Senin, 08 Desember 2008

Persimpangan Niscaya

Persimpangan itu pasti ada, karena awal dari perubahan, maka ia niscaya. Tak bisa kita berdiri lama disana. Tak bisa, karena kita harus terus bergerak, karena diam itu mematikan. Dan kita pun terus berjalan.

Persimpangan itu niscaya. Karena itulah jalan yang benar menuju perbaikan. Karena jika tidak, kita akan terus menerus dihantui kemunafikan.

Persimpangan itu kini terlihat di depan mata. Bola panas pun bergulir di tangan kita. Kita harus mengopernya, jika tidak kita akan hangus dimakan bara.

Kemanakah kita akan pergi?
Kemanakah akan kita gulirkan bola ini?

Tangerang, 8 Desember 2008
22:49 WIB
Share:

Senin, 24 November 2008

Aku Ingin.. (electronic version)

Aku ingin menjadi lampu yang tak pernah berhenti menyala, memberikan cahaya, membukakan mata manusia dikala gelap menerpa.

Aku ingin menjadi televisi, yang senantiasa menyiarkan informasi, menjadi hiburan yang menyenangkan bagi penduduk bumi.

Aku ingin menjadi pompa air, yang menyerap sumber kehidupan, tanpa pernah berhenti mendistribusikan, air untuk hidup berkelangsungan.

Aku ingin menjadi kipas angin, yang tak pernah letih berputar, tak pernah bosan memberi manfaat, menyumbangkan angin segar untuk umat.

Aku ingin menjadi lebih berguna. Menyerap lebih banyak energi yang menghidupiku. Sehingga ketika nanti kami bertemu, aku dapat mempertanggung jawabkan setiap energi yang Ia titipkan..

Tangerang, 24 November 2008
16:15 WIB
Share:

Minggu, 23 November 2008

A New Quest

Subhanallah..

Ba'da magrib tadi saya berkunjung ke rumah teman. Tadinya hanya ingin mengambil motherboard pesanan, tapi apa yang kita rencanakan ternyata tidak selalu sesuai dengan kenyataan.

Ketika kami sedang asyik berbicara, tiba-tiba ayah teman saya keluar dan ikut terlibat dalam pembicaraan. Bahkan kemudian justru beliaulah yang lebih banyak bercerita. Dan untuk seorang ustadz senior menjelang kepala tujuh, beliau memiliki semangat yang luar biasa.

Beliau memiliki pandangan luas tentang dakwah dan kebangkitan islam. Pandangan luas dalam arti tidak membanggakan kelompoknya sendiri dan menutup diri dari ijtihad kelompok lain.

Beliau juga yakin bahwa kebangkitan islam tak akan terjadi jika kita enggan menggali sumbernya secara langsung, yaitu Al Quran. Dan dari sinilah quest itu bermula.

Setelah memaparkan panjang lebar tentang urgensi membaca dan mentadaburi Al Quran, beliaupun meminta kepada saya dengan nama Allah (as-aluka billah, footnote QS.4:1) sebuah permintaan yang tidak dapat saya tolak. Selain karena caranya (as-aluka billah), isi permintaannyapun akan merubah hidup saya menjadi jauh lebih baik. Sebuah permintaan yang berat namun amat saya syukuri karena memang inilah yang saya butuhkan saat ini. Dengan tekad mantap, saya akan laksanakan permintaan beliau sekuat tenaga saya.

Bismillah..

Tangerang, 23 November 2008
00:55 WIB

*merasa doa selama ini terjawab dengan cara yang unik*
Share:

Sabtu, 15 November 2008

I'm Blue and Black

I'm blue and black..
Blue in my heart, and black on the other side.

I'm blue and black..
Like a morning blue sky, and black in the night.

I'm blue and black..
Swimming in the blue sea, drawning in the black wave.

I'm blue and black..
But I stand up and still can fight... back.

Slipi, 15 November 2008
21:30 WIB
Share:

Jumat, 14 November 2008

Aku Tak Mencintaimu

Aku tak mencintaimu..
Tak memikirkanmu sepanjang waktu..
Tak juga mengukir namamu dalam hatiku.

Aku tak mencintaimu..
Tak ingin lekat menatap wajahmu..
Tak ingin menggemgam erat tanganmu..
Tak juga ingin lebih dari itu.

Aku tak mencintaimu..
Tak sekarang, tapi mungkin nanti suatu waktu..
Dalam ikatan itu.

Depok 14 November 2008
07:30 WIB
Share:

Kamis, 13 November 2008

Tidur.. Zz..zZ..Zz..

Tidur mengajarkan kita banyak hal.

Tentang kesunyian dan ketidakpastian.

Tentang mimpi dan harapan.

Juga tentag tempat kembali yang kan kita tempuh sendiri..

Selamat menikmati..

Depok, 13 November 2008
22:28 WIB
Share:

Rabu, 05 November 2008

Kumerindukanmu..

Kumerindukanmu..
Seperti gurun pasir merindu setitik air.

Kumerindukanmu..
Seperti bising merindu setitik sepi.

Kumerindukanmu..
Seperti rasa yang tak biasa.
Rasa yang terusik, tiba-tiba.
Kumerindukanmu..
Tanpa harap..
Hanya ingin kau bahagia.

Kuningan, 5 November 2008.
12:30 WIB.

*Tuk kenangan di air terjun Cangkuang*
Share:

Sabtu, 01 November 2008

Kembali Dari Pertapaan

Sang penjelajah telah kembali, dari pertapaan yang melelahkan hati..

Mencampakannya dalam kenyataan, namun memberi sejuta harapan..

Tenggelam ia kini menyusun mimpi, membuat strategi, hingga ia dapat terbang tinggi. Mensyukuri setiap nikmat yang Dianugerahkan Illahi..

Kebon Jeruk, 31 Oktober 2008
22:23 WIB

*OnTheWayHomeSweetHome*
Share:

Jumat, 31 Oktober 2008

Rindu..

Cinta.. Apa kabarmu?
Masihkah kau lembut seperti dulu? Membelaiku dalam pelukanmu. Mendampingi ketika kupilih jalan ini.

Cinta.. Aku disini disibukan dengan dunia. Mencoba mengumpulkan segenggam materi, agar kita dapat bersatu lagi.
Lalu apa kesibukanmu?

Cinta.. Aku rindu. Rindu memandang indah wajahmu. Rindu menelusuri lekuk tubuhmu. Rindu ketika kita bersatu dalam nafas yang memburu.
Apa kau juga rindu padaku?

Cinta.. Sejujurnya aku juga rindu pada Dia.
Pada Dia yang dahulu mempersatukan kita.
Pada Dia yang melatarbelakangi cintaku ini.
Pada Dia yang selalu kulihat bersamamu setiap saat.

Mungkinkah rindu karena kita sudah jarang bersatu?

Sukabumi 31 Oktober 2008.
01:26 WIB.

*MissTheAdventures*
Share:

Minggu, 26 Oktober 2008

Learn to Fly

"When ALLAH leads you to the edge of a cliff,, trust Him fully,, because only 1 of 2 things will happen:

Either He'll CATCH you when you fall,, or
He'll TEACH you how to fly.."

*YangSedangMencariSayapUntukBelajarTerbang*
Share:

Rabu, 22 Oktober 2008

Barisan Sakit Hati

Jika ada 100 orang yang dirugikan, maka salah satunya adalah aku..

Jika ada 10 orang yang disakiti, maka salah satunya adalah aku..

Jika ada 1 orang yang dikhianati, maka pasti itu aku..

Lalu apakah aku berbalik pergi, mencari kawan sepenanggungan, dan membentuk barisan sakit hati?

Apakah serta merta aku menjadi penentang, mencari rasionalisasi dan ayat-ayat rujukan?

Apakah setiap perbedaan harus menjadi lawan?

Tidak..

Jalan ini terlalu luas untuk dimonopoli satu golongan. Terlalu luas untuk diklaim sebagai milikku, milikmu. Jalan ini milikNya..

Kita semua bisa menempuhnya bersama, bersisian tanpa perlu bergandengan tangan. Walaupun berangkulan akan memberi kekuatan tambahan.

Tangerang, 9 Oktober 2008.
18:45 WIB.
Share:

Minggu, 19 Oktober 2008

keBERANIan

Saya senang membaca kisah para sahabat, apalagi jika menceritakan tentang keberanian mereka. Semangat saya selalu terbangkitkan, seakan saat itu juga, saya siap berperang, mengorbankan hidup saya, syahid, langsung menuju surga.

Saya tahu, dan sadar betul bahwa yang melandasi keberanian mereka bukan karena mereka bangsa yang gemar berperang. Bukan pula sifat bawaan. Tapi karena satu hal yang mereka miliki, yaitu iman.

Semakin besar iman yang mereka miliki, semakin besar keberanian mereka, semakin ringan pula langkah mereka menjawab panggilan perang. Lalu apakah keberanian yang dilandasi iman ini selalu dikaitkan dengan perang? Keberanian untuk mati di jalan Illahi?

