Jika suatu negara menghadapi sekumpulan orang yang berbeda dengan rakyatnya. Bahkan diindikasikan bahwa kumpulan orang ini mengancam stabilitas negara, apa yang akan dilakukan sang kepala negara? Jika kita tanyakan hal ini pada Muhammad saw, Rasulullah sekaligus kepala negara Madinah, maka beliau akan mendakwahi kelompok tersebut kepada Islam, jika mereka menolak ambil jizyah (pajak) dari mereka, jika menolak juga bolehlah diperangi.
Jika kita tanyakan hal ini pada Hitler, dengan sigap dia akan mengumpulkan tentaranya, menyuruh mereka menangkap seluruh anggota kelompok tersebut sampai tak tersisa. Kemudian menaruh anggota kelompok separatis tersebut dalam sebuah ruangan, memenuhi ruangan tersebut dengan gas beracun. Mungkin Hitler berpikir bahwa hal ini akan menghemat peluru dibandingkan jika harus menembaki mereka satu persatu.
Kemudian, jika kita tanyakan hal ini pada Konstantin, Kaisar Imperium Romawi, maka dengan kecerdikannya, ia akan merangkul kelompok separatis tersebut, menipu mereka tanpa sadar, dan menjadikan mereka bagian dari kekaisaran.
Hal ini terjadi kira-kira 17 abad yang lalu. Pada saat itu di kekaisaran Romawi tumbuh agama baru yang semakin lama semakin berkembang pengikutnya. Cara-cara represif tak mampu menahan laju perkembangan agama ini, apalagi cara halus. Maka mulailah dilakukan penyelidikan tentang agama ini, dimana kelemahannya, dan bagaimana cara menaklukannya.
Setelah mempelajari dengan seksama, didapatkanlah info bahwa agama ini bersumber dari seorang manusia yang begitu mereka puja, disebarkan oleh seseorang yang begitu gigih mengklaim perkataannya sebagai perkataan manusia agung tadi, dan ajaran yang begitu menekankan pada cinta kasih naif: jika kamu ditampar pada pipi kanan, berikanlah pipi kirimu juga.
Setelah mendapatkan informasi yang memadai, Sang Kaisar pun membuat semacam rapat besar yang dinamakan Konsili Nicea. Di Konsili Nicea inilah Konstantin menyatukan dasar-dasar agama baru tadi dengan agama yang dianut kekaisarannya. Kemudian, agama baru yang merupakan agama perpaduan inilah yang akan menjadi agama resmi kekaisaran.
Kaisar Konstantin adalah pemuja Sol Invictus, Dewa Matahari. Maka, disandangkanlah atribut Dewa Matahari yang dipujanya pada manusia agung sumber agama baru tadi. Atribut yang disandangkan berupa tempat lahir, tanggal lahir, dan hari ibadah. Dengan demikian, Konstantin dan seluruh penghuni kekaisaran memiliki tuhan baru - jika tidak bisa dikatakan sebagai dewa - yang bernama "Jesus Christ, Sun of God" yang lahir pada tanggal 25 Desember, dengan hari peribadatannya: SUNday.
Konstantin juga membuat dasar-dasar agama baru ini sesuai dengan agama pagan yang dianutnya. Maka lahirlah konsepsi tentang dosa waris, dimana seluruh manusia pada dasarnya memiliki dosa, hingga Jesus Christ turun ke bumi dan bersedia menanggung dosa bagi mereka yang percaya. Bahkan ritual pengorbanan pagan pun dibahasakan sebagai konsep penebusan dosa, dimana dengan usaha tertentu (entah berupa derma, pengakuan dosa, dsb) seseorang bisa dibebaskan dari dosa-dosanya.
Unik? Tidak juga. Karena ternyata konsep ketuhanan seperti ini telah dikenal jauh berabad sebelumnya. Tuhan atau mahadewa memiliki kecenderungan untuk tertarik pada perempuan dari bangsa manusia. Ketertarikan ini menimbulkan cinta dan perkawinan, sehingga lahirlah seorang pria perkasa yang memiliki campuran sifat manusia dan tuhan. Karena tuhan begitu jauh tak terjangkau, maka memuja anak tuhan menjadi suatu hal yang lumrah. Mereka lebih terindera, anak-anak tuhan ini lebih nyata.
Uzair putera Allah adalah salah satu contohnya. Uzair yang memiliki aura kesolehan yang luar biasa akhirnya dipuja oleh orang-orang Yahudi yang tak mampu menjangkau tuhannya secara langsung. Hercules putera Zeus adalah contoh lainnya. Dan yang suka produk Bollywood, mereka juga memiliki Krisna, titisan Wisnu, mahadewa dari India yang konon katanya sebagai sosok yang mencipta alam semesta.
Pola seperti ini juga pernah hendak diterapkan pada Islam. Meski tak sesukses Konstantin, atau para pengusung Uzair, mereka berhasil membuat Islam terpecah. Adalah 'Abdulah bin Sabaa, yang hendak menuhankan 'Ali bin Abi Thalib ra. Dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa 'Abdullah bin Sabaa menghasut sekelompok orang untuk bersujud pada 'Ali ra. 'Ali ra pun marah dan hendak membakar orang-orang ini. Tetapi dengan kelicikannya, 'Abdullah bin Sabaa berhasil menahan tangan 'Ali ra dari mereka. Hingga kini, warisan 'Abdullah bin Sabaa masih dapat kita jumpai dalam salah satu sekte Syiah paling ekstrim, yaitu Kaisaniyah. Sekte ini menempatkan 'Ali bin Abi Thalib ra sebagai manifestasi Allah, dengan kata lain, anak Allah di muka bumi.
Maka sayapun bertanya, kenapa pria? Apakah kami sebegitu perkasa untuk menjadi anak tuhan di dunia? Maka dengan lantang Lia Aminudin menjawab, "Jangan sombong dulu lo! Nih, gue perempuan. Walaupun gue bukan anak tuhan, tapi gue salah satu utusan tuhan yang perkasa. Gue nih titisan jibril. Mau apa lo!"
Nampaknya feminisme juga merambah dunia ketuhanan ya.
Tangerang, 09 April 2010
20: 49 WIB