Jumat, 31 Agustus 2007

Bola Panas Karya

Sebuah karya, apapun itu, baik berupa puisi, essay, maupun lagu, bisa diibaratkan sebagai bola panas yang terus mengalami perguliran. Karya memang dilahirkan oleh si pencipta, tapi begitu karya menghirup udara di dunia, dan diperkenalkan pada semesta, ia tidak lagi sepenuhnya menjadi monopoli si pencipta. Ia menjadi milik orang-orang yang membaca. Ia bisa diperlakukan bagaimanapun oleh orang-orang yang menikmatinya. Bahkan ia bisa dimaknai jauh berbeda dari tujuan penciptaannya...

Yap, bola panas itu adalah makna. Pemahaman, persepsi, serta pengaitan dimensi ruang dan waktu pada sebuah karya. Karena begitu karya berpindah tangan, maka bola panas itupun bergulir, dan menjadi milik pemirsa. Begitu juga dengan tulisan ini...

Patas 74, 30 Agustus 2007
Share:

Rabu, 29 Agustus 2007

Orang Pergerakan

Aku adalah Orang Pergerakan...
Orang yang melihat adanya perbedaan antara harapan dan kenyataan.
Orang yang menginginkan perubahan dan berusaha menjadikannya kenyataan.
Aku adalah Orang Pergerakan...
Orang yang menggunakan simbol dan slogan di lapangan.
Bukan...bukan buku, pesta, dan cinta simbolku.
Bukan pula "Hidup Mahasiswa! Hidup Rakyat Indonesia"
Dan juga bukan Totalitas Perjuangan.
Aku adalah Orang Pergerakan...
Yang hanya memiliki satu tujuan,
yaitu menegakkan keadilan,
sehingga ia tidak hanya menjadi simbol dan slogan,
melainkan kenyataan.
Tidak hanya di negeri ini,
tapi di seluruh pelosok bumi, Khalifatul Ardi.
Dan aku tidak sendiri...

Tangerang, 27 Agustus 2007
Share:

Semesta Cinta

Asa...
Begitu Indah Kurasa,
Meski tak Nyata.
Karena Rasa tak Memerlukan Nyata Dunia,
Cukup Maya Menjadi Semesta Cinta...

Tangerang, 25 Agustus 2007
Share:

Kamis, 16 Agustus 2007

Peta Topografi




Buat teman-teman yang ingin menjelajah, ada baiknya ngeliat peta-peta ini, sehingga paling tidak teman-teman bisa melihat bagaimana bentuk kontur dari tempat yang ingin teman-teman jelajahi. Tapi mungkin untuk bisa membaca peta topografi, teman-teman harus belajar...Gak susah kok. Selamat berusaha!

Oh iya peta ini diambil dari situs-situs yang ada di internet juga, jadi hak cipta gak berbicara disini, karena bagaimanapun hak cipta itu hanyalah monopoli Sang Pencipta Semesta...
Share:

Selasa, 14 Agustus 2007

Gue Peduli Nasib Bangsa

Ketika perubahan tak kunjung datang, gue kecewa dan hampir putus asa. Sampai kapan kita berada pada kondisi ini. Semua serba salah, karena jarang gue temui kebenaran. Semua bingung, karena banyak sekali yang menyesatkan. Dan semua stagnan karena belum adanya momentum yang cukup kuat untuk dijadikan pijakan.

 

Tapi banyak juga yang menawarkan solusi. Reformasi, revolusi, dan dagang sapi. Semuanya punya argumentasi, visi, dan misi. Tapi tak ada yang pasti, karena sebagaimana semesta ini, relativitas selalu menghantui. Lalu datanglah nurani.

 

Tapi iapun tak berdaya ketika dihadapkan pada budaya. Apa yang baik dan buruk gimana kata orang tua. Lalu masih mimpikah mereka, ketika cita-cita ada di luar bangsa? Bagaimana cara menerapkannya? Mentah-mentah atau rombak semua? Adakah kebaikan universal, atau segala sesuatu tergantung budaya?

 

Lalu untuk apakah agama yang katanya untuk seluruh umat manusia? Di dalamnya tercetak jelas apa yang baik dan buruk, yang halal dan haram, yang baik dan yang jahat, agar kita tidak tersesat dalam relativitas, atau lebih sederhanya, agar kita menjadi manusia yang bertaqwa.

 

Lalu apakah tak ada agama di Indonesia? Ataukah jika ada apakah kita memang beragama? Karena jelas bahwa korupsi dan manipulasi tak sesuai dengannya, sedangkan gue melihat itu dimana-mana. Terkutuklah bangsa ini jika Ia tidak turun tangan untuk memperbaiki semua...dengan cara apapun.