Saya teringat kisah 3 orang sahabat yang tertinggal perang karena kelalaian. Kelalaian akibat turunnya iman. Jadilah mereka hidup dalam pengasingan. Hidup diantara para sahabat dan kekasih tercinta, tapi dianggap bagian dari orang-orang munafik nista.

Lalu, apakah ketiga orang ini melarikan diri? Menerima jaminan pihak lain yang akan memanjakan mereka? Tidak. Mereka bukanlah pengecut yang lari dari masalah yang menimpa mereka. Mereka tetap pemberani. Keberanian yang ditopang oleh iman. Iman yang membuat mereka berani menghadapi hidup. Sampai akhirnya Sang Pemberani Sejati Menghargai keberanian mereka. Menerima iman mereka. Memberikan mereka tempat kembali di sisi sang kekasih hati.

Cidahu, 19 Oktober 2008.
00:17 WIB.
*YangSedangMengumpulkanKeberanianUntukHidup*
Share:

Rabu, 15 Oktober 2008

Harapan Kerinduan

Kutitipkan salam pada bintang di langit malam.
Tentang kerinduan yang lama menggenang.
Yang kini membanjiri segenap relung hati.
Mengalirkan asa ke dasar jiwa.
Menerbangkan harapan..
Mencampakannya kembali pada tataran kenyataan.

Sukabumi, 15 Oktober 2008
22:52 WIB
Share:

Kamis, 09 Oktober 2008

Sisa Bumi Untuk Mereka

Bagaimana kami bisa melihat bintang, jika pandangan kami terhalang oleh tembok-tembok tinggi menjulang..

Bagaimana kami bisa menghirup udara segar, jika langit kami tercemar..

Bagaimana kami bisa menikmati hangatnya mentari, jika tak ada lagi jaminan perlindungan untuk kulit kami..

Bagaimana kami bisa berenang di sungai dan laut, jika ikan dan penghuni lainnya saja menjemput maut..

Dan bagaimana kami bisa melahirkan generasi penerus, jika sekarang bumi tak lagi terurus..

Akankah ada tempat nyaman yang tersisa untuk mereka?

Tangerang, 09 Oktober 2008.
04:57 WIB.
*LagiKangenNgliatBintang*
Share:

Kemana nurani pergi?

Aku mencarinya dari tadi.
Kucari ia di keramaian,tak kutemukan.
Kucari ia di penghujung malam,yang ada hanya sepi.
Kutanya sepi,dijawabnya dengan bahasa yang tak kumengerti.
Aku memang tak paham bahasa kesunyian.
Kembali ku ke keramaian,berharap ada yang memberi petunjuk,kemana nurani pergi.

"Sudah kau cari di tumpukan sampah disana?", tanya logika.
Akupun mengikuti saran logika,makhluk terpintar di alam raya.
Kuaduk-aduk tumpukan sampah penyesalan. Kuperiksa juga tumpukan sampah angan-angan. Sampai akhirnya kutemukan kesadaran tergeletak diantara mereka. Sejak kapan kesadaran menjadi sampah?

"Sejak kau acuhkan nurani", kata suara di dalam hati.
"Nurani,kaukah itu? Kupikir kau pergi?",tanyaku senang.
"Aku tak akan meninggalkanmu cinta. Aku ini cahaya. Tak akan padam, hanya meredup, sehingga kau tak dapat menemukanku. Lalu kenapa baru sekarang kau mencariku?", tanya nurani.
Aku tertunduk. Diam...
Menyesal kemudian.

Tangerang, 09 Oktober 2008.
00:13 WIB.
"..benar2 mnyesal kmudian.."
Share:

Sabtu, 04 Oktober 2008

Penjelajah..

Aku seorang penjelajah..
Tak lekang oleh ruang,tak lekang oleh waktu.
Tak lekang oleh rutinitas khidupan yang mbelenggu.

Aku seorang penjelajah..
Dalam tubuh dan jiwaku.
Dalam gerak dan langkahku,dalam keliaran pola pikirku.

Aku seorang penjelajah..
Meski kini ku harus menunggu.

Tangerang,4 okt 08,
00:03 wib
Share:

Kamis, 02 Oktober 2008

Fasilitas

Pernah aku brargumentasi dng diriku sndiri bhw produktivitas menulisku yg sedikit dsebabkn krn tdk memadainya fasilitas yg kupunya.Bnyk momentum2 inspiratif yg brlalu bgitu saja.Bnyak ide2 yg lewat tanpa 1 pun dapat kutangkap dan kuawetkan.Smuanya krn kurang memadainya fasilitas."Coba klo gw punya ini,coba klo gw punya itu..",begitu dalihku saat itu.

Pernah jg ada saat2 dimana aku berada dalam fasilitas yg lebih dari cukup untuk mengawetkan berjuta ide,menahan momentum inspiratif untuk mngalirkannya menjadi karya.Tapi yg tjadi justru sang momentum tak kunjung datang,n tak satupun ide2 itu trpancing.Saat itu aku menyalahkan sang waktu.Kenapa fasilitas itu datang di saat2 buntu.Kenapa ia brlalu di saat2 aku perlu dibantu.

Dan begitulah..
Sang waktu dan fasilitas menjadi kambing hitam untuk menutupi kemalasanku.Karena ternyata,momentum inspiratif dan ide2 tidak mengalir begitu saja.Butuh usaha untuk menghadirkannya..

Tangerang,4 Oktober 2008.
02:16 WIB.
Share:

Selasa, 01 Juli 2008

Pena Membisu

Pena itu berhenti bicara, karena pemiliknya dalam bencana...Bukan... Bukan fisiknya yang terluka. Tapi jiwanya meronta-ronta, ditarik dari 2 sisi berbeda.

Pena itu mengerti, bahwa apa yang dia ucapkan seharusnya menjadi pelajaran bagi dunia. Bukan omong kosong belaka. Dan dia tahu bahwa jiwa yang mendua, menghasilkan sia-sia.

Tapi pena itu tersenyum, karena dari musibah akan lahir hikmah. Akan tiba saat baginya memberi arti lagi pada semesta.

Tangerang, 1 Juli 2008

01:39 WIB

Share:

Kamis, 22 Mei 2008

Hidayah Patung Selamat Datang

“Subhanallah..Seumur hidup baru kali ini gw ngeliat orang masuk Islam. Pas orang itu syahadat gw tu kepengen nangis. Ada orang yang merengkuh hidayah di depan mata gw Man.” 

Itulah bunyi sms dari seorang saudariku ketika dia menyaksikan seseorang yang bersyahadat dan menyatakan diri sebagai seorang muslim. Saudariku terharu menyaksikan pemandangan indah yang jarang dilihatnya ini.

Kurasa memang sudah sepantasnya dia terharu, karena hidayah adalah sesuatu yang besar dan mengguncangkan hati, mengubah paradigma, berujung pada perbaikan perilaku. Hidayah juga merupakan bentuk mutlak dari Kehendak Allah, karena tidak ada seorangpun yang mampu memberikan hidayah, bahkan untuk seorang Muhammad sekalipun. Hingga Alan temanku, mengemukakan pendapatnya tentang hal ini, yang cukup membuatku terkejut. 

“Menurut gue nggak ada yang istimewa ketika menyaksikan orang bersyahadat masuk Islam Man.”, seperti biasa Alan membuka diskusi ini dengan sesuatu yang mengejutkan.

“Nggak ada yang istimewa bagaimana Lan? Menurut gue justru momen spesial banget niy, menyaksikan Kehendak Allah secara langsung dan nyata.” 

“Ya emang Kehendak Allah. Tapi khan segala sesuatu di dunia ini juga Kehendak Allah Man. Terus emang kalo orang itu udah masuk Islam akan menjamin dia bahagia selama-lamanya kayak di film-film. Enggak khan?”

Aku yang sudah tahu gelagat Alan jika ingin mengemukakan sesuatu, diam dan menunggu. Karena aku yakin pertanyaan tadi cuma retoris belaka. 

“Gini Man. Jika diibaratkan Islam itu sebagai kota Jakarta, maka orang yang baru mendapat hidayah dan masuk Islam itu seperti orang yang baru masuk kota Jakarta dan disambut oleh patung selamat datang. Menurut lo apa istimewanya coba, ngeliat imigran Jakarta?”

“…” 

“Yang istimewa buat gue justru ketika mereka telah turut andil dalam membangun Jakarta ini. Mereka tidak menambah jumlah populasi pencopet, perampok, penipu, dan penjahat lainnya di ibukota ini.”

“Begitu juga dalam Islam, Man. Banyak banget orang yang ngaku muslim, tapi kelakuannya jauh banget dengan jalan yang digariskan Allah. Mereka udah bersyahadat, tapi masih menuhankan uang dan kekuasaan. Mereka udah sholat, tapi tetap melakukan perbuatan keji dan kemungkaran. Mereka juga puasa, tapi tetep gak bisa nahan diri terhadap godaan dunia. Mereka-mereka itu orang yang udah dapet hidayah dari dulu Man. Bahkan kebanyakan Islam turunan. Terus menurut lo apa istimewanya orang yang baru masuk Islam?” 

“Potensi…”, aku menjawab ragu.

“Mereka juga berpotensi untuk menjadi penjahat muslim Man, menjadi seorang munafik. Inget ucapan seorang ulama gak yang berkata bahwa cahaya Islam saat ini ditutupi oleh para pemeluknya sendiri? Lagipula keimanan orang-orang yang baru mendapat hidayah juga belum kuat dan justru potensi untuk kehilangan hidayahnya lebih besar. Kembali merengkuh kekafiran. Terus menurut lo apa istimewanya orang yang baru masuk Islam?” 

Aku mengangkat bahu. Kupikir kali ini bukan pertanyaan retoris dari Alan sang orator.

“Nggak ada khan! Nggak ada yang istimewa dari orang yang baru memasuki pintu gerbang perjuangan. Nggak ada yang istimewa dari imigran yang disambut oleh patung selamat datang. Yang istimewa justru ngeliat orang-orang yang telah lama berjuang dan menghasilkan sesuatu untuk Islam ini. Merekalah orang-orang yang patut kita istimewakan. Perjuangan merekalah yang seharusnya membuat kita terharu Man!” 

Alan menarik nafas panjang. Semangat dan pemikirannya benar-benar membuatku tak bisa berkata apa-apa. Aku menanti kelanjutan pencerahannya.

“Tapi ada sesuatu yang istimewa yang pasti akan membuat lo terharu Man. Bahkan saudari lo itu pasti bakal nangis beneran.” 

“Apaan Lan?”, aku penasaran.

“Yaitu menyaksikan orang yang ber-‘syahadat’ ketika mereka menyempurnakan setengah agamanya. Gue yakin lo dan saudari lo pasti terharu. Apalagi kalau kalian mengalaminya sendiri” 

“Haha…dasar si Alan”

“…Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barangsiapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpinpun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.” (QS. 18:17) 

“Orang-orang Arab Badui itu berkata: "Kami telah beriman". Katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."”(QS. 49:14)

Tangerang, 21 Mei 2008
15:16 WIB
Inspired by ukhti yang sedang mudah terharu dan Temanku KhayAlan

Share:

Jerawat Azab

Pernah aku meyakini bahwa ke-Maha Adil-an Allah hanya berlaku di hari akhir nanti, tidak di muka bumi ini. Aku melihat begitu banyaknya kesewenang-wenangan. Aku melihat begitu banyak kezholiman. Aku melihat begitu banyak kejahatan. Tapi para pelakunya dapat hidup bebas, berjalan dengan sombong di muka bumi ini tanpa satupun hukum manusia yang bisa menjeratnya.

Tidak seperti umat manusia jaman dahulu yang langsung Diazab jika melakukan kedurhakaan, para pelaku kemaksiatan saat ini diberi penangguhan oleh Allah. Kejahatan mereka akan dicatat, diakumulasi, untuk kemudian diberi balasan di akhirat nanti. Itulah sebabnya aku meyakini bahwa Ke-Maha Adil-an hanya berlaku di hari akhir nanti. 

Sampai suatu hari datanglah Alan mengeluhkan jerawat di jidatnya, “Sialan Man, kayaknya gue kena azab gara-gara kebanyakan maksiat nih..”

“Kenapa emangnya Lan?” 

“Lo liat gak jidat gue?”

“Iya, makin lebar. Emang kenapa? Hehe…” 

“Kodok…Bukan itu. Nih ada beberapa jerawat di jidat gue.”

“Terus apa hubungannya ama azab dan maksiat?” 

“Ya, kayaknya ini azab dari Allah karena gue berbuat maksiat deh”

“Emang lo berbuat maksiat apa Lan?” 

“Ya lo gak perlu tahu dong.”

“Terus maksudnya azab?” 

“Ya azab. Siksaan Allah berupa dicabutnya kenikmatan dalam diri makhlukNya.”

Siingg… Hampir meledak tawaku. Sebuah hal yang tidak masuk akal untuk seorang Alan yang begitu sholeh tapi cuek akan penampilannya, bahwa jerawat di jidatnya dianggapnya sebuah azab, terlepas dari maksiat yang dilakukannya. Dan nampaknya Alan membaca keheranan dan tawa tertahanku. 

“Jangan ketawa lo Man. Gini deh, menurut lo kenikmatan apa yang lo miliki, yang jika Allah cabut maka lo akan sangat menyesal?”

“Kenikmatan iman” 

“Yee…kalo itu dicabut oleh Allah lo pasti gak akan menyesal lagi. Dan bukan azab, tapi jauh lebih buruk dari itu. Coba yang lain.”

“Kenikmatan belajar islam, ukhuwah, keluarga, kesehatan, ilmu, waktu luang, mendidik…” 

“Oke-oke. Kalau lo sebutin semua nikmat yang Allah berikan, kayaknya gak akan selesai-selesai. Maksud gue disini adalah kenikmatan beribadah.”

“…” 

“Lo pernah gak sih merasakan betapa nikmatnya sholat malam Man?”

“Yap. Tapi kayaknya akhir-akhir ini berkurang deh.” 

“Nah sama kayak gue. Tapi hal ini diperparah dengan jerawat yang ada di jidat gue. Sehingga kalau gue sujud kerasa sakit banget. Alih-alih khusyu dan nikmat, yang ada justru sakit dan ngegganggu konsentrasi sholat gue.”

Yap, percakapanku dengan Alan mengubah secara total paradigmaku tentang azab dan kenikmatan. Begitu juga kisah yang dituliskan Imam Ibnu Al-Jauziy dalam bukunya yang berjudul Shaidul Khathir.  Dikisahkan bahwa seorang pendeta Bani Israil berkata, “Wahai Tuhanku, betapa seringnya aku berbuat maksiat, namun mengapa tak kunjung datang azab-Mu menimpa diri ini?” Dikatakan kepadanya, “Betapa banyak azab-Ku menimpa dirimu, namun engkau tak tahu bahwa itulah azab-Ku. Tidakkah engkau merasa, telah Aku halangi dirimu untuk merasakan kenikmatan bermunajat kepada-Ku?”

Maksiat yang disusul dengan maksiat adalah siksaan atas maksiat itu sendiri. Kezholiman, kesewenang-wenangan, dan kejahatan yang dilakukan, bukan hanya menjauhkan para pelakunya dari kenikmatan bermunajat kepada Allah, melainkan juga akan membuat pelakunya melakukan bentuk kedurhakaan yang sama ataupun berbeda dengan intensitas yang lebih besar. Sebaliknya kebaikan yang berbuah kebaikan merupakan balasan atas kebaikan itu sendiri.

 “Dan janganlah sekali-kali orang-orang kafir menyangka, bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka. Sesungguhnya Kami memberi tangguh kepada mereka hanyalah supaya bertambah-tambah dosa mereka; dan bagi mereka azab yang menghinakan.” (QS. 3:178)



“Katakanlah: "Mungkin telah hampir datang kepadamu sebagian dari (azab) yang kamu minta (supaya) disegerakan itu” (QS. 27:72)

Tangerang, 21 Mei 2008
13:54 WIB
Inspired by Imam Ibnu Al Jauziy and Teman KhayAlanku

Share:

Kamis, 15 Mei 2008

Berobat Jalan

“Man tungguin gue ya, waktunya gue ngobat dulu niy…”, Alan temanku memintaku menunggunya.
“Emang lo sakit apa Lan? Setahu gue lo sehat banget.”, kataku.
“Komplikasi Man.”
“Komplikasi apaan?”
“Banyak deh. Ntar aja gue ceritanya.”, Alan mengakhiri pembicaraan begitu saja.

Kuperhatikan Alan dengan seksama. Dia mengambil duduk di salah satu pojokan masjid tempat kami baru saja menunaikan sholat dzuhur. Dia mengeluarkan sebotol air minum dan meminumnya. Kemudian diluar dugaanku, bukannya meminum obat, dia malah mengeluarkan Al Quran dan membacanya dengan khusyuk.

Aku menduga bahwa dia akan meminum obat setelah dia menyelesaikan targetan bacaan Al qurannya. Tapi setelah kutunggu hingga ia selesai membaca Al Quran, ia tidak juga meminum obat seperti yang ia bilang sebelumnya. Malah mengajakku langsung pergi dari masjid ini.

“Katanya minum obat Lan?”, Kataku memulai pembicaraan.
“Iya udah kok tadi.”, Jawab Alan singkat.
“Kapan? Dari tadi gue perhatiin lo gak minum obat apapun. Atau jangan-jangan air di botol tadi obat yang lo maksud ya?”
“Oh ini air biasa kok.”
“Terus?”
“Terus kenapa?”
“Kapan lo minum obatnya?”
“Tadi khan udah. Nih obatnya.”, Alan menunjukkan Al Quran yang tadi ia baca.

Seperti membaca ekspresi keherananku, Alan menjelaskan apa yang tadi dia lakukan, “Man, gue tuh punya penyakit yang kompleks banget. Komplikasi yang susah untuk disembuhkan satu persatu. Mungkin akibat dari masa lalu gue yang suram, ditambah dengan stimulus lingkungan yang sekarang kita tempati. Penyakit-penyakit ini kalau tidak segera ditangani bisa semakin berbahaya buat diri gue saat ini.”

Lagi-lagi ia masih membaca ekspresi tidak puas dari mukaku, kemudian melanjutkan penjelasannya, “Man lo tau buku tentang penelitian orang Jepang berkaitan dengan air yang mengikuti kata-kata gak?”

Aku menganggukkan kepala.

“Di buku itu dijelaskan bahwa kristal air akan menjadi indah dan terlihat bagus jika disekitar air itu ditempelkan atau diperdengarkan kata-kata indah juga. Sebaliknya, jika kata-kata jelek yang diberikan, maka air juga akan menjadi jelek.”

“Nah menurut lo air apa yang sangat mempengaruhi kehidupan seorang manusia?”, Alan bertanya.
“Mmm…Air di lautan?”, kataku sedikit ngasal.
“Salah. Yang paling mempengaruhi manusia adalah air di dalam tubuhnya.”, jawab Alan.

Lagi-lagi Alan dapat membaca ekspresi keherananku, “Begini Man. Manusia itu 2/3 tubuhnya terdiri dari air. Nah tentunya air di tubuh manusia itu gak jauh berbeda dengan air yang diteliti orang Jepang itu bukan? Air di tubuh manusia juga sangat tergantung dengan stimulus yang didapatkan dari lingkungan. Jika stimulusnya berupa kata-kata jelek, kasar, dan hal negatif lainnya, maka besar kemungkinan air di tubuh manusia tersebut menjadi jelek, kasar, dan negatif. Begitu juga sebaliknya.”

“Nah air tersebut pastinya akan mempengaruhi manusia yang dihuninya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Jika air dalam manusia itu bermuatan hal-hal negatif, tentunya akan mempengaruhi manusia tersebut dengan hal-hal negatif. Begitu juga sebaliknya.”

“Nah sekarang gue mau nanya lagi, menurut lo kata-kata apa yang paling bagus yang juga paling bisa mempengaruhi secara positif zat air?”, Alan bertanya lagi.

Aku menggelengkan kepala karena menurutku itu hanya pertanyaan retoris.

“Jawabannya jelas. Kata-kata yang diucapkan langsung oleh Sang Pencipta Semesta.”, kata Alan dengan yakin.

Aku terdiam sebentar, berpikir, dan akhirnya menyetujui ide briliannya tersebut.

“Nah sekarang coba lo bayangin, jika kata-kata yang paling bagus dan juga paling bisa memperngaruhi secara positif zat air itu diucapkan atau diperdengarkan di kumpulan zat air yang paling bisa mempengaruhi kita, yaitu 2/3 zat air di tubuh kita ini, tentunya akan luar biasa efeknya bagi kita. Suka atau tidak suka, tubuh kita akan bereaksi positif terhadap kata-kata Sang Pencipta Semesta. Dan jika kita memiliki keyakinan terhadapNya, tentu saja ini bisa menjadi semacam obat mujarab yang luar biasa.”, berapi-api Alan mengatakannya.

Seperti ada ribuan lampu yang menyala di kepalaku. Menyuntikkan ide baru bahwa sebenarnya saat ini yang paling butuh untuk berobat adalah aku.

Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Rabbmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang beriman. (QS. 10:57)

Tangerang, 15 Mei 2008
09:54 WIB
inspired by temanku Khayalan

Share:

Rabu, 07 Mei 2008

Kepekaan Nurani

Pernahkah anda datang ke suatu tempat yang berbau tidak sedap? Tempat Pembuangan Akhir, perumahan di pinggir kali yang berpolusi, jalan yang penuh dengan asap. Pada awalnya mungkin bau-bauan itu sangat mengganggu kita, tapi cobalah bertahan untuk beberapa lama dan abaikan, maka lama kelamaan bau-bauan itupun tidak akan mengganggu kita lagi seperti sebelumnya.

Lalu pernahkan anda datang ke suatu tempat yang sangat bising? Pinggiran rel kereta pada jam padat, pinggiran jalan raya, lokasi di pinggir pabrik. Pada awalnya mungkin suara bising itu sangat mengganggu kita, tapi cobalah bertahan untuk beberapa lama dan abaikan suara bising tersebut, maka lama-kelamaan suara bising itupun tidak akan mengganggu kita lagi seperti sebelumnya.

Atau pernahkah anda ke tempat yang dingin? Tempat panas? Tempat apapun yang mengganggu panca indera kita. Pada awalnya mungkin bau, bising, dingin, panas, dsb itu sangat mengganggu kita, tapi lama-kelamaan semua gangguan panca indera tersebut tidak lagi mengganggu seperti sebelumnya. Hal tersebut disebabkan karena sebagai manusia kita dilengkapi oleh suatu mekanisme pertahanan diri yang bernama adaptasi.

Tanpa adaptasi, mungkin kita akan musnah di tengah perubahan iklim yang semakin terasa panas saat ini. Tanpa adaptasi kita mungkin akan terus menerus hidup di bawah tekanan (stress) menghadapi polusi, bising, bau, dan segala hal yang mengganggu panca indera kita. Tanpa adaptasi, kita tidak akan bisa hidup nyaman.

Adaptasi yang kita lakukan ternyata tidak hanya dilakukan oleh tubuh kita. Adaptasi juga dilakukan oleh pikiran dan perasaan kita. Di tataran kognitif (pikiran), adaptasi kerapkali kita lakukan jika kita dihadapkan pada informasi yang saling bertentangan. Jika informasi baru yang kita dapatkan tidak sesuai dengan informasi lama yang tersimpan dalam memori kita, maka otak kita akan melakukan adaptasi atau penyesuaian informasi. Adaptasi ini bisa berupa menghapus memori lama, menolak memori (berupa informasi) baru karena tidak sesuai dengan memori (informasi) lama, ataupun melakukan penyesuaian terhadap kedua informasi (memori lama dan memori baru) tersebut, sehingga pertentangan yang ada dapat dihilangkan.

Dalam tataran afektif (perasaan), manusia beradaptasi dengan segala macam perasaan yang setiap saat dapat berubah. Bahkan perubahan di tataran afektif ini jauh lebih tak menentu dibandingkan perubahan di tataran fisik maupun kognitif. Tak heran jika diperlukan mekanisme adaptasi yang jauh lebih canggih dibandingkan adaptasi di tataran lain.

Sebagai contoh, mungkin ada diantara kita yang pernah mengalami kesedihan dan kegembiraan sekaligus dalam suatu waktu. Kedua perasaan ini dapat kita rasakan tanpa harus mengalami kebingungan ataupun informasi rasa yang tercampur. Di satu sisi kita merasa sedih, tetapi di sisi lain kita juga tetap merasakan kegembiraan.

Tetapi ternyata adaptasi juga memiliki sisi lain yang harus kita waspadai. Adaptasi akan mengurangi tingkat kepekaan kita terhadap stilmulus yang kita adaptasi. Dalam tataran fisik, jika kita terus menerus dihadapkan pada stimulus bau-bauan tak sedap, maka lama-kelamaan kepekaan kita terhadap bau-bauan akan berkurang. Jika kita terus-menerus dihadapkan pada stimulus bising maka bukan tidak mungkin jika lama-kelamaan kita mengalami gangguan pendengaran. Berkurangnya tingkat kepekaan di tataran kognitif dan afektif juga hampir sama, dengan akibat yang jauh lebih berbahaya.

Yap, sangat berbahaya karena pada tataran kognitif dan afektiflah seorang manusia menjalani kehidupannya sebagai manusia, makhluk yang lebih baik dari binatang dan tumbuhan yang hanya hidup pada tataran fisik. Sehingga di tataran kognitif dan afektif inilah seorang manusia menentukan kualitas dirinya, apakah lebih baik dari binatang dan tumbuhan, ataukah jauh lebih sesat dari binatang ternak.

Manusia dilahirkan dalam keadaan suci, fitrahnya adalah kebaikan. Tetapi seorang manusia yang mendapat asupan berupa pikiran dan perasaan negatif, lama kelamaan akan beradaptasi dengan hal-hal negatif tersebut. Tak heran jika kemudian manusia yang dilahirkan suci yang berada di lingkungan jahat akan menjadi jahat pula.

Tetapi bahkan seseorang yang mendapat pendidikan kebaikan yang rutin dalam hidupnya, sibuk dalam mengajak kepada kebaikan dan melarang kepada kejahatan, dapat terjebak dalam perangkap adaptasi ini. Pikiran dan perasaannya yang bersih, jika setiap hari dibombardir oleh informasi negatif yang ia dapatkan dari lingkungan, televisi, koran, dan media lainnya, lama kelamaan akan terkotori.

Mungkin pada awalnya ia menganggap informasi-informasi negatif tersebut adalah sebuah kenyataan, sebuah realita kehidupan. Kemudian ia menganggap hal tersebut sebagai sebuah kewajaran dalam konteks tertentu. Lalu ia akan memperluas konteks ruang dan waktu, sehingga hal negatif yang walaupun pada satu sisi masih dihindarinya, tetapi pada sisi lain ia menganggapnya wajar terjadi pada orang lain. Setelah itu jika ia juga terjebak dalam konteks ruang dan waktu yang memungkinkannya untuk melakukan hal negatif tersebut, maka iapun melakukannya dengan 1001 macam alasan dan pembenaran, entah alasan darurat, alasan jaman yang menuntut perubahan, alasan modernisasi, dan sebagainya.

Setelah itu dapat ditebak. Orang yang melakukan hal-hal yang bertentangan dengan prinsipnya, akan melakukan perubahan pada prinsip awal yang ia pegang, baik ia sadari maupun tidak. Hal ini disebabkan karena kepekaannya terhadap hal-hal kecil yang bertentangan dengan prinsipnya, menjadi berkurang. Jika ini terjadi terus menerus bukan tidak mungkin jika lama kelamaan ia akan mengalami gangguan pada “alat indera” prinsipnya.

 

“Mereka tuli, bisu dan buta, maka tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar).” (QS. 2:18)

 

“Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada.” (QS. 22:46)

 

Tangerang, 6 Mei 2008

07:41 WIB

Share:

Jumat, 25 April 2008

Terlambat Merasa

Telat mikir (telmi) atau lemot adalah suatu fenomena yang sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari. Kita bahkan dapat dengan mudah menunjuk orang-orang dalam kehidupan kita sebagai contoh dari orang telmi atau lemot tersebut. Sahabat, saudara, atau teman, yang terkadang menjadi bahan ceng-an (ledekan). Tentu saja telmi yang saya maksudkan berada dalam tataran kognitif dari kehidupan manusia.

Orang telmi biasanya memproses informasi lebih lambat dari orang lain di sekitarnya, entah karena faktor persepsi (mispersepsi, gangguan pendengaran, dsb), faktor familiaritas (tidak familiar dengan hal yang menjadi bahan pembicaraan), maupun faktor IQ (he3). Yang jelas telmi disini sangat subjektif dan sangat terkait dengan konteks ruang dan waktu. Bisa saja seorang yang dianggap telmi di lingkungan persaudaraannya kini menjadi peneliti di LIPI. He3…

Saya percaya bahwa manusia merupakan makhluk multidimensi. Tidak hanya makhluk biologis maupun makhluk yang berpikir, manusia juga makhluk yang merasa. Berkaitan dengan telmi ini saya jadi bertanya-tanya, adakah fenomena telmi didalam dimensi lain manusia.

Dalam dimensi biologis, telmi disini mungkin berkaitan dengan refleks tubuh manusia. Orang yang telmi dalam dimensi biologis mungkin mengalami gangguan pada syaraf dan otot sehingga jika kita pukul lutut kakinya, maka kakinya tidak otomatis menendang. Atau jika kita kagetkan, ia tidak otomatis menampar kita. Yap, tampaknya saya juga mengenal orang-orang dengan telmi biologis, bagaimana dengan anda?

Sedangkan dalam dimensi rasa, telmi disini jelas berkaitan dengan perasaan yang dipersepsikan dan dialaminya. Ia adalah orang yang baru menyadari rasa yang diterimanya padahal orang yang memberikan rasa itu (mungkin) sudah tidak memiliki rasa tersebut. Ia baru menyadari bahwa ia pun memiliki rasa yang sama. Akhirnya ia merasa bahwa semuanya sudah terlambat. Dalam hal ini, saya kenal betul dengan orang seperti ini…

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.” (QS. 19:96)

Tangerang, 23 April 2008
23:10 WIB
Share:

Kamis, 17 April 2008

Sudahkah Anda Membuat Sejarah Hari Ini?

Mohammad Fauzhil Adhim dalam bukunya berjudul Inspiring Words for Writers mengemukakan fakta yang cukup mengejutkan. Fakta yang membuat saya merenung. Fakta bahwa ternyata seorang penulis Yahudi bernama Theodore Herzl mampu menginspirasi jutaan orang Yahudi. Dengan 2 buah bukunya yang berjudul Der Judenstaat (The Jewish State) dan karya fiksi berjudul Altneuland (Old New Land), ia mampu menggerakan bangsa Yahudi untuk mendirikan sebuah negara. Negara yang bisa menjadi negara induk bagi jutaan orang Yahudi yang saat itu terpencar di seluruh penjuru dunia. Negara Israel.

Fakta ini mengejutkan saya karena ternyata seorang penulis mampu membuat perubahan dengan tulisannya. Menggerakkan jutaan, bahkan miliaran orang untuk mencapai satu tujuan. Menginspirasikan perang, pembunuhan, pembantaian, juga kedamaian dan kemaslahatan. Penulis dengan ide briliannya mampu melakukan itu semua, mengubah sejarah dan peradaban.

Lalu apakah hanya penulis yang memiliki ide brilian yang mampu mengubah sejarah dan peradaban? Tentu saja tidak. Dalam hal ini saya pernah membaca tentang penelitian yang menyebutkan bahwa setiap orang dalam setiap harinya rata-rata memiliki 20 ide baru. Ide-ide yang tentu saja berpotensi untuk menjadi ide brilian. Hanya saja kebanyakan dari kita cenderung untuk membiarkan saja ide itu lewat, tanpa meninggalkan jejak, dan akhirnya terlupakan. Padahal bisa jadi ide yang terlupakan itu merupakan ide yang mampu mengubah sejarah dan perabadan.

Dengan dalih bahwa mereka tidak bisa menulis, kebanyakan orang menyia-nyiakan percikan ide yang terlintas di kepalanya. Padahal keterampilan menulis adalah sesuatu yang bisa dipelajari, dan ide-ide yang terbuang sia-sia itu seperti waktu dalam hidup yang tidak bisa diulangi. Dan kita semua tahu bahwa waktu lebih berharga dari pada uang.

Lalu apakah hanya dengan ide brilian kita mampu mengubah sejarah dan peradaban? Jawabannya tentu saja tidak. Dalam hal ini, ijinkan saya mengutip pendapat Abdullah Azzam: "Sejarah Islam ditulis dengan hitamnya tinta ulama dan merah darahnya para syuhada."

Untuk mengubah sejarah dan peradaban kita tentu saja memerlukan tim teknis pelaksana ide-ide brilian. Para syuhada yang rela dan memiliki kemampuan untuk mengorbankan harta dan jiwanya untuk mewujudkan ide para ulama. Prajurit Illahi yang taat dan patuh melaksanakan kebijakan yang telah digariskan pimpinannya. Sekrup-sekrup mesin penggerak sejarah. Batu bata peradaban.

Entah kita berperan sebagai seorang ulama dengan ide-ide brilian kita, ataupun kita berperan sebagai seorang syuhada, yang pasti jika nama kita ingin tertulis dalam sejarah, kita harus bergerak dan berkontribusi. Jika kita ingin roda sejarah dan peradaban berputar sesuai dengan apa yang kita yakini, maka kita tidak boleh diam saja.

"…Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri…" (QS.13:11)

Lalu, sudahkah anda membuat sejarah hari ini?

Tangerang, 11 April 2008

15:47 WIB

Share:

Putri Kodok

Tau cerita pangeran kodok khan? Cerita tentang seorang putri yang mencium seekor kodok, dan kodok itupun berubah menjadi pangeran yang ternyata selama ini dicari-cari sang putri.

Nah, entah kenapa ketika gue ngeliat ada kodok di kamar mandi gue, gue ngerasa berada dalam situasi cerita pangeran kodok tersebut. Gue ngebayangin kalo gue nyium kodok tersebut, maka kodok tersebut akan berubah menjadi seorang putri cantik, yang selama ini gue cari-cari.

Tapi ada dua hal yang membuat gue tidak mencium kodok tersebut. Pertama, walaupun gue suka kodok, tapi gak sesuka itu untuk menciumnya. Kedua, yang menurut gue jauh lebih penting adalah bahwa kodok itu khan bukan mukhrim gue. Hehe…

Tangerang, 15 April 2008

22:00 WIB

Share:

Kamis, 10 April 2008

Tebak2an: SBY dan Gus Dur

Iman:
"Tebak-tebakan: Terkait dengan teguran SBY pada peserta seminar LEMHANAS yang tertidur. Apa perbedaan SBY dan Gus Dur?"
Jawaban (diurutkan berdasarkan siapa duluan yang menjawab):

Inka:
"Halah! Gitu aja kok repot. Kalo SBY negor, kalo Gus Dur gak negor secara dia juga tidur! Hehe"

Nichan:
"Nyerah...
Hehe. Nggak gigih banget ya.."

Emma:
"Tebak2annya ketinggian buat gw. Gw gak tau jawabannya."

Sofyarie:
"Kalo SBY marah kalo ada orang tidur sama pidatonya, kalo Gus Dur marah kalo ada yang bilang dia gak bisa tidur sambil pidato.."

Dayat:
"SBY enak bisa marah ma peserta yang tidur, tapi Gus Dur gak bisa marah, lha wong dia sendiri tidur, whaha..gak penting lu man."

Dian Akbar:
"Satu komentar gw: lo makin aneh man, ngirim-ngirim tebakan yang gak jelas. Udah daripada ngerjain yang aneh-aneh, kita naik gunung yuk, gw ngebet banget neh."

Witri:
"As. Maafkan segala khilaf yang telah witri perbuat dan mohon doanya semoga dilancarkan dan dimudahkan untuk presentasi Mapres 9-10 April besok. Jzk"

Devi:
"Gak ketemu-ketemu jawabannya ni,. =<"

Lintang:
"Sungguh Allah Memberi amanah kepada manusia untuk menjadi khalifah bukan hanya karena mereka pongah.. Tapi karena Allah Tahu bahwa mereka memang mampuj..! Just believe yourself! Shabahulkhair?"

Syifa:
"Kok kak iman tiba2 tanya beda Gus Dur n SBY? Kenapa gak SBY n Megawati? He3...
Respon SBY: Sebaiknya sebagai individu yang punya kredibilitas dapat menunda waktu tidurnya untuk kepentingan berbangsa dan negara. Gus DUr: Yah, namanya manusia wajar kalo ngantuk. Tinggal dibangunin. Gitu aja kok repot."

Yanti:
"Jawabannya kak, mungkin Gus Dur ikutan tidur. Hayah. Gak ngerti ah kak"

Jawaban yang lain masih ditunggu loh...
Jawaban diatas mencerminkan kepribadian orang yang menjawab. Hehehe... (kalo kata anak kampus sekarang: Lebay)

 

Share:

Rabu, 02 April 2008

A Sparkling Pearl in The Deep Blue Sea

Jika hidup penuh riak dan gelombang, walau terkadang tenang,
maka hidup adalah sebuah pelayaran.
Dan kita semua sedang mengarungi samudera kehidupan.

Jika pasir dan kerikil terserak begitu saja di pinggir pantai,
maka mutiara, terpendam di lautan dalam.
Butuh usaha dan pengorbanan lebih untuk mendapatkannya.

Maka suatu hari, sebutir mutiara mulai merasa sepi,
mulai merindukan pejuang sejati yang akan berusaha dan berkorban untuk mendapatkannya.
Tapi mutiara itu ragu.
Ia meragukan kesiapan para pejuang yang selama ini berusaha mendapatkannya.
Ia takut disia-siakan. Ia takut disimpan dalam lemari besi.

Hingga datanglah nelayan yang bijaksana.
Ia membuka perspektif sang mutiara tentang mutiara sejati.
“Mutiara sejati adalah mutiara yang yang selalu bersinar dimanapun ia berada, entah di lautan dalam, ataupun dalam lemari besi”, Kata sang nelayan.
“Mutiara sejati, itulah yang selama ini aku cari. Walaupun untuk saat ini, aku masih mencarinya di dasar hati”, kata sang nelayan lagi, kali ini dalam hati.

Jika hidup penuh riak dan gelombang, walau terkadang tenang,
maka hidup adalah sebuah pelayaran.
Dan kita semua sedang mengarungi samudera kehidupan.

Maka, sang mutiara di samudera kehidupannya berdoa,
“I wish I can be that sparkling pearl, which can share it’s beauty to others wherever I am..”
“And I wish you can find and get your pearl too.”

Tangerang, 1 April 2008
12:57 WIB
“Teruntuk mutiara di lautan susu "
Share:

Rabu, 26 Maret 2008

Putri Rosulullah

Memperkenalkan diri adalah hal yang biasa. Tapi menjadi sesuatu yang luar biasa jika perkenalan yang dilakukan oleh seseorang menyisipkan nilai pendidikan di dalamnya. Jika dari sesuatu yang sederhana seperti ini orang tersebut mampu “mendidik” atau setidaknya memberi pengetahuan yang baru, apalagi dalam hal lainnya yang lebih kompleks.

Saya menyadari hal ini ketika saya dan beberapa orang teman menjadi fasilitator di sebuah tempat bernama Situ Gintung. Dalam sebuah sesi perkenalan, seluruh fasilitator dan mentor memperkenalkan diri. Tidak ada yang istimewa sampai salah seorang mentor memperkenalkan diri dengan cara yang unik. Beliau terlebih dahulu menanyakan kepada peserta nama salah seorang putri kesayangan Rosulullah. Kemudian beliau menyebutkan nama beliau yang juga merupakan jawaban dari pertanyaan itu.

Terlepas dari niat, yang merupakan hak Allah untuk Menilai, saya merasa seperti diberikan penyadaran bahwa dalam hal-hal sederhana pun kita bisa menyisipkan “misi” di dalamnya. Proses “pendidikan” tidak harus dilakukan dalam forum yang serius, dengan silabus materi yang terstandardisasi. Cukup perkenalkan nama anda, dan sisipkan “misi” yang ingin anda sampaikan, sebagaimana yang telah dilakukan oleh “putri Rosulullah” tersebut.

Tangerang, 23 Maret 2008
13:41 WIB
Share:

Selasa, 11 Maret 2008

Penyamaran Intelijen

Pernah nonton film tentang penyamaran intelijen? Film tentang seseorang (si A) yang menyamar menjadi orang lain (si B), lalu menggunakan identitas orang tersebut untuk mengorek informasi dari orang-orang yang mengira bahwa si A adalah si B. Well, dalam dunia digital sekarang ini hal tersebut mudah saja dilakukan dan dapat dengan mudah terjadi.

 

Para intelijen saat ini tidak harus mengubah wajahnya, mengubah gaya bicaranya, ataupun meniru gestur sesuai dengan orang yang ingin ditirunya. Para intelijen cukup mencaritahu account (entah account email, FS, YM, Multiply, dsb) orang yang ingin ditirunya, mendapatkan password account tersebut, lalu login dengan identitas barunya.

 

Selanjutnya dapat diprediksi. Intelijen yang cerdas akan dengan mudah mengorek informasi dari “korban” yang tidak tahu bahwa si B ternyata adalah si A. Informasi yang keakuratannya sebenarnya perlu dikonformasi lagi karena bisa jadi antara si B dan si “korban” memiliki “bahasa pribadi”, budaya interaksi yang hanya dapat dipahami oleh mereka berdua.

 

Yang menyebalkan adalah hal ini akhirnya gue alami beberapa hari lalu. Pengen tahu gue jadi siapa? Salah, gue bukan jadi si A karena gue gak cukup pintar untuk nge-crack account orang. Gue juga bukan jadi si B yang terlalu bodoh (atau lugu?) untuk memberitahu passwordnya kepada orang lain, entah disengaja (seperti meminjamkan accountnya) ataupun tidak (seperti membuat password yang mudah ditebak misalnya). Yap, gue jadi “korban” yang terlambat untuk menyadari bahwa yang gue hadapi saat itu bukan saudara gue si B, melainkan saudari sepersusuan kami si A. Huuh…dasar gak sopan...

 

Tangerang, 11 Maret 2008

00:11 WIB

Share:

Kisah Pujangga dan Rembulan (bagian kedua)

Bukan Pujangga namanya jika menyerah dengan mudah begitu saja. Surat penolakan itu tak menyurutkan sang Pujangga untuk memiliki keindahan sang Rembulan. Dan sebagai orang yang cukup paham dengan ilmu perang, langkah pertama yang dilakukan Pujangga tentu saja mempelajari lebih dalam mengenai pujaan hatinya, sebagaimana strategi perang nomor satu: “pelajari musuhmu.”

 

Sebulan kemudian Pujangga mendapat laporan dari Tsabit, sahabat yang ia tugaskan untuk mencari informasi tentang Rembulan. Surat itu berbunyi:

“Pujangga, tugas telah kulaksanakan… Walaupun tidak mampu menggambarkan secara utuh, tapi informasi yang kudapat menunjukkan hasil yang luar biasa…

 

Rembulan adalah orang yang sangat taat menjalankan agama. Bukan hanya ibadahnya, tapi seluruh aspek kehidupannya menunjukkan hal tersebut. Ia bersikap baik dan ramah terhadap semua orang, pada anak kecil, orang tua, bahkan tumbuhan dan hewan. Gaya bicaranya lemah lembut, tapi tetap menunjukkan ketegasan. Gaya jalannya cepat, seakan ia turun dari ketinggian. Jika tertawa, jarang sekali giginya terlihat. Jika berbicara denganku, entah kenapa ia selalu menunduk.

 

Rembulan berteman dengan siapa saja. Ia disukai oleh hampir semua orang, terutama tetangga dan orang-orang yang setiap hari berinteraksi dengannya. Tapi ada lima orang teman dekatnya yang mirip dengan Rembulan. Gaya berpakaian mereka sama. Kelakuannya juga serupa. Dan setiap minggu mereka pasti berkumpul bersama, entah untuk apa.

 

Pujangga… Maaf, tapi tugas pengamatan ini membuat aku mengerti kenapa kau menyukai Rembulan. Dan cuma orang yang merasakan hal yang samalah yang mengerti hal tersebut… Sekali lagi maaf…”

 

Dan entah kenapa setelah membaca surat ini Pujangga merasa ada sesuatu menusuk punggungnya. Tugas ini memang berat, dapat menjadikan seorang kawan menjadi saingan.

 

Tapi ia mengerti satu hal, karenanya ia mengirim sms kepada Ikhwan, temannya satu kampus. Sms itu berbunyi:

“Aslm.Wan,sy bsdia ikut pngajian mgguan itu.Kpn n dmn?Rep asap.”

 

Tak lama ia menerima sms balasan dari Ikhwan. Sms itu berbunyi:

“Alaikum salam wR.Alhmdlillah.Klo bgitu nnti qta kumpul di MUI.Rabu ini jm 4sore.Nt gk da kul khan?”

 

Pujangga pun menjawab”

“Gk ada.Ok,sy usahakn datang tepat waktu”

 

Sebulan berlalu. Dan pada suatu waktu Pujangga mendapat sms yang cukup mengejutkan dari temannya. Sms itu berbunyi:

“Ga, lo kok brubah?”

 

Ia membalas:

“Brubah gmn?”

 

“Tiap sbtu mlm lo mhilang,gk hngout brg qta lg.Lo jg jd aneh.Lo skrg kmn2 jrng pke kaos lg,jaket mulu.Lo miara jenggot.Lo…pokonya bnyk bgt d”

 

“Wajar khan klo mnsia brubah?”

 

“Ya,tp prubahn lo tuh gk wajar Ga.Yasud,tnyt lo lbih parah dr yg gw duga”

 

Yap. Pujangga memang merasa ada perubahan pada dirinya. Tapi ada sesuatu yang tidak berubah dalam diri Pujangga, yaitu keinginan untuk memiliki Rembulan. Oleh sebab itu, ia kini rutin mengirim sms tausiyah kepada Rembulan. Dan puncaknya ialah sms yang berbunyi:

“Ya Allah,jk ku jatuh cinta,cintaknlh aku pd seseorg yg mlabuhkn cintanya pdMu,agar btambah kkuatanku u/ mcintaiMu.Ya Allah,jk ku jatuh hati,izinkanlh aku mnyntuh hati seseorg yg hatinya tpaut pdMu,agar tdk tjatuh aku dlm jurang cinta semu.Ana uhibbuki fillah ya ukhti!”

 

Dengan berdebar, sang Pujangga menunggu sms balasan. Tapi sms balasan tak kunjung tiba. Hingga beberapa hari kemudian ia menerima surat dari Rembulan. Surat itu berbunyi:

 

“Assalaamu ‘alaikum wR. wB.

 

Akh Pujangga yang Dirahmati Allah,

 

Sebenarnya ingin sekali Ulan membalas pernyataan cinta itu sesuai dengan sunnah Rasul, yaitu dengan mengirim sms seperti ini “Semoga Allah yang telah menjadikan kau mencintaiku karenaNya, mencintaimu pula” (HR. Abu Dawud, red). Tapi Ulan ragu apakah cinta akhi benar-benar karena Allah. Mungkin hanya Allah dan akhi yang tahu pasti.

 

Yang Ulan tahu pasti bahwa cara yang akhi tempuh ini tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang selama ini Ulan pegang. Karena untuk mendapat hasil yang baik, maka proses menuju kesananyapun harus baik. Bahkan Ulan ragu, apa sebenarnya tujuan akhi mengirim sms ini. Bagaimanapun terima kasih untuk semua sms tausiyah yang selama ini akhi kirim. Semoga Allah membalas semua itu dengan kebaikan.

 

Sebagai balasannya, ijinkan Ulan untuk mengingatkan akhi pada hadits berikut ini:

“Sesungguhnya amal perbuatan itu disertai niat dan setiap orang mendapat balasan amal sesuai dengan niatnya. Barangsiapa berhijrah hanya karena Allah dan RasulNya, maka hijrahnya itu menuju Allah dan RasulNya. Barangsiapa hijrahnya karena dunia yang ia harapkan, atau karena wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya itu menuju yang ia inginkan” (HR. Bukhari dan Muslim)

 

Jlepp… Tusukan kali ini tepat menghantan ulu hatinya, di jantung, dan bagian terdalam dari otaknya. Sakit. Teramat sakit. Tapi juga memberikan penyadaran tentang segala hal yang selama ini terjadi. Lalu secara sadar pula ia menitikkan air mata bahagia… J

Tangerang, 11 Maret 2008

15:58 WIB

Share:

Senin, 10 Maret 2008

Gw gak percaya lo Man...

Ternyata pernyataan jujur dari seseorang, dapat dengan mudah mengubah cara kita memandang orang tersebut. Jika pernyataan jujur tersebut ternyata sesuai dengan apa yang kita rasakan, maka kita akan memandang orang tersebut dengan rasa sayang atau rasa hormat yang lebih dari sebelumnya. Tetapi, jika pernyataan jujur tersebut tidak sesuai dengan apa yang kita rasakan, maka tiba-tiba kita melihat hal-hal negatif dari orang tersebut. Akumulasi hal-hal negatif tersebut, akan mengubah perasaan, sikap, dan cara kita berinteraksi.

 

Dalam hal ini, suatu hubungan yang berlandaskan kepercayaan, seperti persaudaraan, persahabatan, dan sebagainya, mutlak memerlukan rasa percaya diantara kedua belah pihak. Jika masing-masing pihak menyatakan secara jujur bahwa mereka mempercayai satu sama lain, maka hubungan ini memiliki kemungkinan besar untuk berhasil. Tetapi jika salah satu pihak menyatakan tidak percaya terhadap pihak lain, maka hubungan ini dapat dipastikan tidak akan berhasil. Yap…Hubungan ini tidak akan berhasil karena tidak memiliki landasan tempat ia dibangun. Jadi, untuk apa diteruskan…?

 

Tangerang, 9 Maret 2008

23:58 WIB

Share:

Rabu, 27 Februari 2008

Hikayat Iman

Biarkanlah aku mengganggu hari-harimu,

membuatmu terbiasa dengan kehadiranku.

Biarkan aku mengusik perhatianmu,

sehingga kau menyadari kehadiranku.

Lalu kau mulai melirikku, memperhatikanku, dan mendengarkan kata-kataku.

Kaupun mulai memepercayaiku, menjadikanku bagian dari hidupmu.

Dan perlahan tapi pasti akupun merasuki hatimu,

menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam hidupmu,

selamanya…setiap waktu.

 

Jakarta, 12 Januari 2008

20:32 WIB

Share:

Minggu, 17 Februari 2008

Sekrup-sekrup Mesin Penggerak Peradaban Islam

Dulu, pernah ada kenalan gue yang sangat idealis. Ia tidak akan mau menjadi seorang "sekrup kapitalis." Ia tidak akan mau bekerja pada perusahaan-perusahaan yang menjadikan laba sebagai tujuan utamanya. Ia tidak mau terjebak dalam rutinitas pemerasan kaum borjuis gaya baru, dimana sebagai seorang pekerja, ia sampai kapanpun tidak akan pernah mencapai tingkat kesejahteraan yang sama dengan borjuis-borjuis pemilik modal, dengan orang-orang kapitalis itu.

Maka tak heran jika setelah terjun ke dunia nyata, ia tidak ikut-ikutan melamar kerja ke perusahaan-perusahaan yang menyediakan lowongan sebagaimana teman-temannya yang dulu sok idealis dan menyetujui pendapatnya, ia membuka usaha sendiri, mencoba menjadi entrepreneur sejati. Tapi yang tidak ia sadari bahwa ia sedang menciptakan mesin kapitalisnya sendiri, walau mungkin laba tidak menjadi tujuan utamanya.

Pada suatu saat mesin yang ia bangun akan bersaing dengan mesin-mesin kapitalis yang telah ada. Mungkin mesinnya akan menjadi sebuah mesin raksasa yang mampu menyerap banyak "sekrup-sekrup" baru, fresh graduate dari universitas ternama. Atau mesinnya akan stagnan dan makin lama makin ketinggalan jaman, sehingga suatu saat akan tergilas oleh waktu.

Tapi bukan itu yang gue kagumi dari beliau, karena satu dan lain hal idealismenya tentang "sekrup-sekrup kapitalis" masih bisa diperdebatkan. Yang gue kagumi adalah konsistensinya dalam membangun mesin peradaban. Dimulai dari beliau sendiri yang selalu aktif meng-upgrade mesin keimanannya. Kemudian beliau membangun mesin keluarga yang sejalan dengan mesin keimanannya. Juga turut aktif dalam masyarakat, mencoba membangun mesin yang lebih besar, yang mampu menyerap lebih banyak "sekrup-sekrup" sebagai bagian dari mesin masyarakat Islami. Dan walaupun sudah membangun banyak mesin dalam hidupnya, beliau tetap merasa sebagai "sekrup mesin penggerap peradaban Islam." Jika beliau "hanya" sekrup, lalu gue apa?

Share:

Kamis, 24 Januari 2008

Kisah Pujangga dan Rembulan

Pada suatu hari, Pujangga mengirim surat cinta pada Rembulan pujaan hatinya. Surat itu berbunyi:

"Rembulanku...

Engkaulah matahari duniaku…

Menerangi setiap langkah dalam hidupku,

walau hanya dalam khayalku.

 

Rembulan…

Aku ingin mewujudkan impian…

Memenuhi harapan…

Menjadikan kau pujaan,

tak hanya dalam khayalan.

 

Sudikah sang Mentari turun ke bumi?

Mewujudkan mimpi-mimpi,

sang Pujangga yang masih sendiri?"

Rembulanpun membalas surat tersebut:

"Pujangga yang baik hati…

Aku bukan matahari. Aku hanyalah Rembulan yang meminjam cahaya Sang Matahari. Bersinar tidaknya aku, sangat tergantung pada Sang Pemilik Cahaya tadi.

Pujangga yang masih berada dalam dunia mimpi…

Aku hanyalah budak Sang Tuan. Aku sangat tidak pantas kau jadikan pujaan. Sang Tuan-lah satu-satunya yang pantas kau jadikan tumpuan harapan untuk semua impian.

Pujangga yang masih sendiri…

Jika kau menginginkan Rembulan, mintalah pada Sang Pemilik Cahaya, Sang Tuan dari segala pujaan,

karena seluruh khayalan, impian, dan harapan Rembulan ini, telah kuserahkan padaNya."

Pujangga-pun akhirnya sadar bahwa mereka tidak se-visi… J

Tangerang, 24 Januari 2008

02:16 WIB

"dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya dan menjadikan matahari sebagai pelita?" (QS. 71:16)

Share:

Sabtu, 12 Januari 2008

Ternyata (beberapa) Akhwat Juga Manusia (biasa)

Menggabungkan potongan-potongan informasi, lalu menjadikannya sebuah cerita dan kesimpulan yang utuh adalah hal biasa, karena secara tidak sadar kitapun tentu sering melakukannya. Yang tidak biasa adalah ketika yang melakukannya tidak sendiri. Potongan informasi itu diperoleh dari beberapa orang, dan beberapa orang tersebut mengambil kesimpulan bersama tanpa melakukan konfirmasi/cross-check/tabayyun terhadap informasi yang sepotong-sepotong tersebut. Kita menyebut hal ini dengan gosip/ghibah. Beberapa pihak mengemasnya dalam bentuk yang bisa dijual, dan mereka namakan produk itu sebagai infotainment.

 

Namun, yang tidak biasa ini bisa menjadi luar biasa jika ternyata pihak yang melakukannya adalah akhwat-akhwat yang telah mendapat ‘pendidikan’ Islam secara rutin. Akhwat-akhwat yang tsaqofah keislamannya tidak perlu diragukan. Akhwat-akhwat yang diharapkan menjadi pilar peradaban Islam.

 

Apakah mereka lupa dengan firman Allah di surat Al Hujuraat ayat 12 yang berbunyi: “…Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan (ghibah) satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya…”?

 

Namun yang lebih luar biasa adalah jika yang dibicarakan tentang saudaranya tersebut bukan kebenaran, melainkan sebuah kebohongan. Sebagaimana Rasulullah ditanya mengenai ghibah beliau menjawab: “Kamu menyebut tentang saudaramu dengan sesuatu yang tidak disukainya” Ditanyakan, “Wahai Rasulullah, bagaimana menurutmu jika apa yang aku katakan mengenai saudaraku itu benar adanya?” Beliau menjawab, “Jika apa yang kamu katakan itu memang benar, maka kamu telah menggunjingnya (ghibah); dan jika apa yang kamu katakan itu tidak benar, maka kamu telah mendustainya.” (HR. Muslim)

 

Jika ghibah sendiri diumpamakan dengan memakan bangkai saudaranya, apalagi jika yang mereka bicarakan tentang saudaranya ini adalah sebuah kebohongan, tentu lebih menjijikan dari itu bukan? Apakah mereka lupa tentang hal ini? Apakah mereka belum tahu tentang hal ini?

 

Atau apakah mereka menganggap gue BUKAN SAUDARA mereka!!!???

 

Wallahu a’lam bi al-shawab…

 

Tangerang, 5 Januari 2008

22:27 WIB

Share:

Jumat, 04 Januari 2008

The Ultimate Determinant

Setelah berhasil menyingkirkan yang bukan gajah, dan memfokuskan diri pada skripsi, akhirnya kerja keras inipun membuahkan hasil. Tahap demi tahap berhasil dilalui dengan baik. Sangat baik malah, karena dibandingkan dengan kerja orang lain, pembuatan skripsi gue tergolong cepat.

Terkesima dengan kerja sendiri dan dengan pencapaian yang didapat, hal inipun menimbulkan optimisme. Optimisme yang berlebihan pun tidak dapat dibendung, yang ujung-ujungnya justru menimbulkan kesombongan.

Yap, kesombongan itu pun lahir, melahap semua kecemasan yang ada, menghancurkan semua pesimisme yang pernah bersemayam, hingga memfokuskan semuanya pada diri sendiri. Kesombongan narsis ini menegasikan semua hal lain yang berperan, termasuk doa-doa, bantuan orang lain, dan doa-doa orang lain, walaupun belum sampai menegasikan peran Tuhan. Kesombongan yang pada akhirnya dihancurkan oleh sebuah pesan singkat:

"…Semoga diberi kemudahan, man. n remember, Allah be d ultimate determinant."

SMS ini pun seolah dijawab oleh Sang Pengabul Doa dengan menegaskan kembali peranNya. Dua hari sebelum sidang skripsi gue tiba-tiba sakit. Bahkan berlanjut sampai sidang skripsi berlangsung. Dan dengan terpaksa gue sidang dalam kondisi yang sangat tidak fit. Sempat bingung dengan apa yang diucapkan dosen penguji karena gue benar-benar kehilangan konsentrasi. Tapi lagi-lagi Allah Menunjukkan peranNya disini. Sidang skripsi ditunda selama 8 jam, yang membuat gue bisa istirahat sebentar untuk mengembalikan kondisi. Sidang skripsipun berjalan dengan sukses dan gue dinyatakan lulus.

Tangerang 26 Desember 2007

05:29 WIB

Share:

Momen

Ada momen-momen dalam hidup kita yang tidak mampu kita hadapi sendiri. Entah itu momen yang membahagiakan, menyedihkan, menyakitkan, menggembirakan. Yang pasti kita membutuhkan orang lain untuk mengalami momen-momen tersebut, entah itu keluarga, sahabat, atau belahan jiwa. Tanpa kehadiran mereka, momen itu berlalu begitu saja, hambar, dan bahkan terasa menyakitkan.

Pada suatu saat kita akan berada dalam momen itu. Ketika kita dihadapkan pada stimulus rasa yang melebihi ekspektasi kita, ketika kita dihadapkan pada suatu keadaan yang jauh diluar perkiraan kita, atau dalam keadaan biasa tapi ada sesuatu yang berbeda dalam diri kita. Pada saat inilah kita membutuhkan mereka.

Ketika mereka ada, rasa gembira kita menjadi lebih berarti, rasa sedih kita berkurang perlahan tapi pasti, dan tak ada lagi rasa sepi. Kita dapat berbagi, sehingga stimulus rasa yang membuncah tidak membuat kita meledak dalam sepi, kita tidak sedih dalam gembira, dan tidak merasa hambar dalam bahagia. Kecemasan yang ada dalam mengantisipasi rasapun berkurang karena kita tahu bahwa selalu ada mereka yang bisa kita andalkan.

Yap, merekalah yang senantiasa ada dalam hidup gue. Mereka ada ketika gue merasa sedih. Mereka ada ketika gue merasa gembira. Mereka ada ketika gue cemas menunggu momen yang menentukan masa depan gue. Tiba-tiba mereka ada tanpa gue duga, sementara yang lain yang berjanji akan datang membatalkannya dengan berbagai alasan. Tapi gue gak merasa kehilangan, karena gue masih memiliki mereka.

Tangerang, 3 Januari 2008

15:10 WIB

Share: