah ini tak lepas dari kesalahan. Terkadang para qiyadah lebih mengutamakan tuntutan mereka akan ketaatan jundinya, dengan mengabaikan hak jundinya untuk mendapatkan pendidikan. Maka yang terjadi adalah jundi-jundi yang muak dengan arogansi. Merekapun membentuk barisan sakit hati. Tapi terkadang, jundi-jundi ini justru memberikan ketaatan penuh, dengan mengabaikan hak pendidikan mereka, dan juga mengabaikan hak para qiyadah untuk mendapatkan nasihat dan pengingatan, Maka yang terjadi adalah fanatisme buta. Sebuah gerakan dakwah yang tinggal menunggu waktu untuk menjadi gerakan sesat.
Sebuah contoh telah diberikan oleh qiyadah kita bersama, Rasulullah saw. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud, dikisahkan tentang dua orang Anshar yang memergoki Rasulullah saw. malam-malam berjalan bersama seorang wanita. Tanpa bertanya, mereka langsung bergegas pergi mempercepat jalannya. Rasulullah saw. pun memanggil mereka, menyerukan mereka agar tidak terburu-buru, dan menyebutkan bahwa wanita yang bersama beliau adalah Shafiyyah binti Huyai. Setelah kedua orang Anshar itu bertasbih, Rasulullah saw. pun bersabda, "Sesungguhnya syaithan itu mengalir dalam tubuh anak Adam seperti mengalirnya darah. Maka aku khawatir jika ia melontarkan sesuatu yang tidak baik ke dalam hati kalian."
Kedua sahabat Anshar tadi tentu memiliki sikap khusnudzhon kepada Rasulullah saw., apalagi mereka tahu bahwa Rasulullah saw. adalah manusia yang maksum, terbebas dari kesalahan sekecil apapun. Tapi bagi seorang Rasulullah saw., sikap khusnudzon saja ternyata tidak cukup, karena tanpa mendapat penjelasan yang sempurna, pintu-pintu syaithan masih terbuka. Maka beliau saw. pun menunaikan haknya sebagai seorang qiyadah untuk memberi pendidikan pada jundinya, memuaskan insting kemanusiaan mereka, dan menutup pintu-pintu syaithan yang masih terbuka untuk berbagai macam prasangka. Wallahu 'alam bish showab.
Sikap fanatisme ini terus dipertahankan walaupun beberapa kali Gus Dur sering mengecewakan. Gus Dur sering sekali menjilat ludahnya sendiri, membual tentang banyak hal, dan bahkan mempertontonkan aurat ketika dulu menjadi presiden. Apakah pendukung fanatiknya menutup mata akan hal ini? Ataukah mereka menganggap Gus Dur telah melampaui tahapan hakkat, tahap menyatu dengan Allah, sehingga Gus Dur sah-sah saja dalam melanggar syariat? Sungguh sebuah "khusnudzon" yang berlebihan, kalau tidak bisa dikatakan pengkultusan.
Berbeda dengan para pendukung Gus Dur, Musa as. justru menggunakan instingnya sebagai manusia tanpa mengenyampingkan sikap khusnudzonnya. Ketika Musa as. berguru pada seorang yang telah diberikan ilmu oleh Allah, Musa as. menunjukan hal ini. Kita telah mengetahui bahwa dalam pendidikannya bersama Khidhr as. Musa diberikan syarat oleh pemimpin spiritualnya tersebut untuk tidak bertanya, apapun yang dilakukan gurunya itu. Musa as. pun menyanggupi.
Ketika mereka menaiki sebuah perahu seorang nelayan yang sangat miskin, Khidhr as. merusaknya. Maka insting kemanusiaan Musa as. pun tergetar. Walaupun Khidhr adalah guru dan pemimpin spiritualnya, Musa as. tak dapat membiarkan kezhaliman ini terjadi. Musa as. pun bertanya kepada Khidhr as. tentang perbuatannya tersebut. Begitu juga dengan 2 perbuatan Khidhr as. selanjutnya, yaitu ketika Khidhr as. membunuh seorang anak muda, dan menegakkan dinding rumah. Musa as. bertanya, alih-alih mendiamkan atau menentang. Maka Musa as. pun mengajarkan kepada kita tentang keseimbangan antara insting kemanusiaan (dengan tidak mendiamkan kezhaliman yang ada), dan sikap khusnuzhon (dengan tidak langsung berbalik menjadi penentang).
Lalu bagaimana dengan gerakan-gerakan dakwah hari ini? Gerakan-gerakan mulia yang mengajak manusia untuk mengesakan Allah, mengajak mereka untuk berhukum hanya kepadaNya, dan bahkan bercita-cita mulia untuk menegakkan Khilafah Islamiyyah. Para pemimpin (Qiyadah) gerakan-gerakan ini tentunya membutuhkan dukungan penuh dari jundi-jundinya. Mereka menuntut ketaatan. Tapi di sisi lain, jundi-jundi dakwah ini tentu membutuhkan penjelasan tentang setiap gerakan yang diputuskan oleh qiyadah. Mereka menuntut pendidikan.
Sebagai manusia, tentu para pelaku gerakan dakwah ini tak lepas dari kesalahan. Terkadang para qiyadah lebih mengutamakan tuntutan mereka akan ketaatan jundinya, dengan mengabaikan hak jundinya untuk mendapatkan pendidikan. Maka yang terjadi adalah jundi-jundi yang muak dengan arogansi. Merekapun membentuk barisan sakit hati. Tapi terkadang, jundi-jundi ini justru memberikan ketaatan penuh, dengan mengabaikan hak pendidikan mereka, dan juga mengabaikan hak para qiyadah untuk mendapatkan nasihat dan pengingatan, Maka yang terjadi adalah fanatisme buta. Sebuah gerakan dakwah yang tinggal menunggu waktu untuk menjadi gerakan sesat.
Sebuah contoh telah diberikan oleh qiyadah kita bersama, Rasulullah saw. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud, dikisahkan tentang dua orang Anshar yang memergoki Rasulullah saw. malam-malam berjalan bersama seorang wanita. Tanpa bertanya, mereka langsung bergegas pergi mempercepat jalannya. Rasulullah saw. pun memanggil mereka, menyerukan mereka agar tidak terburu-buru, dan menyebutkan bahwa wanita yang bersama beliau adalah Shafiyyah binti Huyai. Setelah kedua orang Anshar itu bertasbih, Rasulullah saw. pun bersabda, "Sesungguhnya syaithan itu mengalir dalam tubuh anak Adam seperti mengalirnya darah. Maka aku khawatir jika ia melontarkan sesuatu yang tidak baik ke dalam hati kalian."
Kedua sahabat Anshar tadi tentu memiliki sikap khusnudzhon kepada Rasulullah saw., apalagi mereka tahu bahwa Rasulullah saw. adalah manusia yang maksum, terbebas dari kesalahan sekecil apapun. Tapi bagi seorang Rasulullah saw., sikap khusnudzon saja ternyata tidak cukup, karena tanpa mendapat penjelasan yang sempurna, pintu-pintu syaithan masih terbuka. Maka beliau saw. pun menunaikan haknya sebagai seorang qiyadah untuk memberi pendidikan pada jundinya, memuaskan insting kemanusiaan mereka, dan menutup pintu-pintu syaithan yang masih terbuka untuk berbagai macam prasangka. Wallahu 'alam bish showab.
Tangerang, 16 April 2009
14:10 WIB
14:10 WIB
hehehehehe ^___^ Tfs
BalasHapushehehe...
BalasHapussama2...
Hohoho..
BalasHapusSalah satu wujud kesiapan memimpin dan dipimpin ya.. ^_^
iya sih ka..
Kadang kalo kita bertanya "mengapa" kepada pemimpin kita, kita malah dianggap membangkang..
Huks2..
Sebuah pelajaran yang menarik..
Salah satu penerapannya nanti ketika kk dipercaya memimpin sebuah keluarga sebagai suami dan ayah.. Mesti jadi pendidik yang baik ya.. ;-)
Hohoho..
BalasHapusSalah satu wujud kesiapan memimpin dan dipimpin ya.. ^_^
iya sih ka..
Kadang kalo kita bertanya "mengapa" kepada pemimpin kita, kita malah dianggap membangkang..
Huks2..
Sebuah pelajaran yang menarik..
Salah satu penerapannya nanti ketika kk dipercaya memimpin sebuah keluarga sebagai suami dan ayah.. Mesti jadi pendidik yang baik ya.. ;-)
Hadoh...
BalasHapusKenapa kudu dihubungkan dengan hal itu sih din?
*berpikir*
O iya, pertanyaan seseorang tuh mencerminkan dirinya sendiri. Jadi kayaknya...
*tertawa*
Pertanyaan yang mana kak?
BalasHapusPertanyaanku ato pertanyaanmu?
@diny:
BalasHapusMaksudnya pernyataan. Yang memimpin keluarga itu loh.. :)
nice... umat ISlam g akan bisa maju bila huznudzan kepada pemimpin tidak diimbangi dengan peningkatan pembelajaran dan pengetahuan
BalasHapusHaiyah..
BalasHapusJadi dibalikin ke aku nih ceritanya?
Yap, betul sekali bu...
BalasHapusIya, dong...
BalasHapusAnda harus mempertanggungjawabkan semuanya...
*jaksa mode: on*
Indah sekali kk pengingatnya...
BalasHapus:) td siang baca belon selese keburu keluar,
sekarang nyambung lagi.
^_^ setelah selesai
JKFS memerangi musuh dalam diri kita pribadi adalah peperangan yang paling dahsyat.
*menunduk dalem...
Alhamdulillah..
BalasHapusSyukur kalau bermanfaat..
Waiyyaki anit...
*menunduk juga*
Jangan lama2 kk ntik nabrak pintu..
BalasHapusheeeee ^_^
Ups...
BalasHapusHampir aja...
Makasih anit atas peringatannya...
Hehe...
ada 1 kisah anshor yang juga menarik banget kak, selalu bikin aku tersentuh bacanya, terkait sama husnudzhon sama qiyadah juga
BalasHapusada yang bilang gini "jundi yang taat berbanding lurus dengan qiyadah yang ikhlas", hm..aku sih ga terlalu setuju, kupikir masih ada variabel lain, pemahaman, kondisi ruhiyah misal..
@ludi:
BalasHapusSama, gak sepakat. Buktinya, pengikut lia eden itu kurang taat gimana coba.
Terus lihat Musa as, beliau as, pastinya seorang yang gak diragukan lagi keikhlasannya. Tapi jundi2nya justru umat yang paling membangkang diantara umat2 lain.
asiiikkk
BalasHapussenengnya k'iman sepakat. iya nih, manusia suka berteori aja, bikin desperate orang
gus dur = nyeleneh :(
BalasHapus@isaanshori:
BalasHapusO gitu ya?
Imam al Ghazali berkata: akal pikiran tidak dapat berjalan tanpa pengetahuan, dan sebaliknya. Oleh karena itu, orang yg mendukung taklid tanpa memakai ilmu pengetahuan intelektual adalah orang yg bodoh, dan orang yg puas hanya dgn ilmu tersebut tanpa cahaya Qur'an dan sunnah adalah orang yg sombong.
BalasHapus@hannakhaliddiyyah:
BalasHapusYap, Imam Ghazali benar, tapi bukan berarti sy taklid loh.. :)
dan bukan berarti saya menuduh begitu lho :)
BalasHapus