 

Depok 4 Maret 2004

23:55 WIB

Gue peduli nasib bangsa

Share:

Kausalitas

Banyak hal yang terjadi hari ini merupakan akibat dari masa lalu. Sesuatu yang kadang terlihat tidak masuk akal terkadang bisa dijelaskan dengan hukum sebab-akibat yang menggunakan waktu sebagai salah satu faktor.

 

Bencana alam yang menimpa Indonesia baru-baru ini mungkin bisa dijelaskan dengan kerusakan yang dilakukan manusianya selama bertahun-tahun sebelumnya. Tatanan dunia yang ada merupakan hasil pergulatan berbagai bangsa baik pada masa perang dingin, perang dunia II, atau bahkan peristiwa-peristiwa lain sebelumnya.

 

Bahkan hal ini juga berlaku pada gaya hidup dan tren yang sekarang ada. Semua tak terlepas dari hukum sebab-akibat dan perputaran waktu, entah itu baik, atau kita anggap baik. Yang pasti, Sang Pencipta kausalitas dan waktu, adalah juga Yang Maha Adil.

 

Tangerang 16 Januari 2006

01:53 WIB

“beware of what you do Now”

Share:

Waktu dan Rasa

Waktu...
Sudikah kau menungguku...?
Jangan tinggalkan aku dengan rasa tak menentu!
Jangan biarkan aku mengubur cinta yang telah dititipkanNya,
karena telah menyebar kemana-kemana.
Walaupun selama ini kupendam rasa yang ada,

walaupun tak kubiarkan ia bebas berkelana,
tapi kupikir adalah sebuah kesalahan jika aku membunuhnya.
Karena ia telah lahir, merajalela dalam domain rasa yang kupunya.
Tapi biarlah, kuserahkan semuanya pada Sang Pemilik kau, aku, dan rasa cinta diantara kita.

 

Depok 5 Juni 2006

22:37 WIB

Share:

Peranan Disket dalam Pencerdasan Umat Manusia

Sebagai seorang mahasiswa yang telah berkecimpung lama dalam dunia kemahasiswaan, gue menjadi saksi sejarah bagaimana disket pernah mencapai masa kejayaannya. Masa dimana disket begitu penting dalam kehidupan mahasiswa. Masa dimana disket menancapkan kuku-kuku kekuasaannya tanpa sedikitpun mendapat protes dari mahasiswa yang terkenal kritis.

Masa itu disket beredar luas khususnya di kalangan mahasiswa, baik secara terang-terang, maupun sembunyi-sembunyi layaknya peredaran narkoba. Segala bentuk pertukaran file tugas, gambar, lagu, virus, maupun data pribadi, menggunakan disket sebagai mediatornya. Sehingga baik disadari maupun tidak, akhirnya disket berhasil membentuk rezim kekuasaan di kalangan mahasiswa.

Tapi seiring berjalannya waktu dan perkembangan teknologi, rezim disketpun mulai runtuh. Walaupun belum genap 32 tahun, rezim itupun mengalami kehancuran dan reformasi teknologi. Reformasi di segala bidang ini, lambat laun mulai merongrong peranan disket di kalangan mahasiswa. Dan si flashdisk sebagai pahlawan reformasi, mulai mengambil peran disket yang dinilai tidak lagi optimal di zaman baru ini.

Tapi sebagaimana rezim orde baru, ternyata disketpun masih memiliki sisa-sisa pengaruh yang masih terasa di kalangan mahasiswa, khususnya gue. Bahkan tanpa disket, gue mungkin gak bisa menghadirkan tulisan ini di hadapan kalian semua.

Bermula dari rusaknya hardisk gue (mungkin ada beberapa orang yang tertawa senang mendengar berita ini...:( ), dengan sangat terpaksa gue membeli hardisk baru. Hardisk bermerk Seagate 80 Gigabyte dengan interface SATA. Terus guepun mencoba menginstall windows XP service pack 2 (bajakan tentunya, he2), di komputer gue. Tapi ternyata installer windows gak ngedetect Hardisk baru yang gue beli.

Guepun membaca-baca lagi manual book motherboard Asus P4R800-V Deluxe gue, dan mencari-cari informasi di internet tentang hal ini. Ternyata untuk instalasi operating system windows, gue kudu nginstall driver buat SiS 180 RAID controllernya. Dan ternyata installasi ini hanya bisa dilakukan dengan disket sebagai mediatornya. Dan dengan sangat terpaksa gue aktif-in lagi floopy disk drive gue yang udah lama gak kepake. Setelah memencet F6 pada installasi windows, menginstall driver yang dibutuhkan, akhirnya installasi windows XP bisa dilakukan di Hardisk gue.

Tapi masalah belum selesai disitu. Ketika installasi selesai, dan windows me-reboot sistem, tulisan “Disk Boot Failure blablabla” muncul. Selidik punya selidik ternyata gue kudu nyeting bios motherboard gue, mengubah boot medianya dari HDD menjadi SCSI. Gile, Hardisk SATA gue dianggap sebagai SCSI. But anyway ini memecahkan masalah.

Akhirnya, setelah gue masuk windows, menginstall Partition Magic (bajakan juga tentunya), mempartisi Hardisk gue, dan menginstall program-program lain yang diperlukan (selain yang berlisensi LGPL, GPU, dan Freeware, semuanya adalah bajakan), guepun bisa kembali berkarya dan turut berkontribusi dalam mencerdaskan umat manusia (amiiiiiinnnnn). Jadi secara tidak langsung, disket berperan dalam pencerdasan umat manusia....???

Share:

Tipe Orang dalam Perjuangan

Berbagai tipe orang dalam perjuangan:

1.   Orang yang menyerah sebelum berjuang

2.   Orang yang berhenti berjuang setelah merasakan kegagalan

3.   Orang yang tak pernah berhenti berjuang walaupun terus-menerus menelan kegagalan

4.   Orang yang mengevaluasi diri ketika gagal dalam berjuang

5.   Orang yang menyusun strategi berdasarkan kegagalan yang dialami

Jadi, sudah sampai tahap manakah anda?

 

Depok ?? ??????? ????

04 sekian WIB

Share:

Relativitas Makna

Makna adalah sesuatu yang mutlak (relatif) ada dalam hidup ini. Pulpen adalah konsep makna. Buku adalah konsep makna. Tulisan adalah konsep makna. Pemikiran adalah konsep makna. Kesadaran adalah konsep makna. Tuhan adalah konsep makna. Dan lain sebagainya adalah juga konsep makna.

 

Tapi sebuah pulpen punya makna yang berbeda bagi seorang mahasiswa dan seorang direktur pemasaran. Sebuah pulpen punya makna yang berbeda bagi mahasiswa fakultas sastra dan mahasiswa fakultas desain grafis. Intinya, makna itu relatif, terikat pada konteks baik ruang, waktu, kesadaran, kondisi, dan sebagainya.

 

Tapi sebagaimana bahasa, yang merupakan konsep makna yang paling sering kita gunakan (mungkin...?), makna secara umum juga merupakan sistem kesepakatan, baik antara 2 atau lebih individu, kelompok masyarakat, bangsa, maupun peradaban. Contohnya pulpen tadi, ada kesepakatan antara mahasiswa fakultas sastra, mahasiswa fakultas desain grafis, dan direktur pemasaran bahwa itu adalah alat tulis. Pulpen adalah alat tulis, entah itu sebagai medium untuk menyalurkan rasa, entah itu sebagai objek prakarya, maupun sebagai sebuah produk yang entah bagaimana harus dimiliki oleh konsumen dengan rasa bangga. Dengan kata lain, baik itu untuk mengarang, mendesain, dan menjual, adalah pulpen dengan maksa sebagai alat tulis tadi.

 

Tapi bagaimanapun ini hanyalah sebuah kesepakatan. Bagaimanapun umumnya, bagaimanapun luasnya, dan bagaimanapun universalnya, mungkin suatu saat pulpen hanya bermakna sebagai sebuah token sejarah dalam masyarakat primitif, bagi peradaban manusia 1000 tahun nanti.

 

Depok 2 Desember 2004

Share:

Kriteriaisasi

Manusia adalah makhluk unik yang tidak bisa dikelompokkan secara presisi kedalam suatu jenis kelompok tertentu. Tetapi ketika kita berbicara tentang orang lain, kita cenderung memasukkan dan mengkategorikan mereka dalam kriteria-kriteria tertentu.

 

Ketika kita mengamati seseorang yang suka bercanda dan tertawa, secara sadar atau tidak kita memasukkannya dalam kriteria humoris. Ketika kita melihat seorang wanita yang lembut, suka berinteraksi dengan anak kecil, kita melabelnya dengan kriteria keibuan. Dan berbagai contoh lainnya yang kita temui sehari-hari.

 

Dan bukan hanya itu. Terkadang proses pemikiran “top-down” kita pun amat tergantung dengan proses “kriteriaisasi” tersebut. Artinya, bukan hanya apa yang kita amati saja yang kita buat kriterianya, tetapi juga apa yang kita pikirkan kita buat kriterianya untuk kemudian diterapkan dalam dunia real.

 

Contohnya ketika kita hendak memilih seorang ibu yang baik untuk anak-anak kita, kebanyakan dari kita mungkin secara sadar atau tidak menetapkan kriteria-kriteria tertentu. Penyayang, bertanggung jawab, sabar, hangat, dan berbagai kriteria lain cenderung kita jadikan saringan untuk mempersempit pilihan. Dan bukan hanya calon ibu, seluruh peran yang menyangkut kehidupan kita, secara sadar ataupun tidak, telah kita buatkan kriterianya masing-masing. Mulai dari tingkat lokal seperti kriteria teman, kriteria rekan kerja, tingkat nasional seperti kriteria presiden, kriteria pahlawan, sampai tingkat global seperti kriteria sekjen PBB, dan lain-lain, semuanya memiliki kriteria unik walaupun ada beberapa yang dianggap general.

 

Dan saking banyaknya kriteria-kriteria yang kita miliki, yang sebanding dengan peran-peran yang berhubungan dengan kehidupan kita, tanpa sadar kriteria-kriteria tersebut bertransformasi menjadi individu-individu tanpa nama.

 

Depok, 14 Februari 2006

23:31 WIB

Share:

Kompleksitas dalam Kesederhanaan

Terkadang hal yang sederhana bisa menjadi begitu kompleks ketika dikombinasikan dalam susunan yang sesuai. Huruf-huruf yang kita baca, kata-kata yang tersusun darinya, menjadi begitu rumit jika disusun dalam sebuah buku teks filsafat. Hal yang sederhana itu telah kehilangan esensinya, digantikan oleh susunan yang merekatkannya. Mereka tidak lebih menjadi medium, tempat ide lebih besar menumpang.

 

Begitu juga dengan kehidupan. Dunia yang demikian kompleks ini sebenarnya merupakan kombinasi dari atom-atom sederhana. Air terdiri dari atom hidrogen dan oksigen. Garam terdiri dari Natrium dan Klorida. Dan materi-materi lain juga terdiri dari atom-atom yang juga sederhana.

 

Tetapi kesederhanaan atom-atom ini mampu menciptakan kehidupan yang maha kompleks ketika disusun olehNya. Manusia yang merupakan makhluk paling kompleks di alam semesta pun tidak luput dari prinsip tersebut.  Kita sebagai kumpulan atom, tidaklah jauh berbeda dari kumpulan atom yang membentuk semesta ini. Kita berbeda karena kita dikombinasikan dalam susunan yang berbeda, sehingga esensi kita sebagai manusia tidak lagi sebagai kumpulan atom, melainkan Ide Besar yang menumpang pada tubuh fisik atomik kita. Dan ketika Sang Pemilik Ide menginginkinnya kembali ke sisiNya, maka kumpulan atom tubuh kita tidak lebih baik dari pasir di pantai, air di lautan, batu di pegunungan.

 

Depok 6 September 2005

01:15 WIB

Abis baca Fi Zhilallil Quran “Alif Lam Mim”

Share:

Kebebasan yang Merusak

Kebebasan dalam sejarah peradaban manusia adalah hal yang terbukti menjadi lokomotif peradaban itu sendiri. Kebebasan memberikan ruang bagi kreativitas manusia. Kebebasan mempersilahkan manusia untuk melaju menuju masa depan. Kebebasan juga menumbuhkembangkan berbagai potensi. Tapi kebebasan berarti juga bebas dalam mengkresi berbagai bentuk kerusakan, melaju pada kekacauan, dan menumbuhkembangkan potensi kehancuran peradaban umat manusia secara keseluruhan.

 

Depok 2 Desember 2004

Abis nonton “Larry Flint”

Share:

Kebebasan Burung

Terkadang gue kagum akan spontanitas burung yang dibebaskan dari sangkarnya. Tanpa ragu mereka terbang dan melayang ke alam bebas. Meninggalkan sangkarnya yang selama ini menjadi rumah, tempat makan, dan satu-satunya semesta tempat mereka hidup, menuju semesta baru yang belum pernah mereka kenal sebelumnya.Atas nama kebebasan dan perubahan, mereka meninggalkan “kenyamanan” yang selama ini ditawarkan oleh pemiliknya. Mencoba untuk menggapai “kenyamanan” baru di luar sana.

 

Gue kagum karena jika gue menjadi salah seekor diantara mereka, gue akan terpaku sejenak mencoba menimbang segalanya. Apakah dunia luar itu akan cukup nyaman menjadi rumah gue? Apakah diluar nanti banyak tersedia makanan untuk memuaskan kebutuhan gue? Dan apakah dunia luar bisa menjamin keselamatan hidup gue? Serta berbagai pertimbangan lain yang pasti akan memperlambat proses kebebasan gue ke dunia luar tersebut.

 

Bahkan jikapun kebebasan itu belum ditawarkan oleh pemilik gue dan pikiran itu tiba-tiba terlintas di benak gue, gue mungkin masih akan ragu. Imaji akan kebebasan, perubahan, dan dunia baru saja mungkin udah cukup membuat gue bingung, ragu, takut, gelisah, dan berbagai pikiran negatif lain. Hal ini mungkin akan membuat gue berusaha sekuat tenaga agar gue tidak ditawarkan kebebasan oleh pemilik gue dan berusaha mempertahankan status quo tersebut.

 

Yang pasti gue kagum karena burung-burung itu tetap terbang tanpa mempedulikan seandainya di luar sangkarnya para pemburu telah siap dengan senapan di tangan dan akan menembak apapun yang bisa ditembak dan diburu.

 

Depok 30 Agustus 2005

01:15 WIB

First writing after all this lazzy time

Share:

Teater Alam

Menyaksikan alam di pagi hari adalah sebuah kenikmatan tersendiri. Sebuah sensai yang menenteramkan hati. Sebuah pelajaran yang membangun visi. Dan sebuah cara untuk mendekatkan diri pada Ilahi.

 

Alam di pagi hari adalah sebuah keindahan unik, yang berbeda dengan waktu lainnya. Ada sesuatu yang khas disitu, sesuatu yang tidak terdefinisikan tapi dapat dirasakan. Sesuatu yang sering Allah pakai dalam sumpahNya.

 

Menyaksikan bagaimana matahari pagi terbit di ufuk timur seperti menyaksikan sebuah pertunjukkan teater yang Maha Dahsyat. Seperti sebuah lampu sorot yang dimulainya sebuah pertunjukkan. Dimana bumi menjadi latarnya. Dan manusia menjadi tokoh yang hidup didalamnya.

 

Matahari pagi itu bahkan tidak membatasi apa yang kita lihat sebagaimana teater pada umumnya. Tapi matahari itu menampakkan segalanya. Semua detail yang ada di bumi sebagai latar disorotnya. Dari mulai pepohonan yang berembun, burung-burung kecil yang berterbangan, tupai-tupai yang melompat-lompat di atas dahan, sampai segala bentuk peradaban buatan.

 

Dan semua detail yang dilakukan manusia sebagai tokoh utamanya pun tidak luput dari perhatian. Berbagai aktivitas dan kegiatan mereka serentak dimulai, seperti perlombaan adu lari. Ada yang mulai berjualan, ada yang bersiap-siap menghadapi rutinitasnya yang membosankan, tapi ada juga yang benar-benar lari di pagi hari.

 

Semua itu menarik. Semua itu menyenangkan untuk dinikmati dari berbagai sudut pandang. Sampai suatu ketika dimana kita sendirilah yang menjadi tokoh yang menjadi sorotan. Sampai suatu ketika dimana kita sendiri terjun dalam aktivitas yang harus kita lakukan.

Share:

Kematian Modernisme

Malam. Atau pagi? Bahkan waktupun tidak memiliki sebuah ketetapan istilah. Padahal manusia berkecimpung di dalamnya, bukan, mungkin lebih tepat hidup di dalamnya. Sesuatu yang menjadi bagian dari diri setiap insan. Sesuatu yang sangat universal. Tapi bahkan belum memiliki kesepakatan universal. Lalu bagaimana dengan hal-hal yang bersifat lokal dan parsial?

 

Pernah kutenggelam dan menjadi bagian dari kelompok yang memperdebatkan hal tersebut, antara universalitas dan relativitas. Bukan sebagai pengamat, tapi sebagai simpatisan dari suatu pihak yang menelan bulat-bulat kebenaran yang dijejalkan padaku melalui forum-forum dan buku. Tak sedikitpun kucoba melihat pihak lawan, karena kacamata kuda yang kupakai tak memungkinkan hal tersebut.

 

Dulu aku beranggapan bahwa segala sesuatu adalah (mutlak) relatif. Tak ada yang mutlak. Tak ada yang universal. Yang ada, mutlak, dan universal hanyalah relativitas itu sendiri. Yang mencakup segala sesuatu mulai dari hal kecil sampai hal besar. Dan kecil besar itu sendiri tergantung dari cara pandang yang kita pakai.

 

Kebenaran mutlak yang selama ini dijejalkan padaku terhapus begitu saja oleh arus pemikiran baru. Tak ada ruang tersisa untuk mereka. Bahkan sekalipun mereka mencoba untuk bertahan, lingkungan pemikiranku tak mengizinkan untuk itu. Karena atmosfirnya berbeda sekali, dan hampir tak ada kemungkinan bagi mereka untuk bisa bernafas, apalagi tumbuih dan berkembang biak di dalamnya.

 

Menurutku ini adalah sebuah paradigma yang luar biasa. Sebuah paradigma yang revolusioner yang menghancurkan semuanya, tak tersisa, dan membangun kehidupan diatas puing-puing reruntuhan paradigma lama. Tidak mengakomodir, mengasimilasi, mengakulturasi, dan mengelaborasi mereka, karena kedua paradigma ini merupakan spesies yang berbeda yang dari keduanya tidak mungkin menghasilkan keturunan.

Yap itulah postmodernisme. Sebuah paradigma pemikiran yang lahir dari puing-puing pemikiran modernisme. Nama yang hampir mirip bukan berarti mereka memiliki kedekatan, tapi post setelah nama modernisme ini bisa diartikan juga sebagai kematian. Yang berarti postmodernisme eksis jika dan hanya jika modernisme telah menemui ajalnya.

Share:

Demi Masa

“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (QS. Al ‘Ashr: 1-3)

 Pernah aku terjebak dalam suatu putaran waktu. Waktu dimana aku menyia-nyiakan hidup, dan juga menyia-nyiakan waktu itu sendiri. Waktu dimana aku benar-benar menjadi orang yang merugi.

 

Kujalani hari-hariku dengan kesia-siaan. Kujalani waktuku dengan permainan dan senda gurau belaka. Dan kujalani hidupku dengan kehampaan tanpa sedikitpun berpikir bahwa hidup ini ada batasnya.

 

Berbagai kegiatan kulakukan, dan berbagai aktivitas kujalani. Tapi tak satupun kupahami untuk apa sebenarnya kulakukan semua ini. Yang aku tahu bahwa beginilah cara menghabiskan waktu yang tepat dalam hidupku.

 

Aku aktif di organisasi dan pada saat yang sama juga bersosialisasi. Tak kulupakan pula tugas utamaku sebagai mahasiswa, menimba ilmu sampai meraih gelar sarjana. Di sela waktu luangku, yang kadang kuciptakan sendiri, akupun bersenang-senang dengan bermain game yang sedang ngetrend saat itu, sampai terkadang aku lupa waktu, dan aktivitasku yang lainnyapun terganggu.

 

Begitulah hidupku. Walaupun kuisi dengan berbagai kegiatan, aktivitas, dan permainan, tapi entah kenapa aku masih merasa hampa. Hampa karena satu pertanyaan yang selalu menghantui: ‘Untuk apakah semua ini?’

 

Berbeda ketika aku masih kecil dulu. Pertanyaan sederhana ini kuolah tanpa proses yang rumit oleh otak kecilku. Aktivitasku belajar di SD untuk masuk ke SMP Negeri favorit yang diinginkan orang tuaku. Aktivitasku bersosialisasi, untuk mencari teman sehingga aku tidak menjadi anak yang kesepian. Aktivitasku bermain, untuk menghibur diri setelah terkungkung dalam rutinitas hidupku. Bahkan pada saat itu, semua rutinitas hidupku kuanggap sebuah permainan yang bertujuan untuk mengibur diri, setiap saat dan setiap waktu.

 

Tapi waktu pun menunjukkan kehebatannya dengan merubah pola pikirku yang sederhana itu. Waktu menyadarkanku bahwa hidup ini bukanlah permainan dan senda gurau belaka. Pertanyaan ‘Untuk apa semua ini?’ tidak bisa secara sederhana dijawab sebagaimana aku kecil dulu.

 

Mungkin aku bisa menggunakan jawaban yang biasa digunakan oleh kebanyakan orang, bahwa aktivitas yang kujalani sehari-hari ini, untuk masa depanku nanti. Bahwa kuliah yang kuikuti berguna untuk modal mencari kerja. Bahwa keaktifanku di organisasi untuk menambah ruang kosong di CV. Bahwa game yang kumainkan, lagu-lagu yang kudengarkan, film yang kutonton, semuanya berguna untuk refreshing sekaligus media sosialisasi sehingga aku tidak termasuk orang yang terasing nantinya.

 

Tapi walaupun sudah kucoba, tetap saja jawaban-jawaban itu tidak bisa mengisi ruang kosong dalam jiwaku. Pertanyaan itu terlalu membekas dan menyisakan lubang yang begitu dalam, dan tidak akan terpuaskan hanya oleh jawaban yang begitu sederhana seperti jawaban masa SD ku dulu.

 

Lalu harus bagaimana?

 

“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS. Adz Dzaariyaat:56)

Share:

Cinta ohhh cinta

Seseorang akan berada bersama dengan orang yang dicintainya pada hari pembalasan nanti. Sebuah bukti betapa dahsyatnya kekuatan cinta. Dan sekaligus sebuah bukti betapa berbahayanya cinta itu sendiri.

 

Beberapa hari yang lalu gue ditunjukkan betapa indahnya sebuah ikatan cinta yang didasari karena Allah. Sebuah pertunjukkan cinta yang mengingatkan gue kembali betapa indahnya cinta jika mengikuti aturan main yang ditetapkanNya. Aturan main yang dibuat oleh Yang Menciptakan cinta itu sendiri.

 

Gue melihat seorang suami yang dengan sabar dan penuh kasih sayang menggandeng istrinya, walaupun istrinya cacat. Sang istri jalan tertatih-tatih seakan setiap langkah yang dibuatnya menorehkan rasa sakit. Ia berjalan begitu lambat. Tetapi betapa lambatnyapun sang istri, sang suami tadi tetap setia berada di sampingnya.

 

Ia menggandeng tangan istrinya. Memperlambat dan memperpendek setiap langkah yang dibuatnya. Dan walaupun tak ada kata diantara mereka, saat mereka lewat di hadapan gue, tapi seakan-akan atmosfir dipenuhi oleh getaran cinta yang tak terungkap oleh kata. Dan gue tergerak untuk berdoa semoga ikatan cinta mereka karena Allah semata, dan semoga Allah menunaikan janjiNya untuk selalu menyatukan mereka bersama.

 

Dan disinilah gue kembali dalam lingkungan hidup sehari-hari. Lingkungan dimana cinta dieksploitasi menjadi sebuah komoditi. Makna cinta yang suci terus menerus direduksi. Cara bercinta yang dibuat oleh penciptaNya, menjadi sesuatu yang usang dan tidak lagi berguna.

 

Kreativitas dan nafsu menjadi satu untuk menciptakan cara-cara baru dalam bercinta. Tak ada akal sehat lagi disini, karena merekapun mengakui bahwa cinta bukanlah sesuatu yang rasional, tapi masalah hati. Cinta juga masalah nafsu, mereka menambahkan secara tersirat dalam sikap dan perbuatannya.

 

Dan kembali gue tergerak untuk berdoa. Semoga Allah menunaikan janjinya untuk menyatukan mereka. Menyatukan orang-orang yang mencinta itu di hari pembalasan nanti. Entah dimana.

Share:

Cinta dalam Pergerakan

Seperti ketika kita memandang indahnya pelangi yang menggores langit. Mengagumkan. Mempesona. Tapi ada jarak” (Anis Matta, 2005)

 

Gue lupa dalam konteks apa Anis Matta menuliskan kata-kata tersebut di atas. Dan gue juga lupa dalam konteks apa gue mencomot kutipan tersebut. Yang gue inget Anis Matta menuliskan kata-kata tersebut dalam 'serial cinta' yang beliau tulis setiap minggu di majalah Tarbawi. Dan saat itu – bahkan mungkin sampai saat ini – gue adalah pengagum 'serial cinta'.

 

Dari 'serial cinta' lah gue belajar banyak tentang cinta. Bukan melulu cinta dari aspek psikologis seperti yang kerap ditulis oleh Ibnul Qayyim – walaupun sampai saat ini gue gak menemukan kajian cinta yang paling komphrehensif dan paling menarik selain yang ditulis Ibnul Qayyim – tapi cinta dalam konteks gerakan yang dibungkus dengan realita kehidupan.

 

Cinta ternyata dibutuhkan untuk membangun sebuah gerakan. Dan sebuah gerakan – yang terjadi karena adanya kesadaran bahwa realita kehidupan saat ini tidak ideal – tidak akan terjadi tanpa ada cinta dibaliknya. Terkesan seperti perluasan definisi memang, tapi begitulah realitanya.

 

Gerakan dakwah contohnya, terjadi karena adanya sesuatu yang tidak ideal dalam realita kehidupan, entah itu kemaksiatan yang masih merajalela, penyimpangan dalam agama, sampai pada keadaan bahwa kalimat Allah belum menjadi kalimat tertinggi. Dan gerakan dakwah tidak akan terjadi tanpa adanya kekuatan yang berada dibalik itu semua, yaitu kekuatan cinta kepada Allah, Rasulullah, dan berjihad di jalanNya.

 

Demikian juga dengan gerakan neo-Marxisme – atau gerakan serupa dengan basis mazhab Frankfurt. Gerakan ini terjadi karena realita dunia saat ini masih jauh dengan realita dunia yang mereka cita-citakan. Dunia yang masih timpang dalam hal distribusi kekayaan, masih adanya kelas-kelas sosial bahkan sampai pada tingkatan negara, dan kebijakan global yang lebih sering merugikan negara dunia ketiga, merupakan hal yang jauh dari cita-cita ideal mereka tentang tatanan dunia. Dan kecintaan mereka terhadap idealisme ini merupakan suplemen utama dalam pergerakan mereka di seluruh dunia.

Kapitalisme, Neo-Liberalisme, Postmodernisme, dan gerakan lainnya di duniapun memiliki pola yang sama, yaitu realita kehidupan yang tidak ideal, serta cinta yang menjadi motor penggerak itu semua. Lalu apakah yang membedakan itu semua?

 

Seperti sebuah pedang bermata dua, cinta juga tergantung pada orang dibaliknya, paradigma yang menggerakannya, dan cita-cita yang ditujunya. Jika cinta menjadi motor penggerak bagi orang-orang kafir, dengan paradigma kekafiran, dan tujuan hanya untuk dunia, maka sudah pasti pedang cinta tadi akan merusak tatanan dunia yang ada. Tapi jika cinta menjadi motor penggerak bagi para aktivis dakwah, dengan paradigma keimanan, dan tujuannya hanya Allah semata, maka sudah pasti cintanya akan senantiasa menjadi cahaya yang akan menerangi dunia yang semakin kelam ini.

Share:

Senin, 13 Agustus 2007

Jumat, 10 Agustus 2007

Potensialitas Cinta

Cinta adalah anugerah, sebuah sunatullah yang patut disyukuri. Karena cinta adalah salah satu pembeda manusia dengan makhluk lainnya, walaupun bukan semata-mata diciptakan untuk kita. Tapi cinta yang kita miliki istimewa, berada diantara dua kutub, cinta Malaikat dan iblis.

Malaikat memiliki cinta. Cinta buta yang semata-mata ditujukan kepada penciptaNya. Tiap amal dan perbuatan mereka digerakkan oleh rasa cinta ini. Bahkan mereka tak bisa bergerak diluar koridor cinta mereka, yang seluruhnya Ditetapkan Oleh Yang Maha Pecinta.

Dilain pihak, iblis juga memiliki cinta. Cinta kepada Allah yang diimplementasikan dalam cinta yang berlebihan kepada dirinya sendiri. Dan cinta berlebihan kepada diri sendiri inilah yang akhirnya menjerumuskannya dalam kehinaan yang teramat sangat, mendurhakai perintah Allah dan mengemukakan argumentasi didepan Yang Maha Mengetahui.

Karena itu cinta manusia istimewa. Sebuah cinta potensial yang bisa mengambil jalan apa saja. Bisa diarahkan kepada cinta mulia para malaikat, dan bisa mengambil jalan cinta hina iblis. Istimewa, karena pilihan ada di tangan kita.

Share:

Cinta Alam Semesta

Satu hal yang tertinggal dari masa lalu gue adalah kecintaan dan kerinduan gue pada alam. Entah kenapa? Dan entah bagaimana?

Mungkin itu adalah sebuah fitrah manusia yang mencintai sesama makhluk Tuhan. Sebagaimana gue mencintai manusia lain, gue juga mencintai alam, dan bahkan terkadang rindu untuk bercengkerama dengannya. Rindu untuk merasakan dinginnya alam yang memberikan kehangatan tersendiri. Rindu untuk merasakan gelapnya malam yang memberikan nuansa tersendiri. Rindu akan cahaya bulan, gemerlap bintang, tetesan air embun dan hujan, kicauan burung dan suara binatang, serta nafas yang tersengal dalam perjalanan menapaki udara bersih yang bebas polutan.

Kerinduan gue memang bukan tanpa alasan. Bukan kerinduan semu seorang putri yang mengharapkan pangeran impian. Bukan juga kerinduan pungguk merindukan bulan. Tapi kerinduan pada teman lama yang beberapa waktu ini tidak berjumpa. Karena gue kenal dengan alam. Gue sering berinteraksi dengan alam. Dan gue jatuh cinta pada alam.

Cinta itu masih ada. Rindu itu masih menggebu. Bahkan ketika seluruh tatanan hidup gue berubah, cinta dan rindu masih bersatu untuk senantiasa memanggil gue kembali ke pangkuan alam. Ibarat karang yang tertinggal dalam gelombang revolusi, kecintaan dan kerinduan gue pada alam justru menemukan bentuk baru yang sesuai dengan habitatnya kini.

Entah ini fitrah. Ataukah akibat ukhuwah yang terlalu lekat, sehingga alam tetap bertahan dalam semesta cinta gue yang terus menerus mengalami perubahan.

Share: