“Seperti ketika kita memandang indahnya pelangi yang menggores langit. Mengagumkan. Mempesona. Tapi ada jarak” (Anis Matta, 2005)
Gue lupa dalam konteks apa Anis Matta menuliskan kata-kata tersebut di atas. Dan gue juga lupa dalam konteks apa gue mencomot kutipan tersebut. Yang gue inget Anis Matta menuliskan kata-kata tersebut dalam 'serial cinta' yang beliau tulis setiap minggu di majalah Tarbawi. Dan saat itu – bahkan mungkin sampai saat ini – gue adalah pengagum 'serial cinta'.
Dari 'serial cinta' lah gue belajar banyak tentang cinta. Bukan melulu cinta dari aspek psikologis seperti yang kerap ditulis oleh Ibnul Qayyim – walaupun sampai saat ini gue gak menemukan kajian cinta yang paling komphrehensif dan paling menarik selain yang ditulis Ibnul Qayyim – tapi cinta dalam konteks gerakan yang dibungkus dengan realita kehidupan.
Cinta ternyata dibutuhkan untuk membangun sebuah gerakan. Dan sebuah gerakan – yang terjadi karena adanya kesadaran bahwa realita kehidupan saat ini tidak ideal – tidak akan terjadi tanpa ada cinta dibaliknya. Terkesan seperti perluasan definisi memang, tapi begitulah realitanya.
Gerakan dakwah contohnya, terjadi karena adanya sesuatu yang tidak ideal dalam realita kehidupan, entah itu kemaksiatan yang masih merajalela, penyimpangan dalam agama, sampai pada keadaan bahwa kalimat Allah belum menjadi kalimat tertinggi. Dan gerakan dakwah tidak akan terjadi tanpa adanya kekuatan yang berada dibalik itu semua, yaitu kekuatan cinta kepada Allah, Rasulullah, dan berjihad di jalanNya.
Demikian juga dengan gerakan neo-Marxisme – atau gerakan serupa dengan basis mazhab Frankfurt. Gerakan ini terjadi karena realita dunia saat ini masih jauh dengan realita dunia yang mereka cita-citakan. Dunia yang masih timpang dalam hal distribusi kekayaan, masih adanya kelas-kelas sosial bahkan sampai pada tingkatan negara, dan kebijakan global yang lebih sering merugikan negara dunia ketiga, merupakan hal yang jauh dari cita-cita ideal mereka tentang tatanan dunia. Dan kecintaan mereka terhadap idealisme ini merupakan suplemen utama dalam pergerakan mereka di seluruh dunia.
Kapitalisme, Neo-Liberalisme, Postmodernisme, dan gerakan lainnya di duniapun memiliki pola yang sama, yaitu realita kehidupan yang tidak ideal, serta cinta yang menjadi motor penggerak itu semua. Lalu apakah yang membedakan itu semua?
Seperti sebuah pedang bermata dua, cinta juga tergantung pada orang dibaliknya, paradigma yang menggerakannya, dan cita-cita yang ditujunya. Jika cinta menjadi motor penggerak bagi orang-orang kafir, dengan paradigma kekafiran, dan tujuan hanya untuk dunia, maka sudah pasti pedang cinta tadi akan merusak tatanan dunia yang ada. Tapi jika cinta menjadi motor penggerak bagi para aktivis dakwah, dengan paradigma keimanan, dan tujuannya hanya Allah semata, maka sudah pasti cintanya akan senantiasa menjadi cahaya yang akan menerangi dunia yang semakin kelam ini.
0 komentar:
Posting Komentar